Jakarta (ANTARA) - Penasihat hukum Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, Maqdir Ismail menyebutkan pemberian uang kepada menantu Nurhadi, Rezky Herbiyono tidak dapat diasumsikan sebagai uang untuk mengurus perkara.
Pasalnya, kata dia, saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU), Liyanto, menyatakan uang itu merupakan imbalan untuk mengurus Clear and Clean (CnC) tambang.
"Jadi, nggak ada urusannya dengan perkara," ucap Maqdir dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin.
Maqdir pun mempertanyakan relevansi keterangan Liyanto, yang dinilai tidak mengetahui secara langsung tujuan pengiriman dana yang dipersoalkan dalam dakwaan.
Dikatakan bahwa keterangan saksi itu hanya terkait pengurusan izin usaha pertambangan (IUP), bukan perkara terkait kliennya.
Dengan demikian, menurutnya, kondisi tersebut memunculkan pertanyaan mengapa keterangan tersebut tetap digunakan sebagai bagian dari konstruksi perkara.
"Nah, yang kami tidak mau itu kalau melihat surat dakwaan yang ada seperti sekarang ini, seolah-olah pembayaran-pembayaran yang diterima oleh Rezky ada kaitannya dengan Pak Nurhadi, yaitu untuk mengurus perkara," ungkapnya.
Dirinya menyoroti konstruksi dakwaan yang dinilai mengaitkan sejumlah aliran dana dengan pengurusan perkara tanpa disertai pembuktian langsung.
Maqdir berpendapat penarikan kesimpulan semacam itu berbahaya jika dijadikan dasar pemidanaan. Dia menegaskan hukum pidana mensyaratkan alat bukti yang kuat dan kesaksian yang sah, yakni berdasarkan apa yang benar-benar dilihat, didengar, dan dialami sendiri oleh saksi.
Maka dari itu, kata dia, kesaksian yang bersandar pada dugaan atau penafsiran tidak dapat dijadikan pijakan hukum yang adil.
Pernyataan Maqdir dalam sidang tersebut menanggapi kesaksian Liyanto selaku Direktur PT Java Energy Semesta (JES), yang mengaku memberikan uang sebesar Rp11 miliar kepada Rezky.
Dia mengatakan dana diberikan untuk mengondisikan kasus perdata pengurusan izin usaha pertambangan (IUP) baru bara milik keluarganya yang bergulir pada tingkat kasasi di MA.
"Kalau nggak salah itu kisarannya kan enam IUP. Satu IUP kalau nggak salah Rp1,5 miliar atau Rp2 miliar, jadi dikalikan enam sekitar Rp11 miliar," ucap Liyanto.
Liyanto bersaksi dalam kasus dugaan penerimaan gratifikasi di lingkungan pengadilan pada periode 2013-2019 dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) periode 2012-2018, yang menyeret Nurhadi sebagai terdakwa.
Nurhadi didakwa menerima gratifikasi senilai Rp137,16 miliar dari para pihak yang berperkara di lingkungan pengadilan, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali, pada saat Nurhadi menjabat maupun telah selesai menjabat sebagai Sekretaris MA.
Gratifikasi diterima ia melalui rekening atas nama Rezky Herbiyono yang merupakan menantu Nurhadi sekaligus orang kepercayaannya serta rekening atas nama orang lain yang diperintahkan oleh Nurhadi maupun Rezky, antara lain Calvin Pratama, Soepriyo Waskita Adi, dan Yoga Dwi Hartiar.
Adapun gratifikasi antara lain diduga didapat dari beberapa pihak, yaitu dari pemilik PT Sukses Abadi Bersama, Hindria Kusuma; Komisaris PT Matahari Kahuripan Indonesia (Almarhum) Bambang Harto Tjahjono; serta PT Sukses Abadi Bersama pada kurun waktu 22 Juli 2013 sampai dengan 24 November 2014 senilai Rp11,03 miliar.
Selain menerima gratifikasi, Nurhadi juga diduga melakukan TPPU senilai total Rp308,1 miliar yang meliputi Rp307,26 miliar dan 50 ribu dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp835 juta (kurs Rp16.700 per dolar AS).
Pencucian uang dilakukan dirinya dengan menempatkan dana di rekening atas nama orang lain, membelanjakan atau membayarkan untuk pembelian tanah dan bangunan, serta membelanjakan kendaraan.
