Dalam beberapa dekade terakhir, organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan mengalami pergeseran makna yang cukup signifikan. Jika pada masa lalu organisasi-organisasi ini lahir dari kebutuhan historis untuk melawan ketidakadilan, ketimpangan, dan otoritarianisme, hari ini banyak di antaranya justru tampil sebagai entitas simbolik yang miskin substansi.
Organisasi tidak lagi sepenuhnya dipahami sebagai alat perjuangan kolektif, tetapi juga sebagai instrumen personal untuk membangun citra, jaringan, dan legitimasi sosial. Pergeseran ini melahirkan kegamangan moral bagi mereka yang pernah terlibat secara idealis dalam dunia aktivisme karena nilai yang dahulu diperjuangkan kini tampak direduksi menjadi formalitas belaka.
Fenomena over-claiming pencapaian menjadi salah satu gejala paling kentara dari perubahan ini. Aktivitas yang bersifat rutin, minimal, atau bahkan tidak berdampak sering kali dibingkai secara berlebihan, seolah-olah merupakan terobosan besar.
Media sosial memperparah situasi ini dengan menciptakan ruang di mana representasi visual dan narasi heroik lebih penting daripada kerja nyata. Dalam konteks tersebut, organisasi berubah menjadi panggung pertunjukan moral, tempat idealisme diproduksi sebagai citra, bukan sebagai praktis. Yang dipertontonkan bukan lagi perjuangan, melainkan kesan sedang berjuang.
Lebih problematis lagi, banyak organisasi yang secara struktural tetap ada, tetapi secara fungsional mati. Rapat jarang berjalan, kaderisasi terputus, kontribusi sosial nyaris tidak terasa, bahkan sekadar grup di WhatsApp tidak aktif dan sunyi, tetapi nama organisasi tetap dipertahankan demi status dan simbol.
Keheningan organisasi semacam ini bukan sekadar persoalan manajemen, melainkan juga indikasi bahwa sejak awal organisasi dibangun tanpa visi institusional jangka panjang. Bahkan, tidak jarang dari mereka mengatakan, "Yang penting ada dulu organisasinya". Tentunya, hal itu menjadi indikasi, bahkan sedari awal organisasi yang dibangun sudah cacat secara substansi.
Ketika motivasi personal telah terpenuhi—sertifikat terkumpul, jejaring terbentuk, atau pengakuan sosial diraih—organisasi kehilangan alasan untuk terus hidup.
Pergeseran ini sering kali dibenarkan sebagai bentuk kedewasaan atau realisme politik. Generasi muda dianggap lebih pragmatis karena menghadapi tekanan ekonomi, ketidakpastian masa depan, dan kompetisi yang semakin ketat. Dalam situasi tersebut, aktivisme yang terlalu idealis dianggap tidak relevan atau bahkan naif.
Namun, di balik rasionalisasi ini, tersembunyi persoalan yang lebih dalam, yakni pergeseran orientasi nilai. Aktivisme—yang semula berbasis etika dan keberpihakan—perlahan berubah menjadi aktivitas yang digerakkan oleh insentif personal. Ketika kepentingan individu menjadi pusat, keberanian moral dan daya kritis terhadap kekuasaan pun melemah.
Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari perubahan struktur sosial dan politik yang lebih luas. Banyak organisasi memilih berada di zona aman, menghindari isu substantif, dan merawat relasi dengan elite, ketimbang membangun basis kritis. Aktivisme pun mengalami depolitisasi; bukan melalui larangan, melainkan melalui normalisasi kenyamanan.
Bagi seseorang yang pernah aktif di organisasi kepemudaan, situasi ini memunculkan krisis eksistensial. Bukan karena mereka berhenti peduli pada persoalan publik, melainkan karena mereka menyaksikan bagaimana idealisme dipakai sebagai kostum untuk menutupi kepentingan pragmatis.
Kekecewaan ini sering kali disalahartikan sebagai apatisme, padahal yang terjadi adalah penolakan terhadap bentuk kolektivitas yang palsu. Mereka tidak menolak perjuangan, tetapi menolak organisasi yang kehilangan integritas.
Meski demikian, menyimpulkan bahwa semangat kolektif telah mati sepenuhnya adalah kesimpulan yang tergesa-gesa. Sejarah menunjukkan bahwa ketika organisasi formal kehilangan relevansi, energi kritis tidak lenyap, tetapi berpindah.
Ia berpindah ke lingkaran-lingkaran kecil yang lebih sunyi tapi konsisten, menuju komunitas pengetahuan, riset, literasi, dan advokasi tematik yang bekerja tanpa banyak sorotan. Dalam ruang-ruang ini, kerja dilakukan bukan untuk pencitraan, melainkan untuk ketahanan gagasan dan keberlanjutan nilai.
Pergeseran dari organisasi besar menuju jaringan kecil dan cair memang membawa konsekuensi fragmentasi. Gerakan menjadi tidak masif, sulit dikonsolidasikan, dan sering kali tidak memiliki daya tekan politik yang besar.
Namun, di sisi lain, bentuk ini menawarkan kejujuran dan kedalaman yang kerap hilang dalam organisasi formal. Ia memungkinkan kerja yang lebih reflektif, kritis, dan relatif bebas dari kooptasi simbolik.
Dengan demikian, kondisi organisasi kepemudaan hari ini dapat dipahami sebagai fase transisi yang ambigu. Di satu sisi, ia mencerminkan adaptasi terhadap perubahan zaman; di sisi lain, ia menandai krisis nilai yang serius. Yang menjadi pertaruhan bukan sekadar keberlangsungan organisasi, melainkan juga masa depan etika publik dan keberanian kolektif.
Pertanyaan yang paling mendesak bukan lagi tentang organisasi apa yang harus dibangun, melainkan nilai apa yang tidak boleh dikorbankan. Sebab tanpa nilai yang hidup, organisasi sebesar apa pun hanya akan menjadi artefak kosong—ramai dalam nama, sunyi dalam makna.



