Bisnis infrastruktur telekomunikasi nasional memasuki fase persaingan baru menjelang akhir tahun. Sejumlah konglomerat besar, baik lokal maupun global, kian agresif melakukan aksi korporasi di sektor fiber optik, jaringan data, hingga infrastruktur digital.
Emiten-emiten telekomunikasi yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) pun menjadi arena adu strategi dan modal. Gelombang ekspansi ini melibatkan nama-nama besar, mulai dari Indosat Ooredoo Hutchison (ISAT) yang menggandeng Arsari Group dan Northstar, Grup Sinarmas melalui PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA), hingga Telkom Indonesia Tbk (TLKM) lewat spin-off aset fiber bernilai jumbo.
Di saat yang sama, emiten menengah seperti PT Sinergi Inti Andalan Prima Tbk (INET) dan PT Solusi Sinergi Digital Tbk (WIFI) turut tancap gas dengan ekspansi jaringan dan perburuan spektrum frekuensi. Masifnya manuver tersebut menandai babak baru konsolidasi dan kompetisi di industri telekomunikasi.
Tak sekadar memperluas jaringan, para pemain besar kini berlomba membangun ekosistem infrastruktur digital yang terintegrasi, dari fiber optic, data center, hingga layanan broadband. Para taipan tancap gas mengamankan posisi jangka panjang di tengah lonjakan kebutuhan konektivitas nasional.
Bagaimana arah baru bisnis telekomunikasi yang digadang pada konglomerat? Berikut ulasanya
Entitas bisnis milik adik Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo yaitu Arsari Group baru saha mengumumkan menggandeng Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) dan Northstar Group untuk membangun perusahaan infrastruktur serat optik. Kerja sama dilakukan dengan skema kemitraan strategis dengan membuat perusahaan patungan bernama FiberCo.
Lewat kerja sama ini ketiga perusahaan mendirikan FiberCo dengan nilai perusahaan mencapai Rp 14,6 triliun. Deputy CEO and COO Arsari Group, Aryo PS Djojohadikusumo mengungkap kerja sama ini akan memberikan dampak jangka panjang untuk ketiga entitas bisnis.
“Kolaborasi ini membuka nilai dari aset yang ada, sekaligus mobilisasi modal jangka panjang untuk menjawab kesenjangan fixed product di Indonesia,” kata Aryo dalam konferensi pers di kantor pusat Indosat, di Jakarta Pusat, Selasa (23/12).
Dalam kemitraan tersebut, Indosat berencana memisahkan hampir seluruh aset fiber optik domestiknya. Perusahaan baru ini selanjutnya akan beroperasi sebagai platform infrastruktur fiber optik independen dan berakses terbuka (open-access).
“Kami mengumumkan investasi di digital infrastructure fiber yang independen di Indonesia. Ini juga akan kami padukan dengan investasi Arsari di clean energy, atau energi terbarukan yang nanti akan kami bangun di seluruh Indonesia,” ujar Aryo lagi.
Merujuk white paper pendirian FiberCo diketahui bahwa entitas ini akan mengelola jaringan serat optik terintegrasi sepanjang lebih dari 86 ribu kilometer, mencakup backbone nasional, kabel laut domestik, serta jaringan akses ke menara telekomunikasi dan kawasan bisnis. Perusahaan juga tercatat akan mengoperasikan 45% jaringan di Pulau Jawa dan 55% jaringan luar Jawa.
Struktur kepemilikan FiberCo dirancang dengan Indosat mempertahankan sekitar 45% saham. Selanjutnya sekitar 45% lainnya dimiliki bersama oleh Arsari Group dan Northstar Group. Sementara itu sebagian kecil saham dilepas ke publik melalui mekanisme free float atau beredar bebas di publik.
President Director and CEO IOH, Vikram Sinha menyatakan kemitraan ini dirancang untuk memberikan manfaat nyata bagi Indonesia, Indosat beserta para pemegang sahamnya, serta FiberCo sebagai entitas baru. Skema kerja sama nantinya memungkinkan tiga entitas membangun platform serat optik independen bernilai tambah yang lebih tangguh.
“Indosat akan memisahkan hampir seluruh aset serat optik domestiknya namun tidak termasuk kabel bawah laut internasional ke dalam FiberCo, yang akan bergabung dengan perusahaan infrastruktur yang terdaftar di bursa saham,” ujar Vikram.
