Kerja Sama Antarpihak Menjadi Keniscayaan Pulihkan Keadaan Pascabencana di  Sumatera Bagian Utara

kompas.id
22 jam lalu
Cover Berita

Indonesia memiliki daftar panjang pengalamanan penanganan bencana berskala besar. Setidaknya dari tsunami Aceh, gempa Yogyakarta, serta gempa dan tsunami Palu, memberikan pelajaran bahwa dampak bencana itu sangat masif di luar kuasa manusia. Kolaborasi antarpihak menjadi sebuah keniscayaan dalam proses penanganan dan pemulihannya sehingga daerah terlanda bencana berangsur pulih seperti sediakala.

Setelah tiga minggu banjir bandang dan tanah longsor melanda Sumatera bagian utara, kondisi di berbagai daerah belum sepenuhnya keluar dari fase tanggap darurat. Meski sejumlah akses konektivitas antarwilayah dan aliran listrik tengah dipulihkan secara bertahap, berbagai kegentingan masih menyertai. Beberapa wilayah masih sulit mengakses bantuan seperti pangan, air bersih, hingga obat-obatan. Karenanya, sebagian warga yang bertahan mulai melemah kesehatannya.

Hingga Sabtu (20/12/2025) pukul 11.00 WIB jumlah korban meninggal sudah menembus angka 1.071 jiwa. Sebanyak 192 orang dinyatakan hilang belum diketemukan serta sedikitnya tujuh ribu orang mengalami luka-luka. Ribuan fasilitas umum dan ratusan ribu rumah mengalami kerusakan, yang tersebar di 52 kabupaten kota di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Mengungsi sementara menjadi salah satu pilihan sebagian masyarakatnya demi mempertahankan kehidupan. Namun, belum semua lokasi pengungsian menerima bantuan yang semestinya.

Ironisnya, dalam masa sulit ini muncul bencana susulan. Salah satunya yang melanda daerah Batu Busuak di Kota Padang, Sumbar pada 14 Desember lalu sehingga membuat pemulihan semakin tak mudah. Sebab, akses jalan dan sejumlah fasilitas lainnya kembali terputus dan rusak. Proses rehabilitasi pun berpotensi membutuhkan waktu yang lebih lama.

Baca JugaDanantara dan BP BUMN Terjunkan Ribuan Sukarelawan ke Sumatera,  15.000 Huntara Disiapkan

Tak hanya perbaikan secara fisik, beragam kerusakan dan lumpuhnya aktivitas keseharian masyarakat terdampak bencana membuat pemulihan sosial-ekonomi tak bisa instan. Apalagi, estimasi angka kerugian yang ditimbulkan dapat dikatakan relatif besar.

Pemerintah menyiapkan anggaran rehabilitasi dan pemulihan sekitar Rp 51 triliun. Bisa jadi, nominal ini adalah angka estimasi kerugian yang diperkirakan pemerintah. Sementara itu, lembaga Center of Economic and Law Studies (CELIOS) memperkirakan angka kerugian mencapai Rp 68,67 triliun.

Estimasi kerugian tersebut menunjukkan bahwa dampak kerusakan bencana yang melanda utara Sumatera sangatlah besar. Bahkan, kemungkinan kerusakannya melebihi tsunami Aceh yang merupakan bencana dengan nilai kerugian terbesar secara nasional hingga saat ini.

Hal ini menunjukkan bahwa tantangan memulihkan keadaan pascabencana di utara Sumatera sekarang sangatlah besar. Membutuhkan waktu penanganan, pemulihan, dan rekonstruksi lagi yang relatif lama serta membutuhkan anggaran biaya yang sangat banyak. Perlu kolaborasi antarpihak agar wilayah tersebut segera berangsur membaik kondisinya.

Tsunami Aceh 2004

Untuk melihat bagaimana proses pemulihan bencana dengan skala kerusakan masif, ada sejumlah bencana yang dapat dipakai sebagai gambarannya. Salah satunya adalah bencana tsunami Aceh yang terjadi dua dekade silam.

