Strategi Penguatan Ekosistem Pembiayaan Pendidikan Tinggi di Indonesia

katadata.co.id
8 jam lalu
Cover Berita

Misi Indonesia menjadi salah satu dari lima negara dengan perekonomian terbesar di dunia pada 2045 tampaknya belum sejalan dengan fakta terbatasnya investasi pemerintah di bidang pendidikan tinggi untuk membangun daya saing global. Pada 2026, anggaran pendidikan nasional sebagian besar dialokasikan melalui tiga pos utama yaitu Transfer ke Daerah (contohnya tunjangan guru dan dana operasional sekolah) sebesar Rp253,4 triliun atau 33,4% dari total anggaran pendidikan, program Makanan Bergizi Gratis (MBG) sebesar Rp223,6 triliun atau 32,2%, dan anggaran untuk kementerian dan lembaga (di luar program MBG, seperti revitalisasi sekolah) sebesar Rp243,9 triliun atau 29,4%.

Sementara itu, untuk sektor pendidikan tinggi, di luar anggaran Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebesar Rp61 triliun, porsi terbesar dialokasikan melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dengan total dana Rp25 triliun atau sekitar 3,3% dari keseluruhan anggaran pendidikan. LPDP memfasilitasi berbagai program bantuan pendidikan, termasuk beasiswa bagi sekitar 4.000 mahasiswa serta program kerja sama strategis dengan berbagai kementerian dan lembaga.

Dari data tersebut, pemerintah hanya mengalokasikan 11,4% dari total anggaran pendidikan untuk perguruan tinggi, jauh lebih rendah dibandingkan dengan Thailand (20%), Malaysia (22%), dan India (38,9%). Rendahnya investasi ini tercermin pada kualitas dan output pendidikan tinggi saat ini. Hanya 9,3% penduduk Indonesia berusia 25 tahun ke atas yang memiliki gelar sarjana, sementara di India angkanya mencapai 13,2%, di Malaysia 14,6%, dan di Thailand 17,4%.

Daya saing kelembagaan Indonesia di tingkat global juga masih tertinggal. Dalam QS World University Rankings 2026, Universitas Indonesia yang menempati posisi tertinggi di dalam negeri berada di peringkat ke-189 dunia. Indonesia memiliki 26 universitas yang masuk dalam daftar tersebut, jauh di bawah Malaysia dengan 30 universitas (terbaiknya Universiti Malaya di peringkat ke-58) dan India dengan 54 universitas (terbaiknya IIT Delhi di peringkat ke-123).

Duit Ibu (Pertiwi) Terbatas, tapi Tetap Harus Putar Otak

Dengan ruang fiskal yang terbatas untuk mendanai pendidikan tinggi, Indonesia seyogyanya terus dapat mengeksplorasi pembiayaan kreatif untuk mencapai aspirasi negara berpendapatan tinggi sebelum bonus demografinya memudar sekitar 2045. Dan layaknya, seorang ibu kelas menengah yang harus berjuang dalam menghidupi keluarganya, sang ibu sedapat mungkin harus menabung dan berinvestasi untuk pendidikan anak-anaknya meskipun sulit, negara ini harus memprioritaskan tujuan jangka panjang dalam pembangunan manusianya. Kemitraan sang ibu dengan tetangga dan pemodal di dalam dan luar negeri juga dapat membantu, dengan keyakinan bahwa setiap anak berhak mendapatkan kesempatan untuk tumbuh, mandiri, dan berkontribusi bagi masyarakat dan negaranya.

Di sini kami menyajikan beberapa alternatif pembiayaan kreatif yang dapat dilakukan (feasible).

Subsidi Pinjaman Pendidikan dan Konsolidasi Dana CSR 

Pada April 2025, pemerintah memperkenalkan gagasan subsidi pinjaman pendidikan yang meniru model Kredit Usaha Rakyat (KUR). Sejauh ini, beberapa bank milik negara (Himbara) telah menawarkan pinjaman pendidikan dengan suku bunga sekitar 9-10% per tahun. Namun, tingkat bunga tersebut dinilai masih terlalu tinggi karena mengikuti Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK). Dalam skema baru yang diusulkan, bank tetap menyalurkan pinjaman melalui proses bisnis normal, sementara lembaga pemerintah akan menanggung sebagian bunga melalui subsidi, misalnya dengan menurunkan tingkat bunga efektif menjadi sekitar 6%. Meski demikian, hingga kini belum ada tindak lanjut konkret terhadap rencana tersebut.

