FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Polemik ijazah Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) memasuki babak baru setelah gelar perkara khusus (GPK) yang digelar di Polda Metro Jaya pada awal pekan ini.
Tiga tersangka Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan dokter Tifa hadir dengan didampingi tim hukum baru bernama BALARRT (Barisan Pembela Roy, Rismon, Tifa) yang dipimpin oleh pakar hukum tata negara Refly Harun.
Rismon Sianipar, ahli digital imaging, mendorong penyidik tidak mengulangi kebuntuan gelar perkara khusus yang pernah dilakukan Bareskrim pada Juni lalu. Ia mempertanyakan logika hukum penetapan tersangka tanpa kehadiran bukti fisik utama.
“Bagaimana delapan orang dijadikan tersangka tapi alat bukti utama yaitu ijazah analog Joko Widodo tidak ditampilkan? Jika benar asli dan dapat diverifikasi, kenapa takut?” sebut Rismon di Mapolda Metro Jaya, Senin (15/12).
Sementara itu, Roy Suryo menuding adanya “bisikan jahat” kepada penyidik karena seharusnya penggunaan Pasal 32 dan 35 UU ITE menyasar pihak lain yang menyebarkan file ijazah yang tampak terdistorsi di media sosial.
Pada April 2025, ia bersumpah bahwa skripsi asli Jokowi tidak memiliki lembar pengujian. Ia juga membongkar anomali gelar pada lembar pengujian yang beredar di publik.
“Nama Prof. Dr. Ir. Ahmad Sumitro di lembar itu [tahun 1985] adalah palsu. Beliau baru dikukuhkan sebagai Guru Besar pada Maret 1996. Tidak mungkin tahun 1985 sudah disebut profesor,” tegas Roy.
Masih terkait gelar perkara khusus, Roy sangat menyesalkan hanya diperlihatkan dokumen ijazah tanpa diberikan kesempatan untuk menyentuhnya.
“Saya tidak memeriksa, karena yang kami itu hanya diperlihatkan. Menyentuh saja tidak boleh,” ujarnya.
Menurut Roy, kondisi itu membuat mustahil untuk menarik kesimpulan ilmiah terkait keaslian ijazah.
Dalam penilaiannya, tersangka kasus ijazah Jokowi ini menyebut foto yang ditampilkan dalam gelar perkara justru memunculkan kecurigaan baru.
Ia menilai kualitas foto tersebut terlalu tajam dan kontras untuk ukuran foto tahun 1985. “Itu terlalu jelas untuk sebuah foto pas-foto tahun 1985,” katanya.
Roy kemudian membandingkan dengan contoh ijazah lain dari tahun kelulusan yang sama. Ia menunjukkan bahwa pada ijazah pembanding, pas foto sudah tampak memudar dan watermark terlihat lebih alami.
“Ijazah ini pun lihat pas fotonya, sudah mulai berkurang intensitasnya,” jelasnya.
Sebaliknya, dokumen yang ditampilkan dalam gelar perkara justru terlihat seperti cetakan baru. Atas dasar itu, Roy menyimpulkan, “Makanya saya tetap mengatakan 99,9 persen palsu.” (Pram/fajar)