Peristiwa gempa bumi megathrust yang terjadi pada 26 Desember 2004 dengan titik pusat gempa di lepas pantai barat Sumatera menjadi salah satu bencana terbesar di dunia. Gempa berkekuatan 9,3 skala richter (SR) itu memicu gelombang tsunami hebat di sepanjang daratan yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Provinsi Aceh, menjadi salah satu provinsi di Indonesia yang terdampak paling parah selain Thailand dan India. Sedikitnya 170.000 jiwa melayang tertelan hantaman tsunami serta berdampak pada masyarakat hingga sekitar 2,5 juta orang.

Baca JugaKetika Skala Kerusakan Bencana Timpang dengan Ketersediaan Anggaran Pemerintah

Merujuk analisis Korporasi Keuangan International atau International Finance Corporation (IFC) salah satu lembaga dari grup Bank Dunia, total kerugian yang ditimbulkan mencapai 11,4 juta dollar AS. Nilai itu setara dengan Rp 102,60 triliun. Tak hanya di Aceh, kerugian itu merupakan akumulasi dari seluruh kerusakan dan potensi ekonomi yang hilang di 14 negara terdampak.

Jika melihat secara khusus di Provinsi Aceh, Kementerian Keuangan mencatat bahwa total kerugian mencapai Rp 51,4 triliun atau separuh dari total kerugian yang diestimasi IFC. Karenanya, tsunami Aceh menjadi bencana dengan nilai kerugian paling besar melampaui berbagai bencana yang pernah melanda Tanah Air di era modern.

Hantaman dahsyat bencana tersebut tergambar dari catatan kontraksi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh. Kondisi luluh lantak itu sontak membuat laju pertumbuhan ekonomi di Serambi Mekah itu berjalan surut. Merujuk catatan portal data Provinsi Aceh, tahun 2004 ekonomi Aceh minus 9,63 persen.

Perekonomian masyarakat seolah terhenti. Wilayah daratan luluh lantak karena terjangan tsunami sehingga melumpuhkan segala aktivitas ekonomi masyarakat. Berbagai mesin utama ekonomi seperti pertanian, industri, hingga perdagangan seolah digulung dan ditelan bencana tsunami. Nyaris tak ada transaksi ekonomi sehingga keberlanjutan kehidupan para penyintas bencana mengandalkan bantuan dari berbagai pihak, baik dalam negeri ataupun dari dunia internasional.

Sepanjang tahun pascabencana, yakni tahun 2005, perekonomian masih nunjukkan pelemahan bahkan terkontraksi lebih dalam, yakni minus 10,12 persen. Dalam catatan statistik, pertumbuhan positif baru kembali tertoreh di tahun 2006, yakni sebesar 1,56 persen. Perumbuhan positif ini dalam bahasa ekonomi sering disebut low based effect, sebagaimana yang terjadi pada saat pandemi Covid-19 sehingga pertumbuhan ekonomi terpuruk sangat dalam. Dengan demikian, aktivitas ekonomi dengan skala kecil pun terkesan memberikan dampak kontribusi yang besar. Padahal, secara riil keadaan belum sepenuhnya pulih dan sulit berjalan stabil.

Baca JugaCatatan Publik terhadap Pemulihan Sumatera

Terbukti, pada tahun-tahun berikutnya laju pertumbuhan ekonomi di Aceh kembali tercatat minus hingga tahun 2009. Pemulihan baru benar-benar tampak di tahun 2010 ketika laju pertumbuhan positif mulai tercatat secara konsisten. Dengan kata lain, butuh waktu sekitar enam tahun untuk “menormalkan” kembali Aceh pascadilanda bencana terdahsyat di Negeri ini.

Tak hanya catatan ekonomi makro, terganggunya kehidupan sosial ekonomi masyarakat juga tergambar dari angka kemiskinan yang juga sempat melebar. Tahun 2005, persentase penduduk miskin di Aceh naik dibandingkan tahun sebelumnya, dari 28,37 persen menjadi 28,69 persen. Sedikitnya 10,26 ribu orang jatuh miskin. Padahal, di tahun 2004 catatan penurunan angka kemiskinan di Aceh cukup mengesankan.

