FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Pakar Hukum Pidana UIN Alauddin Makassar, Rahman Syamsuddin, bicara soal kecenderungan KPK yang belakangan lebih banyak menyasar kepala daerah.
Seperti bupati dan wali kota, ketimbang kasus-kasus besar di level kementerian atau pemerintah pusat.
Rahman mengatakan, pola tersebut tidak lepas dari strategi penindakan yang selama ini kerap digunakan KPK, yakni OTT.
Menurutnya, OTT di daerah umumnya menyasar kasus suap proyek atau perizinan dengan pola yang relatif sederhana dan mudah dibuktikan secara hukum.
“Menurut saya kecenderungan KPK menyasar pejabat daerah sering kali disebabkan oleh pola OTT,” ujar Rahman kepada fajar.co.id, Jumat (19/12/2025).
“OTT pada kasus suap proyek atau perizinan yang polanya lebih sederhana dan mudah dibuktikan,” tambahnya.
Ia menjelaskan, pola penindakan semacam itu memang memberi dampak langsung kepada masyarakat sehingga menimbulkan kesan KPK lebih aktif di daerah.
“Hal ini menciptakan persepsi bahwa KPK lebih aktif di daerah karena dampaknya langsung menyentuh masyarakat,” sebutnya.
Hanya saja, di sisi lain, hal tersebut memunculkan kritik bahwa pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK hanya menyentuh lapisan permukaan.
Sebaliknya, Rahman menuturkan bahwa penanganan perkara besar di tingkat pusat kerap berjalan lambat.
Ia menyebut, kasus-kasus di kementerian atau lembaga pusat umumnya melibatkan skema korupsi yang jauh lebih kompleks.
“Kasus besar di level kementerian atau pusat seringkali berjalan lambat karena melibatkan skema korupsi yang sangat kompleks, transaksi lintas negara, serta hambatan politik yang lebih kuat,” jelasnya.
Rahman juga menyinggung revisi Undang-Undang KPK pada 2019 yang hingga kini masih menuai kekhawatiran publik.
Kata dia, sejak revisi tersebut, muncul anggapan bahwa independensi KPK melemah, sehingga penanganan perkara strategis tidak lagi menjadi prioritas.
“Sejak revisi UU KPK tahun 2019, muncul kekhawatiran publik bahwa independensi KPK melemah. Sehingga kasus-kasus strategis seperti pengelolaan kuota haji atau dana besar lainnya tampak berjalan di tempat atau kurang mendapat prioritas penindakan,” tegasnya.
Ia mengingatkan, penegakan hukum yang timpang berisiko menimbulkan rasa ketidakadilan di tengah masyarakat serta menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga antirasuah.
“Penegakan hukum yang timpang ini berisiko menciptakan ketidakadilan dan menurunkan kepercayaan publik,” terangnya.
Karena itu, Rahman menekankan agar KPK tidak berhenti pada penanganan kasus-kasus kecil di daerah semata.
Rahman bilang, lembaga antikorupsi tersebut harus kembali menegaskan peran utamanya dalam membongkar korupsi skala besar di pusat.
“KPK seharusnya tidak hanya menjadi pemadam kebakaran untuk kasus kecil di daerah. Tetapi harus kembali fokus menangani korupsi skala besar di pusat agar kerugian negara yang lebih masif dapat dicegah,” kuncinya.
Baru-baru ini, OTT di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, dilakukan KPK. Lembaga anti rasuah itu bahkan menangkap Bupati Bekasi, Ade Kuswara Kunang pada OTT kali ini.
“Benar, salah satunya,” kata Juru Bicara KPK, Budi Peasety, kepada para jurnalis di Jakarta, Jumat (19/12/2025).
Budi mennyampaikan bahwa Ade Kuswara saat ini sedang diperiksa secara intensif oleh KPK. “Benar, masih dilakukan pemeriksaan di dalam,” bebernya.
KPK mengonfirmasi sedang melakukan serangkaian OTT di Bekasi, dan sudah menangkap 10 orang hingga pukul 21.00 WIB.
Adapun KPK memiliki waktu 1 kali 24 jam untuk menentukan status dari 10 orang tersebut, termasuk Ade Kuswara, sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). (Muhsin/fajar)



