Ramalan ”Perang” Kelapa 2029

kompas.id
2 jam lalu
Cover Berita

”Perang” kelapa bakal terjadi antara Indonesia dan Filipina. Ini mengingat Filipina berambisi merebut gelar sebagai negara produsen kelapa terbesar dunia yang jatuh ke Indonesia sejak 30 tahun lalu.

Di tengah ancaman kompetisi Filipina, Indonesia justru kekurangan pasokan kelapa bulat. Tanpa ada peningkatan produksi dan produktivitas, ”perang” kelapa diramal berpotensi terjadi di pasar dalam negeri Indonesia.

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mencatat, pada 2024, total produksi kelapa dunia mencapai 62 juta ton. Dari jumlah itu, Indonesia menempati peringkat ke-1 sebagai negara produsen kelapa terbesar dunia dengan produksi sebanyak 17,13 juta ton.

Filipina berada di posisi ke-2 dengan produksi sebanyak 14,77 juta ton. Kemudian, India yang memproduksi kelapa sebanyak 14,68 juta ton menyusul di peringkat ke-3.

Merujuk dari data itu, jika ingin menggeser Indonesia, Filipina tinggal menambah produksi kelapa di atas 2,36 juta ton. Apabila satu pohon kelapa menghasilkan minimal sekitar 1,5 ton kelapa bulat, berarti Filipina harus menanam lebih dari 1,58 juta pohon kelapa.

Melalui program yang diluncurkan pada 2023 ini, Filipina menargetkan menanam 100 juta pohon kelapa baru hingga 2028.

Pada era kepemimpinan Ferdinand Marcos Jr, Filipina ingin mengembalikan kejayaan sebagai negara produsen kelapa nomor satu dunia. Pada 19 Juni 2025, Kementerian Pertanian melalui Otoritas Kelapa Filipina (PCA) menargetkan penanaman 50 juta pohon kelapa pada 2026.

Target itu dinaikkan dari target penanaman kelapa sebelumnya yang sebanyak 25 juta pohon kelapa. Pemerintah Filipina menaikkan target itu sekitar sembilan bulan setelah Indonesia meluncurkan Peta Jalan Hilirisasi Kelapa 2025-2045 pada 30 September 2024.

”Pada 2026, kami menargetkan menanam 25 juta pohon kelapa. Namun, atas perintah Presiden, kami menggandakan target penanaman pohon kelapa baru menjadi 50 juta pohon,” kata Menteri Pertanian Filipina Francisco P Tiu Laurel Jr (Kementerian Pertanian Filipina, 19/6/2025).

Baca JugaNasib (Kelapa) Negeri ”Rayuan Pulau Kelapa”

Strategi penanaman kelapa secara agresif tersebut merupakan bagian dari program lima tahun Kementerian Pertanian Filipina. Melalui program yang diluncurkan pada 2023 ini, Filipina menargetkan menanam 100 juta pohon kelapa baru hingga 2028.

Pada 2024, PCA telah menanam 8,5 juta pohon kelapa. Kemudian, hingga akhir 2025, PCA bakal menambahnya sebanyak 15 juta pohon kelapa. Berbarengan dengan program itu, PCA juga berupaya meningkatkan produktivitas 340 juta pohon kelapa yang sudah ada melalui program pemupukan.

Pemerintah Filipina menganggarkan program pemupukan pohon kelapa pada 2026 sebesar 1,8 miliar peso Filipina atau sekitar Rp 513,68 miliar. Melalui program pemupukan itu, produksi kelapa bulat tahunan ditargetkan dapat meningkat menjadi 60 butir per pohon kelapa.

Bagaimana dengan Indonesia? Statistik Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) menunjukkan, pada 2017-2024, luas perkebunan kelapa nasional berkurang dari 3,5 juta hektar menjadi 3,3 juta hektar. Produksi kelapa nasional juga turun dari 2,85 juta ton menjadi 2,83 juta ton.

