PERSIAPAN konflik berskala besar antara Israel dibantu Amerika Serikat (AS) versus Iran nyaris rampung. Puluhan agen terlatih yang bekerja untuk Israel telah berada di wilayah Iran dilengkapi persenjataan baru berteknologi tinggi.
Di saat yang sama, pilot Angkatan Udara Israel berada dalam status siaga penuh, menunggu perintah untuk menyerang fasilitas nuklir Iran, peluncur rudal balistik, serta sistem pertahanan udara.
Israel dan Amerika Serikat sebagai sekutu utamanya melalui perdebatan panjang hingga mencapai kesepahaman awal mengenai seberapa dekat Teheran dengan kepemilikan senjata nuklir.
Di permukaan, berbagai manuver diplomatik terus digerakkan. Namun, di balik layer, langkah-langkah tersebut dirancang untuk mengaburkan persiapan serangan yang telah disusun secara matang.
Saat Washington dan Teheran secara terbuka melanjutkan perundingan nuklir, Israel diam-diam menuntaskan salah satu operasi paling rumit dalam sejarah militernya.
Operasi itu mencakup jaringan agen rahasia di dalam Iran, kesiapan penuh kekuatan udara, penggunaan senjata canggih, serta penentuan target strategis jauh di pusat kekuasaan Teheran.
Targetnya tidak hanya infrastruktur nuklir, tetapi juga individu-individu kunci di balik pengembangan program tersebut.
Investigasi bersama The Washington Post dan Frontline PBS mengungkap rincian baru mengenai sesuatu yang disebut sebagai Perang 12 Hari. Kampanye rahasia Israel ini bertujuan melumpuhkan inti proyek nuklir Iran.
Berdasarkan wawancara dengan pejabat aktif dan mantan pejabat dari Israel, Iran, Amerika Serikat, serta negara-negara Arab, laporan tersebut memaparkan proses perencanaan, pelaksanaan, dan dampak geopolitik dari operasi itu.
Laporan itu menyebutkan bahwa pemerintahan Biden maupun Trump memiliki keyakinan serupa bahwa Iran terus mendorong ambisi nuklirnya. Namun, badan intelijen AS dan Israel kerap berbeda pandangan terkait niat sebenarnya dan aktivitas para ilmuwan Iran.
Sejak awal 2023, CIA mengumpulkan informasi yang menunjukkan bahwa peneliti yang berafiliasi dengan SPND, unit rahasia di bawah Kementerian Pertahanan Iran, tengah mengkaji cara mempercepat pembuatan senjata nuklir jika Pemimpin Tertinggi Ali Khamenei mencabut fatwa 2003 yang menentang senjata nuklir.
CIA menilai Iran memahami metode merakit perangkat nuklir sederhana dari stok uranium yang telah diperkaya. Bom semacam itu, meski primitif, diperkirakan bisa dirakit dalam waktu sekitar enam bulan. Perangkat tersebut belum dapat diuji atau diluncurkan melalui rudal balistik, tetapi tetap berpotensi menimbulkan kehancuran besar.
Analis intelijen AS dan Israel juga meyakini Iran mengeksplorasi konsep senjata termonuklir atau bom hidrogen. Namun, keduanya sepakat bahwa teknologi tersebut masih berada di luar jangkauan Iran saat ini.
Iran secara signifikan meningkatkan pengayaan uranium setelah Presiden Donald Trump menarik AS keluar dari JCPOA pada 2018. Meski CIA dan Mossad tidak meyakini Iran telah memulai proses persenjataan nuklir, pada musim semi 2025 analis Israel mulai meragukan kemampuan mereka untuk mendeteksi secara tepat waktu jika Khamenei diam-diam mengubah kebijakan dan mengizinkan pembuatan bom.
Pada 12 Juni, tepat sebelum operasi rahasia Israel yang diberi sandi Operasi Rising Lion, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) secara resmi menegur Iran atas pelanggaran komitmen nonproliferasi. Ini teguran pertama dalam dua dekade.
Penipuan sebelum seranganMenurut sumber yang mengetahui detail perencanaan, ketika Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bertemu Trump di Gedung Putih pada awal masa jabatan kedua Trump, ia mempresentasikan empat skenario serangan terhadap Iran.
Opsi pertama adalah Israel bertindak sendiri. Opsi kedua melibatkan kepemimpinan Israel dengan dukungan terbatas AS. Opsi ketiga menyerukan kerja sama penuh, sementara opsi keempat menempatkan AS sebagai aktor utama.
Pertemuan tersebut menjadi titik awal perencanaan strategis rahasia yang berlangsung selama berbulan-bulan. Meski Trump ingin memberi ruang bagi diplomasi, dua sumber mengatakan ia tetap berbagi intelijen dan koordinasi operasional dengan Israel.
"Pemikirannya adalah, jika pembicaraan gagal, kami siap untuk bertindak," ujar salah satu sumber.
Di Israel, diplomasi dipandang penting untuk memperoleh legitimasi internasional, namun ada kekhawatiran Trump akan menerima kesepakatan yang dinilai merugikan.
Pada pertengahan April, Trump memberi Iran tenggat 60 hari untuk menyepakati perjanjian baru. Batas waktu itu berakhir pada Kamis malam, 12 Juni, yakni hari dimulainya operasi Israel.
