PARA pengusaha melaporkan sulitnya mereka mendapat pembiayaan ke Satuan Tugas Percepatan Program Strategis Pemerintah (Satgas P2SP) yang diwakili Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, Selasa (23/12).
Dalam rapat kerja perdana percepatan implementasi dan penyelesaian hambatan usaha (debottlenecking) di Kementerian Keuangan, General Manager PT Mayer Indah Indonesia Melisa Suria mengeluhkan sulitnya memperoleh kredit dari perbankan, termasuk bank Himbara.
Perusahaannya berulang kali ditolak perbankan saat mengajukan kredit. Penolakan tersebut karena industri tekstil dikategorikan bank sebagai sunset industry atau industri yang dinilai mengalami penurunan permintaan, sehingga dianggap berisiko tinggi bagi perbankan.
"Jadi, masalah pendanaan kami bahwa bank-bank memberikan lampu merah atau lampu oranye kepada industri tekstil. Kami sebagai sunset industry, kami ditolak banyak bank," keluh Melisa.
Ia menegaskan kondisi industri tekstil sebenarnya mulai menunjukkan perbaikan. Sejak September hingga Desember, permintaan kembali meningkat seiring dengan mendekatnya momentum Lebaran.
Sejumlah perusahaan konveksi yang sebelumnya memulangkan penjahit ke kampung halaman sudah kembali memanggil tenaga kerja karena pesanan mulai masuk. Namun, keterbatasan pembiayaan membuat pabrik tidak mampu membeli bahan baku secara optimal.
Saat ini, perusahaan hanya mampu membeli benang sekitar 30%–40% dari total kebutuhan pesanan. Kondisi ini dinilai mengancam kelangsungan usaha jika terus berlanjut.
Masalah pendanaan ini diperparah oleh tekanan keuangan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun pascacovid-19.
Setelah status dicabut, perusahaan berharap dapat kembali beroperasi normal. Namun, derasnya arus barang impor membuat produk lokal sulit bersaing dari sisi harga. Banyak konveksi pelanggan terpaksa menghentikan produksi dan memulangkan tenaga kerja. Upaya penjualan pun terhambat karena harga tidak kompetitif.
Setitik harapan sejatinya muncul saat pemerintah mengumumkan adanya penyaluran dana untuk mendorong pergerakan ekonomi nasional. Namun kenyataannya, sejak awal September hingga kini, pihaknya sulit mendapatkan pembiayaan. Melisa mengaku bahkan telah mendatangi lebih dari 20 bank, termasuk bank-bank Himbara, dan seluruhnya menolak pengajuan kredit dengan alasan industri tekstil berada dalam kategori berisiko tinggi.
Bahkan bank rekanan yang telah bekerja sama lebih dari 15 tahun pun menolak dengan alasan kebijakan internal, seraya menyebut industri tekstil sudah terlalu berdarah-darah.
Ia menegaskan manajemen perusahaan masih menaruh kepercayaan kepada Presiden dan pemerintah. Menurutnya, tidak mungkin pemerintah membiarkan industri manufaktur nasional runtuh akibat pembiaran impor ilegal dan lemahnya perlindungan terhadap industri dalam negeri.
Menjawab keluhan itu, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan penanganan persoalan pembiayaan industri harus dilakukan secara adil dan proporsional. Ia menilai tidak tepat jika sebuah industri dimatikan hanya karena permasalahan yang terjadi pada beberapa perusahaan tertentu.
Menurut Purbaya, tidak semua lembaga pembiayaan dapat langsung digunakan secara penuh. Pemerintah tidak bisa serta-merta memberikan dukungan 100% tanpa mempertimbangkan instrumen atau tools yang tepat.
Terkait PT Mayer Indah Indonesia, Purbaya menawarkan solusi agar perusahaan special mission vehicle (SMV), yang sebagian berbentuk BUMN, dapat menyalurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) secara khusus kepada sektor padat karya. Skema ini diharapkan dapat membantu pelaku industri yang mengalami kesulitan pembiayaan.