Atas perbuatannya, eks Sekretaris MA tersebut terancam pidana yang diatur dalam Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 65 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasalnya, kata dia, saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU), Liyanto, menyatakan uang itu merupakan imbalan untuk mengurus Clear and Clean (CnC) tambang.
"Jadi, nggak ada urusannya dengan perkara," ucap Maqdir dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin.
Maqdir pun mempertanyakan relevansi keterangan Liyanto, yang dinilai tidak mengetahui secara langsung tujuan pengiriman dana yang dipersoalkan dalam dakwaan.
Dikatakan bahwa keterangan saksi itu hanya terkait pengurusan izin usaha pertambangan (IUP), bukan perkara terkait kliennya.
Dengan demikian, menurutnya, kondisi tersebut memunculkan pertanyaan mengapa keterangan tersebut tetap digunakan sebagai bagian dari konstruksi perkara.
"Nah, yang kami tidak mau itu kalau melihat surat dakwaan yang ada seperti sekarang ini, seolah-olah pembayaran-pembayaran yang diterima oleh Rezky ada kaitannya dengan Pak Nurhadi, yaitu untuk mengurus perkara," ungkapnya.
Dirinya menyoroti konstruksi dakwaan yang dinilai mengaitkan sejumlah aliran dana dengan pengurusan perkara tanpa disertai pembuktian langsung.
Maqdir berpendapat penarikan kesimpulan semacam itu berbahaya jika dijadikan dasar pemidanaan. Dia menegaskan hukum pidana mensyaratkan alat bukti yang kuat dan kesaksian yang sah, yakni berdasarkan apa yang benar-benar dilihat, didengar, dan dialami sendiri oleh saksi.
Maka dari itu, kata dia, kesaksian yang bersandar pada dugaan atau penafsiran tidak dapat dijadikan pijakan hukum yang adil.
Pernyataan Maqdir dalam sidang tersebut menanggapi kesaksian Liyanto selaku Direktur PT Java Energy Semesta (JES), yang mengaku memberikan uang sebesar Rp11 miliar kepada Rezky.
Dia mengatakan dana diberikan untuk mengondisikan kasus perdata pengurusan izin usaha pertambangan (IUP) baru bara milik keluarganya yang bergulir pada tingkat kasasi di MA.
"Kalau nggak salah itu kisarannya kan enam IUP. Satu IUP kalau nggak salah Rp1,5 miliar atau Rp2 miliar, jadi dikalikan enam sekitar Rp11 miliar," ucap Liyanto.
Liyanto bersaksi dalam kasus dugaan penerimaan gratifikasi di lingkungan pengadilan pada periode 2013-2019 dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) periode 2012-2018, yang menyeret Nurhadi sebagai terdakwa.
Nurhadi didakwa menerima gratifikasi senilai Rp137,16 miliar dari para pihak yang berperkara di lingkungan pengadilan, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali, pada saat Nurhadi menjabat maupun telah selesai menjabat sebagai Sekretaris MA.
Gratifikasi diterima ia melalui rekening atas nama Rezky Herbiyono yang merupakan menantu Nurhadi sekaligus orang kepercayaannya serta rekening atas nama orang lain yang diperintahkan oleh Nurhadi maupun Rezky, antara lain Calvin Pratama, Soepriyo Waskita Adi, dan Yoga Dwi Hartiar.
Adapun gratifikasi antara lain diduga didapat dari beberapa pihak, yaitu dari pemilik PT Sukses Abadi Bersama, Hindria Kusuma; Komisaris PT Matahari Kahuripan Indonesia (Almarhum) Bambang Harto Tjahjono; serta PT Sukses Abadi Bersama pada kurun waktu 22 Juli 2013 sampai dengan 24 November 2014 senilai Rp11,03 miliar.
Selain menerima gratifikasi, Nurhadi juga diduga melakukan TPPU senilai total Rp308,1 miliar yang meliputi Rp307,26 miliar dan 50 ribu dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp835 juta (kurs Rp16.700 per dolar AS).
Pencucian uang dilakukan dirinya dengan menempatkan dana di rekening atas nama orang lain, membelanjakan atau membayarkan untuk pembelian tanah dan bangunan, serta membelanjakan kendaraan.
Atas perbuatannya, eks Sekretaris MA tersebut terancam pidana yang diatur dalam Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 65 ayat (1) ke-1 KUHP.