Trump dan Netanyahu menjalankan strategi penyesatan terukur untuk mencegah Iran menduga serangan. Trump menyebut serangan Israel sangat mungkin terjadi sambil menegaskan preferensinya pada solusi diplomatik.
Pejabat Israel sengaja membocorkan kabar bahwa Ron Dermer dan kepala Mossad David Barnea akan bertemu utusan AS Steve Witkoff, sementara putaran baru perundingan dijadwalkan pada 15 Juni.
Faktanya, keputusan menyerang telah diambil dengan sepengetahuan penuh AS. Langkah-langkah diplomatik itu hanya kamuflase.
"Semua laporan yang ditulis tentang Bibi yang tidak sejalan dengan Witkoff atau Trump tidak benar," kata seorang sumber.
"Akan tetapi bagus bahwa ini menjadi persepsi umum. Itu membantu untuk melanjutkan perencanaan tanpa banyak orang menyadarinya," tambahnya.
Bahkan setelah serangan dimulai, pemerintahan Trump masih menyampaikan satu pesan diplomatik terakhir kepada Iran melalui Qatar. AS menawarkan peluang terakhir sebelum keterlibatan militernya secara langsung.
Syaratnya sangat luas yaitu Iran harus menghentikan dukungan terhadap Hizbullah dan Hamas serta mengubah fasilitas Fordow dan fasilitas lain agar tidak lagi mampu memperkaya uranium. Sebagai imbalan, AS menawarkan pencabutan semua sanksi yang dikenakan pada Iran.
Tak lama kemudian, Iran menolak tawaran tersebut dan Trump memberikan lampu hijau untuk keterlibatan militer AS.
Hancurkan tim ahli IranMeski persiapan militer hampir rampung, pejabat keamanan Israel menilai kerusakan sementara tidak cukup. Target utama ialah tim ahli Iran, para insinyur, dan fisikawan yang diyakini menguasai teknik mengubah material nuklir menjadi senjata.
Pada pukul 03.21 dini hari waktu setempat, 13 Juni, Angkatan Udara Israel mulai menghantam bangunan dan rumah tinggal di Teheran. Secara bersamaan, Operasi Narnia diluncurkan untuk menargetkan ilmuwan nuklir utama Iran.
Intelijen Israel menyusun daftar 100 ilmuwan kunci dan mempersempitnya menjadi sekitar selusin target. Mereka dilacak melalui berkas intelijen yang dikembangkan selama puluhan tahun.
Di antara korban pertama adalah Mohammad Mehdi Tehranchi, fisikawan dan ahli bahan peledak yang disanksi AS, tewas di apartemennya di Kompleks Profesor.
Dua jam kemudian, Fereydoun Abbasi, mantan kepala Organisasi Energi Atom Iran, juga tewas. Total 11 ilmuwan nuklir senior Iran tewas pada 13 Juni dan hari-hari berikutnya.
"Dengan terbunuhnya para profesor ini, mereka mungkin telah tiada, tetapi pengetahuan mereka tidak hilang dari negara kita," kata Amir Tehranchi, saudara korban.
Senjata khusus dan agen rahasiaDalam Operasi Rising Lion, jet tempur dan drone Israel, dibantu agen di dalam Iran, menghancurkan lebih dari separuh peluncur rudal balistik Iran dan sebagian besar pertahanan udara.
Komandan senior militer Iran dan Garda Revolusi juga tewas. Fasilitas listrik dan ventilasi di Natanz dan Fordow dibom, disusul serangan besar pesawat siluman B-2 dan rudal Tomahawk AS.
Mossad merekrut lebih dari 100 agen Iran dan membekali sebagian dengan senjata khusus tiga komponen untuk serangan presisi.
"Operasi ini belum pernah terjadi dalam sejarah," kata seorang pejabat Israel.
Korban sipilOperasi tersebut menimbulkan korban sipil. The Post dan Bellingcat memverifikasi 71 warga sipil terluka dalam lima serangan.
Sedikitnya 10 warga sipil, termasuk bayi dua bulan, tewas di Kompleks Profesor. Serangan lain menewaskan 15 warga sipil di Provinsi Gilan, termasuk empat anak.
Israel menyatakan telah berupaya meminimalkan korban sipil. Iran melaporkan 1.062 orang tewas selama perang 12 hari, termasuk 276 warga sipil.
Kerugiannya?Pejabat Israel, AS dan IAEA sepakat operasi ini menunda program nuklir Iran selama bertahun-tahun, meski tidak sepenuhnya menghancurkannya.
Penilaian independen menyebut kerusakan bersifat luas dan dalam banyak kasus bencana.
Direktur Jenderal IAEA Rafael Grossi mengatakan kerusakan sangat substansial. Namun Iran masih memiliki sekitar 400 kilogram uranium yang diperkaya hingga 60%. Akses inspeksi kini terhambat.
Iran dilaporkan mempercepat pembangunan fasilitas bawah tanah baru dan mencoba membangun kembali kemampuan rudalnya. Trump memperingatkan akan mengizinkan serangan lanjutan jika Iran melanjutkan pengayaan tingkat tinggi.
"Program nuklir Iran tidak akan pernah bisa dihancurkan, karena begitu Anda menemukan sebuah teknologi, mereka tidak bisa mengambil penemuan itu," pungkas Ali Larijani, Kepala Dewan Keamanan Tertinggi Iran. (I-2)