"Kita pikirkan tools apa yang bisa kita pakai untuk membantu itu, salah satunya KUR khusus sektor padat karya," kata Purbaya.
Menurutnya, setiap opsi yang digunakan harus profesional, baik dari sisi fiskal maupun dalam hubungan antara pemerintah dan badan usaha, termasuk jika melibatkan entitas yang beroperasi secara komersial.
Pemerintah, lanjut Purbaya, akan menerima setiap aduan yang masuk dan berupaya menyelesaikannya secara langsung apabila memungkinkan melalui Kanal Debottlenecking.
Jika permasalahan membutuhkan penyesuaian regulasi, langkah tersebut akan dibahas dan disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Setiap kasus akan ditangani secara berbeda, tergantung pada kompleksitas dan hambatan yang dihadapi.
"Seluruh hasil pembahasan akan dimonitor secara berkala dari minggu ke minggu, dengan status yang jelas apakah suatu kasus telah selesai atau masih dalam proses," jelasnya.
Staf Ahli Bidang Pengembangan Produktivitas dan Daya Saing Ekonomi Kemenko Perekonomian Evita Manthovani menjelaskan terdapat mekanisme pembiayaan melalui KUR khusus industri padat karya dengan plafon hingga Rp10 miliar.
Namun, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi Mayer Indah Indonesia. Salah satunya, kepesertaan dalam program BPJS. Dalam pembahasan sebelumnya, ditemukan adanya tunggakan yang perlu diselesaikan oleh perusahaan itu terlebih dahulu.
"Dengan demikian, penyaluran KUR khusus tersebut akan melalui penyesuaian," ucapnya.
Mayer Indah sendiri dapat masuk dalam skema ini dengan ketentuan memiliki usaha yang produktif dan layak, memiliki NPWP dan NIB, terdaftar sebagai peserta BPJS, telah beroperasi minimal dua tahun di sektor industri padat karya, serta mempekerjakan sedikitnya 50 orang pekerja.
Defisit
Perusahan lain yang mengadu ke Purbaya ialah PT Sumber Organik, pengelola fasilitas pengolahan sampah menjadi energi listrik (PSEL) di Benowo, Surabaya, Jawa Timur, mengelola sekitar 1.000 ton sampah per hari. Perusahaan itu menghadapi tekanan keuangan akibat belum cairnya Bantuan Layanan Pengelolaan Sampah (BLPS) yang bersumber dari APBN.
Direktur Utama PT Sumber Organik Agus Nugroho Susanto mengungkapkan ketidakpastian pencairan BLPS menjadi kendala utama perusahaan. Padahal, BLPS tersebut rutin diterima sejak 2021 hingga 2024 dengan nilai berkisar Rp55 miliar hingga Rp65 miliar per tahun.
Untuk 2025, bantuan yang biasanya dicairkan di awal tahun itu hingga kini belum diterima. Akibat belum turunnya BLPS tahun ini, kondisi keuangan perusahaan memburuk hingga berstatus default.
"Sekarang ini kami defisit, sehingga tidak dapat melakukan pembayaran kewajiban pokok dan bunga kepada lender kami. Jadi status kami default,” ujar Agus.
Ia menambahkan, keterlambatan BLPS bukan baru terjadi tahun ini dan telah disampaikan sebelumnya. Namun hingga kini belum ada keputusan terkait alokasi anggaran. Karena itu, pihaknya berharap persoalan ini mendapat atensi dari Menteri Keuangan agar BLPS dapat segera dialokasikan.
Menanggapi hal tersebut, Purbaya menyatakan akan melakukan negosiasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) terkait pendanaan BLPS melalui anggaran KLH.
"Nanti kalau KLH ada kepentingan di masa yang akan datang, kita negosiasi lagi. Setuju enggak itu?" tanyanya.
Purbaya juga membuka peluang agar pendanaan tersebut dapat dieksekusi pada awal tahun. "Kalau Januari, ini kan sudah bisa dilaksanakan dan dieksekusi," tutupnya. (Ins/E-1)