Ketua Tim Perencana dan Percepatan Program Hilirisasi Kelapa, Sukmo Harsono, mengungkapkan, dari total luas perkebunan kelapa di Indonesia, sekitar 98,82 persen berupa perkebunan rakyat. Selama ini, petani mengelola perkebunan itu tanpa pengorganisasian dan regenerasi.

Alhasil, rerata produktivitas kelapa secara nasional stagnan, yakni sekitar 1,1 ton per hektar. Selain itu, sekitar 375.039 hektar tanaman kelapa di Indonesia sudah tidak menghasilkan, tua, dan rusak sehingga perlu peremajaan.

”Di tengah kondisi itu, ekspor kelapa Indonesia masih didominasi kelapa bulat dengan pajak ekspor (bea keluar) sebesar 0 persen,” ungkapnya dalam webinar ”Peran Segis Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDa) dalam Implementasi Peta Jalan Hilirisasi Kelapa 2025-2045” yang digelar di Jakarta, 3 Desember 2025.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, total ekspor kelapa bulat (HS 08011200) pada Januari-Oktober 2025 senilai 208,2 juta dollar AS atau sekitar Rp 34,35 miliar. Nilai ekspor itu meroket 143,90 persen dibandingkan periode yang sama pada 2024.

Dalam periode tersebut, tujuan ekspor kelapa bulat terbesar adalah China, yakni senilai 171,3 juta dollar AS. Kemudian disusul Vietnam dan Malaysia, masing-masing senilai 34,4 juta dollar AS dan 1,2 juta dollar AS.

Baca JugaKenaikan Harga Kelapa Bebani Ekonomi Rumah Tangga dan UMKM
Produksi dan investasi

Menurut Sukma, kondisi itu membuat banyak industri pengolahan kelapa di Indonesia mengalami kekurangan bahan baku kelapa. Harga kelapa bulat dan sejumlah produk turunannya juga turut melambung.

Oleh karena itu, produksi dan produktivitas kelapa nasional harus ditingkatkan. Upaya itu juga perlu ditopang dengan peran BRIDa dalam menghasilkan bibit kelapa unggul sesuai dengan karakteristik daerah-daerah sentra kelapa.

Selain itu, lanjut Sukma, langkah-langkah tersebut perlu didukung dengan investasi dan integrasi hulu-hilir kelapa. Tanpa itu semua, hilirisasi kelapa di Indonesia tidak akan berjalan. ”Perang” kelapa di pasar dalam negeri juga berpotensi terjadi pada 2029.

”Pada 2029 nanti, kita bisa lihat, apakah produksi kelapa melimpah atau justru hilang dari pasar sehingga Indonesia menjadi net importir kelapa. Jika hal itu terjadi, antara petani, pedagang, dan perusahaan dalam negeri akan berebut, saling kunci, dan saling mengamankan pasokan kelapa di daerah masing-masing,” katanya.

Sebenarnya, setiap tahun, Kementan RI telah memulai meremajakan tanaman kelapa. Namun, hal itu masih belum masif dilakukan. Baru pada 2026, Kementan berencana mengulirkan program Hilirisasi Komoditas Perkebunan, termasuk kelapa.

Tanpa itu semua, hilirisasi kelapa di Indonesia tidak akan berjalan. ”Perang” kelapa di pasar dalam negeri juga berpotensi terjadi pada 2029.

Wakil Menteri Pertanian RI Sudaryono menuturkan, total anggaran program hilirisasi tersebut pada 2026 sebesar Rp 9,95 triliun. Dana itu akan digunakan untuk meremajakan sejumlah komoditas perkebunan, antara lain kelapa, kopi, kakao, pala, lada, gambir, kacang mete, dan tebu.

”Untuk pembangunan pabrik olahan produk-produk itu, termasuk pabrik pengolahan kelapa, bakal melibatkan badan usaha milik negara, petani, dan swasta,” tuturnya di Jakarta, Selasa (16/12/2025).