Dengan struktur kepemilikan saham yang baru, Indosat menurut Vikram tetap akan mempertahankan posisi strategis perusahaan. Bagi Indosat dan para pemegang sahamnya, transaksi ini menghadirkan nilai strategis yang signifikan.
“Struktur ini memungkinkan Indosat untuk membuka nilai pemegang saham yang signifikan sambil mempertahankan kendali operasional atas pengembangan dan pengelolaan jaringan FiberCo serta berpartisipasi dalam potensi keuntungan di masa depan,” ujar Vikram.
Grup Sinarmas (DSSA) Bakal Jadi Pengendali Usai Caplok MORAKemudian pendiri grup Sinarmas sekaligus konglomerat RI Franky Oesman Widjaja sebelumnya melakukan merger atau menggabungkan usahanya melalui My Republic dengan PT Mora Telematika Indonesia Tbk (MORA). Menilik kepemilikannya, MyRepublic merupakan anak usaha PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) yang menjadi bagian dari raksasa bisnis Grup Sinarmas.
Setelah aksi itu rampung pada semester pertama 2025, Moratelindo akan berganti nama menjadi PT Ekamas Mora Republik Tbk. Namun PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) akan menjadi pemegang saham pengendali secara tidak langsung di PT Ekamas Mora Republik Tbk.
Adapun Moratelindo akan menjadi perusahaan yang tetap bertahan. Sementara MyRepublic Indonesia bergabung ke dalam entitas baru bernama PT Ekamas Mora Republik Tbk.
Wakil Direktur Utama Mora Telematika Indonesia, Genta Andhika, membeberkan manfaat strategis dari penggabungan Moratelindo dan MyRepublic. Gabungan MORA dan MyRepublic akan menghasilkan homepass lebih dari 9,7 juta rumah, jaringan fiber optic lebih dari 116 ribu km, lebih dari 1,8 juta pelanggan ritel, sekitar 17 ribu pelanggan enterprise, dan kapasitas data center 3,3 MW.
Selain itu Direktur PT Eka Mas Republik (MyRepublic Indonesia), Iman Syahrizal, mengatakan dengan penggabungan usaha ini perusahaan bisa menghadirkan layanan yang lebih cepat dan stabil. Perusahaan juga menyasar jangkauan wilayah layanan yang lebih luas, didukung oleh ekosistem yang saling melengkapi.
Menurutnya sinergi tersebut juga membuka peluang pengembangan produk dan layanan baru melalui strategi bundling dan cross-selling. Pasca-merger, MyRepublic dan Mora akan memiliki hampir 10 juta homepass dan ditopang oleh kepemilikan di bisnis data center.
Aset Rp 90 Triliun Anak Usaha Telkom, InfranexiaPerusahaan pelat merah PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) tak kalah ambil langkah. Dalam aksi terbaru, perusahaan mengumumkan pemisahan atau spin off bisnis dan aset wholesale fiber connectivity (Tahap-I) ke PT Telkom Infrastruktur Indonesia (TIF) atau Infranexia.
Direktur Strategic Business Development & Portfolio Telkom Seno Soemadji menyebut, nilai aset InfraNexia pada tahap pertama spin-off mencapai Rp 35 triliun. Sedangkan total nilai aset InfraNexia setelah proses spin off rampung diproyeksi mencapai Rp 90 triliun.
Dalam rencana tersebut, Telkom akan mengalihkan hampir seluruh bisnis dan aset Fiber Connectivity sebanyak 99,99% ke InfraNexia. Pada tahap awal, pengalihan kepemilikan baru direalisasikan sebesar 50%.
“Ini merupakan tindakan yang menjanjikan untuk masa depan Telkom Group dan approval itu menunjukkan kepercayaan yang sangat tinggi pada corporate action kami. Pemisahan aset ini juga sebagai bagian bagaimana kami memenuhi tujuan pemerintah untuk digitalisasi,” ujar Seno di Gedung Telkom Hub, Jakarta, Kamis (18/12).
Melalui aksi spin-off tersebut, InfraNexia akan fokus mengembangkan bisnis fiber, mendorong efisiensi operasional dan belanja investasi, serta membuka ruang bagi skema network sharing dan kemitraan strategis untuk menciptakan nilai tambah bagi para pemangku kepentingan.
Pada tahap pertama spin-off, InfraNexia akan menguasai lebih dari 50% total infrastruktur jaringan fiber Telkom, termasuk segmen access, aggregation, backbone, dan infrastruktur pendukung lainnya.