Gempa Jogja dan Palu

Gambaran serupa juga terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada 27 Mei 2006 silam ketika gempa berkekuatan 5,9 SR melanda. Digerakkan oleh Sesar Opak, getaran kuat selama 59 detik itu sedikitnya memakan korban sebanyak 6.652 jiwa. Sebagian besar berasal dari DIY, dan sebagian lainnya dari Jawa Tengah. Adapun total kerugian yang ditimbulkan sekitar 3,13 juta dollar AS atau setara Rp 29,15 triliun.

Secara angka, memang lebih kecil dari dampak yang ditimbulkan oleh tsunami Aceh. Namun, sama halnya di Aceh, bencana itu pun turut meluluhlantakkan kehidupan ekonomi masyarakat sekitarnya. Catatan ekonomi makro di DIY pun anjlok, meskipun tak tumbuh minus, pertumbuhan ekonomi di DIY melemah menjadi 3,70 persen sepanjang tahun 2006. Melanjutkan tren pelemahan yang terjadi di tahun sebelumnya, tetapi dengan penurunan lebih dalam.

Sama halnya juga dengan Aceh, kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya pun terganggu dan tergambar dari angka kemiskinan yang kembali meninggi. Terpatnya di tahun 2006 ketika gempa melanda, persentase kemiskinan meningkat menjadi 19,15 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar 18,95 persen.

Baca JugaBencana Alam, Rutinitas yang Akan Selalu Terjadi di Indonesia

Tak seberlarut Aceh, di tahun berikutnya laju pertumbuhan ekonomi DIY perlahan membaik, meski belum pulih sebagaimana titik pertumbuhan di tahun-tahun sebelum dilanda gempa. Perbaikan juga tampak dari sisi sosial ekonomi masyarakat dengan angka kemiskinan yang juga perlahan menurun.

Kondisi mirip serupa juga terjadi di Kota Palu, Sulawesi Tengah yang pernah dilanda gempa bumi  berkekuatan magnitude 7,5 pada 28 September 2018. Episentrum gempa berpusat di 26 km timur Laut Donggala berkedalaman 10 km dan 80 km barat laut Kota Palu berkedalaman 20 km. Gempa bumi itu memicu tsunami setinggi 4-7 meter.

Gempa dan terjangan tsunami itu memakan sedikitnya 4.340 korban jiwa meninggal dunia, lebih dari 10 ribu orang luka-luka, dan ratusan orang dinyatakan hilang. Lebih dari 70 ribu penduduk pun terpaksa harus mengungsi untuk sementara waktu. Estimasi nilai kerugian yang ditimbulkan mencapai 1,3 juta dollar AS, setara dengan Rp 19,8 triliun.

Dari sisi ekonomi, bencana alam itu juga sangat berdampak pada laju pertumbuhan pembangunan daerah. Meski masih tergolong tinggi, laju pertumbuhan Kota Palu tahun 2018 melemah ke titik 5,06 persen. Pertumbuhan ini susut sedikit dari tahun sebelumnya, di mana laju pertumbuhan tercatat sebesar 5,53 persen.

Baca JugaBencana Sumatera dan Alarm Reorientasi Pembangunan Indonesia

Meskipun secara growth hanya turun sedikit, tetapi secara riil, kehidupan ekonomi masyarakat sangat terganggu. Tergambar dari laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang melemah cukup dalam  yakni anjlok dari 7,08 persen di tahun 2017 menjadi menjadi 3,75 persen di tahun 2018. Adapun roda ekonomi yang masih berputar lebih banyak didorong oleh aktivitas lembaga swasta nirlaba (LNPRT). Yakni aktivitas ekonomi oleh karena hibah dan aktivitas bantuan lainnya.

Hantaman ekonomi masih berlanjut di tahun berikutnya. Bahkan, belum sepenuhnya pulih, laju ekonomi Kota Palu jatuh makin dalam di tahun 2020 lantaran pandemi Covid-19 yang kian memperberat keadaan.