Agar program ini dapat berjalan efektif, pemerintah perlu merancang strategi penetapan target yang tepat untuk meningkatkan partisipasi pendidikan sekaligus memitigasi risiko gagal bayar. Pada tahap awal, program tersebut dapat difokuskan pada mahasiswa yang melanjutkan studi di kampus dalam negeri dan memiliki kemampuan pembayaran yang relatif mumpuni, misalnya pekerja yang tidak memenuhi syarat untuk beasiswa atau yang ingin kuliah sambil bekerja. Skema ini dapat diimplementasikan melalui Himbara terlebih dahulu dan dievaluasi secara berkala sebelum diperluas ke bank lainnya. 

Indonesia juga memiliki peluang besar untuk memperluas sumber pembiayaan pendidikan tinggi melalui mobilisasi dana Corporate Social Responsibility (CSR). Sejumlah perusahaan besar telah menjalankan program beasiswa dengan skala yang cukup signifikan, seperti Beasiswa Indonesia Cerdas dari BRI senilai Rp15 miliar untuk 3.000 mahasiswa, penghargaan khusus bagi perempuan dari Unilever, serta program Sobat Bumi dari Pertamina yang saat ini tengah diperluas. Inisiatif-inisiatif CSR di bidang pendidikan tersebut mencerminkan potensi serta komitmen sektor swasta dalam mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Agar dampaknya lebih optimal, dana CSR sebaiknya diselaraskan dengan kebutuhan industri dan dikelola melalui mekanisme yang terintegrasi. Pemerintah dapat mengoordinasikan hal ini melalui Badan Layanan Umum (BLU) yang telah ada, misalnya dengan membentuk dana tematik di bidang-bidang strategis seperti energi bersih, teknologi digital, atau pengembangan sumber daya manusia. Dana tersebut dapat digunakan untuk mendukung beasiswa maupun penelitian terapan, dengan skema komitmen penerima beasiswa untuk berkontribusi selama beberapa tahun pada proyek-proyek yang relevan dengan bidang yang didanai perusahaan.

Dengan alokasi yang terstandarisasi, transparan, serta aturan dan insentif yang jelas, program CSR dapat menjadi pelengkap bagi belanja publik. Pendekatan ini tidak hanya memperluas akses terhadap pendidikan tinggi, tetapi juga memastikan bahwa lulusan Indonesia siap menghadapi kebutuhan industri masa depan.

Sinergi Wakaf Indonesia dan Institusi Pendidikan Tinggi

Selain itu, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan peringkat pertama dalam World Giving Index 2024, Indonesia memiliki potensi wakaf tunai yang cukup besar (~Rp180 triliun per tahun). Wakaf merupakan aset yang hasil pengelolaannya digunakan secara berkelanjutan untuk tujuan sosial.

Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai lembaga pengelola wakaf nasional baru-baru ini bekerja sama dengan Universitas Negeri Padang (UNP) dalam mengelola dana abadi melalui Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS). Melalui skema ini, kontribusi masyarakat diinvestasikan dalam instrumen sukuk, dan hasil investasinya digunakan untuk mendanai beasiswa, riset, serta pengembangan universitas.

Pemerintah dapat memperluas inisiatif ini secara nasional dengan menetapkan kerangka kebijakan yang dapat menjadi pedoman bagi universitas dalam memperkuat kemandirian finansial. Selain itu, sinergi antara BWI dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dapat diperkuat misalnya melalui pembentukan Dana Wakaf Pendidikan yang secara khusus dikelola untuk mendukung sektor pendidikan tinggi. Saat ini, Muhammadiyah telah memulai langkah kolaboratif dengan LPDP melalui kontribusi dana sebesar Rp10 miliar sebagai dana pendamping riset.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Plt Ketua Golkar Sumut Ahmad Doli Kurnia Siapkan Karpet Merah Menuju Musda Demokratis
• 19 jam lalutvonenews.com
thumb
Harga Bitcoin Terkoreksi, Peluang bagi Trader Kripto?
• 23 jam lalumetrotvnews.com
thumb
UMP Sumbar 2026 Sudah Ditetapkan, Naik 6,3%
• 9 jam lalujpnn.com
thumb
3 Jemaah Haji 2025 Masih Hilang, Ini Siasat Kemenhaj Agar Tak Terjadi di 2026
• 16 jam lalukumparan.com
thumb
Setuju Pilkada Tak Langsung, PAN Pasang Dua Syarat
• 14 jam lalujpnn.com
Berhasil disimpan.