Direktur Utama Telkom Dian Siswarini mengatakan, penandatanganan aset pemisahan yang mengalihkan bisnis fiber ke InfraNexia menjadi titik awal pembentukan dan pengelolaan fiber co di Indonesia. Ia berharap tahap kedua pemisahan aset dapat dilaksanakan pada 2026, sedangkan langkah aksi korporasi lanjutan untuk membuka nilai (unlock value) dari fiber co ditargetkan terealisasi pada 2026.
Dalam perjalanannya, menurut Dian, pengelolaan fiber co akan menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah menjaga prinsip netralitas layanan kepada seluruh pelanggan atau klien fiber co.
Mega Ekspansi INET Lewat Rights Issue JumboEkspansi besar-besaran juga dilakukan oleh PT Sinergi Inti Andalan Prima Tbk (INET). INET menargetkan dapat menghimpun dana mencapai Rp 3,2 triliun melalui aksi rights issue.
Berdasarkan prospektus perseroan, INET akan menerbitkan sebanyak-banyaknya 12,8 miliar saham baru biasa dengan nilai nominal Rp 10 per saham dengan harga pelaksanaan Rp 250 per saham. Adapun seluruh dana segar hasil rights issue akan digunakan untuk mendukung rencana ekspansi besar-besaran INET di sektor telekomunikasi dan infrastruktur digital.
Rencananya, sekitar Rp 2,8 triliun dana rights issue akan disalurkan melalui entitas anak, PT Garuda Prima Internetindo (GPI), untuk pengembangan jaringan Fiber To The Home (FTTH) berkecepatan tinggi dengan teknologi Wi-Fi 7. Proyek ini ditargetkan untuk melayani hingga 2 juta pelanggan di wilayah strategis Pulau Bali dan Lombok.
Kemudian INET agresif ekspansi dengan mengakuisisi saham 60% PT Trans Hybrid Communication (THC).THC merupakan perusahaan asing yang sebagian sahamnya dimiliki pihak Malaysia dan telah berdiri sejak 2006. Perusahaan ini mengelola berbagai layanan seperti IP Transit, Dedicated Internet, THXIX, IPLC, Managed Relation, Co-Location Server, dan THC Cloud.
THC juga memiliki jaringan terbesar di Kalimantan Barat, termasuk jalur lintas batas menuju Kuching, Malaysia serta Brunei Darussalam. Kemudian Trans Hybrid juga tercatat memiliki cabang koneksi langsung dari Kuching ke Pulau Kalimantan. Selain itu perusahaan ini juga memegang izin Network Access Provider (NAP) dan telah beroperasi secara internasional.
WIFI Menang Lelang FrekuensiEmiten milik adik Presiden Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo PT Solusi Sinergi Digital Tbk (WIFI) atau Surge membeberkan strategi lanjutan setelah memenangkan lelang pita frekuensi 1.4 GHz Broadband Wireless Access (BWA) untuk Region 1 yang mencakup Pulau Jawa, Papua, dan Maluku.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) melalui Tim Seleksi 1.4 GHz menetapkan anak usaha Surge, PT Telemedia Komunikasi Pratama, sebagai pemenang untuk Region 1 dengan nilai penawaran sebesar Rp 403,76 miliar.
Direktur Utama Surge, Yune Marketatmo menjelaskan, wilayah tersebut mencakup lebih dari 60% populasi nasional. Dengan jaringan backbone fiber yang telah terhubung di Pulau Jawa, perusahaan dapat menekan biaya investasi per pelanggan secara signifikan dan meningkatkan efisiensi.
“Ini adalah langkah strategis untuk memperluas konektivitas digital kecepatan tinggi dengan harga terjangkau di Pulau Jawa hingga Papua dan Maluku dengan efisiensi maksimal,” ujarnya dalam keterangan resmi, dikutip Kamis (16/10).
Setelah memenangkan lelang frekuensi 1.4 GHz, menurut dia, perusahaan telah memulai tahap perencanaan teknis dan implementasi awal untuk memperluas cakupan serta meningkatkan kualitas layanan.
Fokus utama Surge adalah mengembangkan layanan fixed wireless broadband dan konektivitas residensial berkecepatan tinggi bagi masyarakat. Dengan dukungan efisiensi biaya serta potensi pasar besar di Region 1, Surge optimistis dapat menjadi penggerak utama dalam penyediaan akses digital cepat dan terjangkau di seluruh Indonesia.