Tak instan dan tak mudah memulihkan keadaan

Berbagai terjangan bencana berskala masif tersebut memberikan gambaran betapa besarnya dampak negatif yang ditimbulkan dari musibah bencana alam. Kemungkinan besar banjir bandang dan tanah longsor yang menerjang wilayah utara Sumatera kali ini juga akan berujung pada fenomena yang sama. Apalagi, wilayah yang terdampak lebih luas, yakni mencakup 52 kabupaten/kota di tiga provinsi sekaligus.

Dengan perkiraan kerugian pada angka paling pesimis yang hampir mencapai Rp 70 triliun, maka bencana ini melampaui yang tercatat pada tsunami Aceh dua dekade silam. Jika Aceh membutuhkan waktu sekitar enam tahun untuk benar-benar pulih, bukan mustahil hal serupa juga terjadi di wilayah utara Sumatera.

Meskipun demikian, sangat mungkin juga proses pemulihannya bisa lebih cepat karena sebagian kabupaten/kota tetap menjalankan aktivitas perekonomiannya. Hanya saja, untuk memulihkan berbagai infrastruktur pendukung perkonomian yang terdampak bencana tetap saja membutuhkan alokasi anggaran yang relatif sangat besar. Bila kesiapan dana minim, maka risiko penyusutan ekonomi akan sangat besar. Oleh karena itu, kolaborasi dengan berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk segera memulihkan keadaan.

Merujuk pada catatan Bank Dunia dan berbagai kajian lainnya, pemulihan pada tiga bencana besar yang terjadi di Indonesia seperti tsunami Aceh, gempa DIY, dan gempa serta tsunami Palu tak lepas dari uluran tangan berbagai pihak.

Baca JugaBantuan Asing untuk Bencana Sumatera Diizinkan Sepanjang Bukan dari Pemerintah Negara Lain

Pada saat tsunami Aceh, pemerintah menetapkan peristiwa itu sebagai bencana nasional. Selain dukungan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) bentukan pemerintah, berbagai lembaga internasional pun turut andil dalam pemulihan Aceh. Mulai aspek ekonomi, kesehatan, hingga pendidikan.

Meski tak berstatus bancana nasional, gempa DIY 2006 juga membuka ruang bagi bantuan internasional. Seperti misalnya bantuan dari Pemerintah Australia untuk para korban gempa. Kucuran  bantuan juga datang dari Jepang, Inggris, dan beberapa negara lainnya.

Deretan bantuan dari berbagai negara juga turut meringankan beban para penyintas gempa dan tsunami yang menerjang Kota Palu. Karenanya, proses pemulihan, baik kondisi sosial masyarakat maupun ekonomi Kota Palu secara keseluruhan menjadi relatif lebih mudah diwujudkan.

Berkaca pada sejumlah musibah bencana tersebut, kecepatan penanganan dan pemulihan keadaan turut ditentukan oleh siapa saja yang terlibat di dalamnya. Dalam kondisi demikian, kolaborasi antarpihak, baik pemerintah, swasta, masyarakat, dan bahkan serta kerjasama dengan dunia internasional dapat lebih meringakan dan mengakselerasi pemulihan keadaan. Semakin cepat pulih, maka masyarakat akan cepat bangkit dan kondisi perekonomian berangsur normal. (LITBANG KOMPAS)

 


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Prabowo Bicara Demokrasi RI yang Kompetitif: Tak Masalah Si Doel Jadi Wagub Betawi
• 19 jam laludetik.com
thumb
Prabowo ke Menteri: Jangan Setia ke Prabowo, Setia kepada Rakyat!
• 18 jam lalurctiplus.com
thumb
Pemerintah Pastikan Stok Beras di Kudus Aman hingga Akhir 2025, Program Makan Bergizi Gratis Capai 75 Persen
• 6 jam lalupantau.com
thumb
API Ingatkan Ancaman PHK Massal jika PP Pengupahan Baru Tak Diawasi
• 23 jam lalubisnis.com
thumb
SEA Games 2025: Kata-kata Hector Souto usai Bawa Timnas Futsal Cetak Sejarah
• 21 jam lalutvrinews.com
Berhasil disimpan.