PBHI meminta Komisi Reformasi Polri dibubarkan karena dianggap terjebak pada politisasi dan gimik belaka. Di luar itu banyak juga kritikan masyarakat yang menganggap ada personil dalam komisi reformasi yang terjebak pada sketsa pembalasan politik dan bukannya memaksimalkan rumusan rekomendasi yang sesuai dengan konstitusi.
Kita menghargai masukan tokoh-tokoh masyarakat termasuk personil-personil yang ada dalam Komisi Reformasi tersebut. Namun perlu diluruskan agar usulan tersebut tidak mengangkangi aturan konstitusi yang merupakan amanat reformasi.
Ada dua poin penting amanat reformasi kepolisian yang dituangkan dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 yang merupakan hasil amandemen era reformasi dan TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 yang juga dikeluarkan di awal era reformasi. Poin yang pertama adalah posisi institusi Polri langsung di bawah Presiden dan bertanggung jawab menjaga keamanan dan ketertiban dengan melindungi , mengayomi dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum. Sedangkan poin kedua adalah pengangkatan Kapolri merupakan wewenang Presiden dengan persetujuan DPR.
Kedua poin tersebut merupakan koreksi dari praktik sebelumnya di era orde baru yang memposisikan Polisi sekedar menjadi aparatus represif kekuasaan. Selain itu kedua poin amanat reformasi tersebut memperkuat mekanisme saling koreksi dan saling menyeimbangkan (check and balance) antara lembaga eksekutif dan legislatif yang merupakan ciri negara demokrasi modern.
Masalahnya , aturan hukum utama yang menjadi panduan Polri dalam menjalankan tugas yakni KUHAP warisan orde baru tidak tersentuh reformasi atau tidak mengalami perubahan sama sekali walaupun era reformasi sudah bergulir nyaris 30 tahun. UU Polri yang dibentuk tahun 2002 pun belum mengatur secara maksimal dua poin amanat reformasi. Situasi ini jelas menyulitkan Polri untuk mereformasi diri.
Alhamdulillah dengan kerja sama yang baik antara DPR dan Presiden akhirnya kita akan memberlakukan KUHAP baru yang sangat reformis. Dengan KUHAP baru yang menganut asas keadilan restitutif dan keadilan restoratif, maka Polri bukan lagi sekedar alat kekuasaan melainkan pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
Kontrol terhadap kerja-kerja institusi dan anggota Polri bukan hanya dilakukan oleh organ internal seperti Wasidik, Itwasum dan Propam, tetapi juga oleh masyarakat baik secara langsung atau melalui advokat sebagai pendamping masyarakat yang bermasalah dengan hukum.
Pengetatan kontrol terhadap Polri ditambah lagi dengan pengaturan keharusan adanya kamera pengawas selama pemeriksaan , pencantuman ancaman hukuman administrasi, etik dan pidana bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran dan jaminan terhadap warga negara untuk bebas dari penyiksaan, intimidasi, perbuatan tidak manusiawi atau merendahkan harkat dan martabat manusia selama menjalani proses hukum.
Pemberlakuan KUHAP baru adalah langkah awal percepatan reformasi kepolisian. Komisi III juga akan merevisi UU Polri untuk memperkuat fungsi Polri dalam melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Hal lain yang akan menjadi poin revisi UU Polri adalah pembaharuan soal usia pensiun yang disesuaikan dengan pengaturan serupa di UU Kejaksaan dan UU TNI.
Secara umum Komisi III akan mengeluarkan rekomendasi soal percepatan reformasi Polri berdasarkan masukan masyarakat.
Habiburokhman. Ketua Komisi III DPR RI
(imk/imk)



:strip_icc()/kly-media-production/medias/5441200/original/014898000_1765457527-1000175666.jpg)
