Ekoteologi di Tengah Krisis Ekologis Indonesia

kumparan.com
11 jam lalu
Cover Berita

Banjir yang berulang di berbagai wilayah Indonesia, terutama di Sumatera, bukan lagi sekadar peristiwa alam. Ia menandai krisis ekologis yang semakin serius. Air meluap bukan hanya karena curah hujan tinggi, tetapi juga akibat kerusakan hutan, tata ruang yang diabaikan, serta pembangunan yang kerap mengalahkan daya dukung lingkungan.

Situasi ini menuntut refleksi lebih dalam, terutama terkait peran agama dalam mencegah kerusakan sebelum bencana terjadi. Selama ini, agama sering hadir setelah bencana, melalui doa, khutbah, dan penguatan spiritual. Peran itu penting. Namun, ketika bencana terus berulang, agama juga diuji: apakah ia cukup berperan sebagai kekuatan moral yang mencegah kerusakan, bukan sekadar menguatkan setelahnya?

Di sinilah gagasan ekoteologi menemukan relevansinya. Ekoteologi memandang alam bukan sebagai objek netral, melainkan sebagai bagian dari amanah spiritual manusia. Dalam Islam, Al-Qur’an mengingatkan, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia” (QS. ar-Rum: 41). Ayat ini menegaskan bahwa krisis ekologis adalah konsekuensi dari pilihan manusia sendiri.

Prinsip ini sejalan dengan kaidah ushul fiqh: dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih, mencegah kerusakan harus didahulukan daripada mengejar kemaslahatan. Artinya, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi tidak dapat dibenarkan jika menimbulkan kerusakan lingkungan yang mengancam keselamatan masyarakat.

Nilai serupa juga ditemukan dalam tradisi agama lain. Dalam Kekristenan dikenal konsep stewardship of creation, yang memandang manusia sebagai penatalayan ciptaan. Kesamaan ini menunjukkan bahwa kepedulian terhadap lingkungan merupakan nilai universal lintas agama.

Yang patut diapresiasi, ekoteologi kini tidak berhenti sebagai wacana. Ia telah menjadi program penting Kementerian Agama, yang digagas dan ditegaskan oleh Menteri Agama Prof. Nasaruddin Umar. Program ini bertujuan agar agama tidak hanya hadir dalam ruang ritual, tetapi juga berdampak nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam merespons krisis ekologis.

Momentum ini semakin relevan ketika Kementerian Agama memasuki usia 80 tahun, sejak berdiri pada 3 Januari 1946. Delapan dekade keberadaannya menjadi saat yang tepat untuk menegaskan kembali bahwa agama harus hadir sebagai penjaga etika publik, termasuk dalam urusan lingkungan.

Namun, tantangan terbesar ekoteologi terletak pada praktiknya. Para pemuka agama dari pesantren, majelis taklim, gereja, vihara, hingga para penyuluh agama, perlu aktif menyampaikan pesan moral tentang kewajiban menjaga alam dan lingkungan sekitar. Pesan keagamaan tidak boleh berhenti di mimbar, tetapi harus menjadi kesadaran sosial.

Lebih jauh, seruan moral ini perlu terus diarahkan kepada para pemangku kekuasaan. Kebijakan pembangunan, dari pusat hingga daerah, harus berbasis keberlanjutan dan memperhitungkan dampak ekologis jangka panjang. Negara tidak cukup hadir setelah bencana, tetapi harus memastikan kebijakan publik tidak menjadi sumber bencana baru.

Krisis ekologis pada akhirnya adalah ujian bersama. Agama diuji bukan pada seberapa lantang ia dikhotbahkan, tetapi pada sejauh mana ia mampu memengaruhi kebijakan dan tindakan nyata. Jika iman mampu menuntun arah pembangunan yang berkeadilan ekologis, maka agama benar-benar hadir sebagai kekuatan moral bagi masa depan Indonesia.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Bus Transjakarta Zhongtong Dijuluki "Kulkas Berjalan", Lebih Dingin dari Bus Lain?
• 17 jam lalukompas.com
thumb
BMKG Peringatkan Cuaca Ekstrem Jelang Nataru
• 1 jam lalueranasional.com
thumb
Sinergi Sastra 2026, HISKI Malang Targetkan Literasi Berbasis Sekolah
• 47 menit laluberitajatim.com
thumb
Rusia Cetak Surplus Dagang Rp1.700 Triliun pada Januari-Oktober 2025
• 37 menit laluidxchannel.com
thumb
Meninggal Setelah Makan Burger, Investigasi Menemukan Alergi Daging yang Ditularkan Kutu
• 23 jam lalukompas.id
Berhasil disimpan.