Pantau - Penanganan banjir bandang di wilayah Sumatera menghadapi hambatan serius bukan karena kurangnya sumber daya, melainkan akibat ketiadaan komando tunggal yang menyatukan seluruh upaya dan aktor di lapangan.
Banyak Aktor Bergerak, Tapi Tanpa Kerangka Komando TerpaduRespons darurat atas bencana banjir di tiga provinsi Sumatera telah menggerakkan berbagai kekuatan—pemerintah pusat dan daerah, TNI, Polri, relawan, organisasi masyarakat, komunitas, hingga sektor swasta.
Namun, menurut Mayjen TNI Dr Farid Makruf MA, Tenaga Ahli Pengkaji Sumber Kekayaan Alam Lemhanas RI, efektivitas operasi terganggu oleh fragmentasi komando.
"Struktur respons masih bersifat koordinatif, bukan operasional terpadu, padahal ini mutlak dibutuhkan dalam kondisi darurat berskala luas," tulisnya.
Ketiadaan komando tunggal, rencana aksi terpadu, serta sistem pelaporan satu pintu telah menyebabkan tumpang tindih operasi, wilayah terdampak yang belum tertangani, gesekan antaraktor, dan lemahnya pengendalian informasi publik.
Laporan media dan pantauan lapangan menunjukkan belum ada satu pun aktor yang bertindak sebagai pengendali operasi secara menyeluruh.
BNPB dan posko daerah sejauh ini hanya menjalankan fungsi koordinasi, belum mengambil alih fungsi sebagai pusat komando.
Akibatnya, banyak pihak di lapangan bergerak secara paralel tanpa satu kerangka kerja dan narasi publik yang terintegrasi.
Mendesak: Pembentukan Komando Gabungan TerpaduDalam situasi darurat berskala besar, koordinasi horizontal tidak memadai karena bersifat sukarela dan tidak mengikat secara operasional.
Farid Makruf menegaskan pentingnya membentuk sistem komando gabungan terpadu, agar seluruh aktor bekerja dalam satu sistem, dengan kendali operasional yang jelas.
Tanpa sistem tersebut, respons akan terus bersifat reaktif, rentan konflik, tumpang tindih, dan sulit dievaluasi.
Ia menekankan bahwa sistem komando terpadu bukanlah hal baru bagi BNPB maupun BPBD, namun tantangan sekarang adalah skala dan luas wilayah terdampak yang memerlukan pengerahan simultan dari berbagai pihak.
Peluang besar terbuka bagi pemerintah untuk mengelola respons darurat secara efisien dan akuntabel dengan:
Menunjuk satu komandan operasi nasional yang langsung melapor ke Presiden
Menunjuk tiga wakil komandan provinsi untuk masing-masing wilayah terdampak
Mendirikan pusat komando lapangan di lokasi terdampak terparah
Mengintegrasikan seluruh aktor ke dalam sistem komando terpadu
Mewajibkan penyusunan Rencana Aksi Respons harian (RAP)
Menerapkan sistem informasi dan laporan satu pintu yang diperbarui setiap hari
Salah satu hal krusial yang disorot adalah lemahnya pembaruan informasi publik.
"Lakukan apa yang dikatakan, dan katakan apa yang dilakukan" adalah prinsip dasar komunikasi krisis yang menurutnya harus dijunjung tinggi.
Ia menegaskan, pembaruan informasi bukan sekadar teknis, tetapi bagian dari akuntabilitas negara kepada publik.
Tanpa pembenahan sistem komando, ketidakefisienan dan konflik antaraktor akan terus berulang dalam bencana berikutnya.
"Sistem komando terpadu bukan sekadar alat teknis, tetapi instrumen negara untuk memastikan bahwa kehadiran negara benar-benar dirasakan masyarakat dalam situasi darurat," tutupnya.