Baca JugaKrisis Kelapa: Harga Meroket, Industri Tercekik, Apa yang Terjadi?

Sebelumnya, pada 4 Desember 2025, Menteri Investasi dan Hilirisasi dan juga Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Rosan P Roeslani menyatakan, Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara bakal terlibat dalam program hilirisasi kelapa. Danantara akan menjadi salah satu perusahaan yang masuk dalam konsorsium gabungan perusahaan dengan China yang menggarap hilirisasi itu di Morowali, Sulawesi Tengah.

Perusahaan produsen produk turunan kelapa dari China itu bernama Zhejiang FreeNow Food Co.Ltd. Total nilai investasi proyek hilirisasi itu senilai 100 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,6 triliun.

”Pembangunan pabriknya diperkirakan kelar pada pertengahan 2026. Pabrik itu diperkirakan dapat menyerap sekitar 500 juta butir kelapa per tahun. Pembangunan pabrik dapat menyerap sekitar 10.000 pekerja,” kata Rosan dalam rapat bersama Komisi XII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung Parlemen, Jakarta.

Koperasi Desa Merah Putih

Sementara itu, peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP) Gede Sandra, Rabu (17/12/2025), mengatakan, Indonesia merupakan negara produsen kelapa terbesar dunia mengalahkan Filipina. Indonesia juga eksportir kelapa bulat terbesar kedua dunia setelah Filipina.

Kendati begitu, Indonesia masih kalah jauh dari Filipina yang selama ini banyak menghasilkan produk turunan kelapa. Salah satunya berupa minyak kelapa (VCO).

”Inilah yang menjadi masalahnya. Selama ini, Indonesia terlalu banyak mengekspor kelapa bulat dan masih minim mengekspor produk-produk turunan kelapa. Sampai-sampai belakangan ini, industri pengolahan kelapa nasional justru kekurangan bahan baku kelapa,” katanya.

Gede berharap, Pemerintah Indonesia benar-benar serius menggarap hilirisasi kelapa. Langkah itu harus dimulai dari peningkatan produksi dan produktivitas di hulu, kemudian dibarengi dengan pembangunan pabrik-pabrik pengolahan kelapa.

Pabrik-pabrik pengolahan kelapa itu juga perlu berorientasi pada pemberdayaan petani kelapa nasional. Ini mengingat sekitar 98 persen perkebunan kelapa di Indonesia dimiliki dan dikelola oleh petani.

Menurut dia, hal itu bisa dilakukan oleh koperasi desa/kelurahan merah putih di sentra-sentra kelapa, terutama di Sulawesi dan Maluku. Pembangunan koperasi tersebut harus berorientasi produksi, bukan konsumsi.

”Artinya, koperasi desa/kelurahan merah putih juga bisa memiliki pabrik. Mereka juga bisa menjadi mitra dari pabrik-pabrik berskala besar, termasuk pabrik pengolahan kelapa yang bakal dibangun di Morowali,” katanya.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Pedagang Pasar Baru Bandung Ngadu ke Dedi Mulyadi Gara-Gara Diperlakukan tidak Adil
• 8 jam lalurepublika.co.id
thumb
Populer: RI Masih Kaji Proyek Kereta IKN-Malaysia-Brunei; Harga Nikel Dunia Naik
• 12 jam lalukumparan.com
thumb
Tim Loncat Indah Indonesia Raih Perunggu di SEA Games 2025
• 17 jam lalurepublika.co.id
thumb
Perkuat Fondasi K-pop, Korea Selatan Siap Bangun Banyak Tempat Konser
• 19 jam lalugenpi.co
thumb
Pramono Anung Beberkan PR Jakarta: Monorel Rasuna, Kali Jodo, hingga RS Sumber Waras
• 5 jam lalusuara.com
Berhasil disimpan.