Malam pergantian tahun selalu identik dengan langit yang menyala warna-warni dan dentuman dari kembang api yang menggema di berbagai penjuru.
Disambut sorak sorai manusia yang berkumpul di jalanan, taman hingga balkon rumah. Asap tipis menggantung di udara, bau mesiu samar tercium, dan kilatan cahaya berlomba mengalahkan gelapnya malam.
Pemandangan ini berulang setiap tahun, menjadi ritual perayaan yang dianggap tak terpisahkan dari sambutan awal yang baru. Setiap ledakannya seolah dimaknai sebagai simbol harapan dan optimisme. Cahaya yang melesat ke langit lalu mekar dengan indah merepresentasikan doa-doa yang dilepaskan, penanda berakhirnya masa lalu dan dimulainya lembaran baru yang lebih baik.
Namun, pernahkah kita bertanya lebih jauh tentang makna di balik kemeriahan tersebut? Apakah setiap ledakan yang kita rayakan benar-benar hanya meninggalkan keindahan sesaat, atau justru menyisakan dampak yang luput dari perhatian? Kembang api—dalam perayaan tahun baru—nyatanya membawa dampak serius terhadap kualitas udara, kesehatan masyarakat, dan pemborosan ekonomi.
Setiap ledakan cahaya tidak hanya menandai pergantian waktu, tetapi juga melepaskan polutan berbahaya ke atmosfer dan meninggalkan jejak yang bertahan jauh lebih lama dibandingkan durasi perayaannya. Ritual yang dimaknai sebagai perayaan ini justru menyimpan konsekuensi lingkungan dan sosial yang patut dipertanyakan.
Apa yang Sebenarnya Terbakar di Balik Cahaya Kembang Api?Kembang api bukan sekadar permainan cahaya, melainkan juga hasil campuran dari bahan kimia yang dirancang untuk menghasilkan ledakan, warna, dan suara. Di dalamnya terdapat oksidator, seperti perklorat dan nitrat yang memicu pembakaran cepat, bahan bakar seperti karbon dan belerang yang menghasilkan panas dan asap, serta senyawa logam yang menciptakan warna merah, hijau, dan biru di langit malam. Kombinasi inilah yang membuat kembang api tampak indah sekaligus reaktif.
Pembakaran kembang api melepaskan partikel berupa PM₂.₅ dan PM₁₀ yang berasal dari sisa pembakaran bahan kimia, seperti perklorat, nitrat, belerang, karbon, dan garam logam pewarna. Partikel halus ini dapat menjadi pencemar utama bagi udara karena mampu bertahan dalam waktu yang lama, menyebar luas di ruang terbuka, sehingga dapat dengan mudah terhirup oleh manusia.
Tinjauan sistematis dari berbagai penelitian kualitas udara menunjukkan bahwa konsentrasi partikel halus ini melonjak tajam beberapa jam setelah pesta kembang api berlangsung, bahkan kerap melampaui ambang batas aman yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Selain partikel, gas polutan—seperti nitrogen oksida (NOₓ) dan sulfur dioksida (SO₂)—juga dilepaskan ke atmosfer, sehingga memperparah kualitas udara di kawasan perayaan.
Menurunnya kualitas udara akibat kembang api juga membawa konsekuensi serius bagi kesehatan. Partikel PM₂.₅ yang berukuran sangat kecil dapat menembus hingga ke bagian terdalam paru-paru dan bahkan masuk ke aliran darah, sehingga meningkatkan risiko gangguan pernapasan.
Paparan polusi udara dalam periode singkat sekalipun dapat menimbulkan berbagai keluhan kesehatan, seperti sesak napas, iritasi saluran pernapasan, kambuhnya asma, dan peningkatan risiko bagi kelompok rentan, seperti anak-anak, lansia, dan penderita penyakit kronis. Perayaannya hanya berlangsung beberapa menit, sementara dampak kesehatannya dapat dirasakan jauh setelah langit kembali gelap dan suara ledakan mereda.
Selain itu, pemborosan ekonomi yang kerap luput dari perhatian juga terus berulang setiap tahun. Masyarakat menghabiskan banyak rupiah untuk membeli kembang api yang hanya dinikmati dalam hitungan menit. Setelahnya, yang tersisa hanyalah asap, sampah, dan polusi.
Di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil, pengeluaran besar untuk hiburan sesaat ini patut dipertanyakan. Dana tersebut sejatinya dapat dialihkan untuk kegiatan yang lebih produktif, seperti pengembangan UMKM lokal yang memiliki dampak baik dalam jangka waktu panjang.
Penting untuk dipahami bahwa hal ini bukan ditujukan pada keberadaan UMKM penjual kembang api semata, melainkan pada pola konsumsi yang abai terhadap dampak jangka panjang. Dukungan terhadap UMKM semestinya diarahkan pada usaha-usaha yang lebih ramah lingkungan dan memiliki nilai guna lebih panjang, sekaligus mendorong transformasi bagi pelaku usaha hiburan agar dapat beradaptasi dengan alternatif yang lebih aman dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, pemborosan ini mencerminkan pola konsumsi yang tidak berkelanjutan serta minim empati sosial terhadap kondisi ekonomi dan lingkungan yang tengah dihadapi bersama.
Sudah saatnya masyarakat merefleksikan kembali makna perayaan tahun baru. Dampak lingkungan, risiko kesehatan, dan pemborosan ekonomi menunjukkan bahwa tradisi kembang api bukanlah pilihan yang bijak untuk masa depan. Setiap lapisan masyarakat perlu mengambil peran aktif dalam mendorong bentuk perayaan yang lebih inklusif.
Tak ada salahnya jika pada malam tahun baru kita memilih untuk tidak membeli dan menyalakan kembang api. Perayaan tidak selalu harus ditandai oleh ledakan cahaya dan suara. Terkadang, makna perayaan justru hadir dalam kesederhanaan.
Menatap langit yang cerah tanpa asap, atau membiarkan rintik hujan jatuh menemani pergantian waktu, bisa menjadi cara yang lebih jujur untuk merasakan hadirnya momen tersebut. Dalam keheningan itu, kita diberi ruang untuk benar-benar menyadari bahwa satu tahun telah berlalu dan satu kesempatan baru sedang dimulai.
Malam tahun baru juga dapat menjadi waktu untuk bersyukur. Bersyukur karena kita masih diberi kesempatan untuk hidup, bernapas, dan belajar dari hari-hari yang telah dilewati. Merenungkan kesalahan, menghargai pencapaian, dan menumbuhkan harapan untuk menjadi pribadi yang lebih baik ke depannya. Barangkali, di situlah esensi perayaan sesungguhnya.
Tahun baru seharusnya menjadi momentum perubahan menuju kehidupan yang lebih baik, bukan pengulangan kebiasaan yang merugikan. Jika kita benar-benar menginginkan masa depan yang lebih baik, perubahan sikap terhadap tradisi kembang api bukan lagi sekadar pilihan, melainkan juga sebuah keharusan.

