Bencana, termasuk banjir dan longsor yang datang bersama Siklon Senyar di Aceh dan Sumatra Utara, biasanya diikuti oleh beberapa hal. Salah satunya adalah munculnya pertikaian narasi antara pejabat pemerintah dan masyarakat sipil.
Ada dua narasi kontras mengenai penyebab bencana. Di satu pihak, pejabat cenderung menunjuk curah hujan ekstrem, bibit siklon, lereng curam, dan tanah lapuk sebagai faktor utama. Sebaliknya, masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah berpendapat bahwa penekanan pemerintah tentang Siklon Senyar hanyalah “alasan” untuk menutupi akar masalah struktural. Mereka menyoroti kerusakan lingkungan akibat izin konsesi ekstraktif yang berlebihan dan lemahnya pengawasan sebagai pemicu utama bencana. Dalam pandangan ini, masyarakat sipil meletakkan warga terdampak sebagai “korban pembangunan rakus ruang” atau “korban investasi ekstraktif”.
Sesuai dugaan, para pejabat tidak menanggapi narasi “korban pembangunan” yang disuarakan oleh masyarakat sipil. Padahal, narasi “pembangunan menuntut pengorbanan” seharusnya cukup familiar bagi mereka. Narasi ini telah bergema sejak era pemerintahan Soeharto, misalnya untuk menjustifikasi penggusuran warga demi pembangunan Waduk Kedung Ombo. Hebatnya, narasi ini terus diulang sampai sekarang. Beberapa contohnya misalnya Presiden Joko Widodo pada tahun 2015 di acara Silaturahmi Pers Nasional dan 2018 di unggahan media sosial menyambut Idul Adha, Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama pada tahun 2015 ketika ditanya pers tentang pembebasan lahan untuk pembangunan MRT, serta kepala-kepala daerah di berbagai wilayah. Yang terakhir tercatat adalah Walikota Bima saat menyambut Idul Adha pada Juni 2025.
Pernyataan masyarakat sipil yang menyebut warga terdampak sebagai “korban pembangunan rakus ruang” mengindikasikan bahwa narasi “pembangunan menuntut pengorbanan” tidak hanya beredar di kalangan pejabat, tetapi juga mempengaruhi dan lantas digunakan masyarakat Indonesia. Salah satu contohnya, survei nasional kami tahun 2022 mencatat bahwa 60% populasi Indonesia berusia di atas 18 tahun percaya deforestasi bisa dibenarkan jika mendatangkan manfaat ekonomi, seperti peningkatan pendapatan, pembangunan infrastruktur, pembukaan lapangan kerja.
Narasi tersebut konsisten dengan temuan penelitian kami tahun 2024 lalu (FGD, analisis konten X/Twitter, dan Q-methodology). Kami menemukan bahwa cara banyak warga memaknai pembangunan bisa kami ringkas sebagai berikut: “Pemerintah memimpin bangsa membangun infrastruktur fisik demi kejayaan Indonesia. Kerugian atau kerusakan daerah yang timbul akibat pembangunan adalah konsekuensi yang memprihatinkan, tapi juga ongkos yang harus dibayar. Sementara itu, kesejahteraan keluarga saya bergantung sepenuhnya pada kerja saya, didukung infrastruktur yang disediakan pemerintah.”
Pada pertengahan November 2025, kami meluncurkan hasil studi yang menguji narasi-narasi tentang pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang mengedepankan keberlanjutan dan keadilan sosial menggunakan evaluasi acak.
Dalam studi tersebut, kami berupaya mengidentifikasi narasi potensial untuk menandingi wacana yang menganggap kerugian sekelompok warga atau kerusakan suatu wilayah adalah pengorbanan yang harus dibayar demi pembangunan dan kejayaan negara.
Narasi potensial yang berhasil kami identifikasi adalah “semua maju, tanpa ada tumbal.” Frasa “semua maju” memiliki makna ganda: merujuk pada kemajuan infrastruktur fisik dan kapabilitas insani (human capabilities), serta mencakup seluruh lapisan masyarakat, termasuk mereka yang selama ini terpinggirkan atau disisihkan.
Pelajaran berharga dari studi 2025 ini adalah narasi yang menekankan pentingnya keseimbangan antara infrastruktur fisik dan sumber daya manusia dapat mengubah cara masyarakat memaknai pembangunan. Selain itu, narasi tentang pembangunan tanpa ada yang jadi tumbal secara signifikan mendorong masyarakat untuk lebih memprioritaskan agenda pembangunan yang berfokus pada hak asasi manusia dan masa depan yang lebih baik untuk generasi berikutnya. Secara spesifik, narasi ini meningkatkan kepekaan publik terhadap dampak negatif penggusuran. Oleh karena itu, narasi ini berpotensi besar untuk membantu masyarakat mengategorikan penggusuran (dan bentuk pelanggaran HAM lainnya) sebagai tindakan penumbalan.
Kami menduga bahwa masyarakat Indonesia relatif lebih mudah diajak melihat deforestasi dan perusakan lingkungan sebagai sebuah “penumbalan” yang merugikan semua pihak, baik kini maupun di masa depan. Namun, tantangan yang lebih besar terletak di masih rendahnya pemahaman masyarakat tentang energi terbarukan, sebagaimana terungkap dalam studi kami tahun 2021. Oleh karena itu, kita perlu mengerjakan PR membuat publik paham bahwa selama masih ada emisi dari pembakaran bahan bakar fosil, semua orang masih menjadi tumbal. Setelah PR ini selesai, barulah kita bisa mengajak publik ikut mendesak pemerintah untuk membuat dan menegakkan kebijakan percepatan transisi ke energi terbarukan.
Menantang Dominasi Narasi “Pembangunan Butuh Pengorbanan”Narasi adalah elemen dalam cerita yang digunakan manusia untuk memberi makna pada peristiwa atau situasi yang mereka alami. Kekuatan narasi sangat besar; ia mampu menonjolkan aspek tertentu dari suatu masalah sekaligus meredam aspek lainnya. Akibatnya, narasi memengaruhi cara publik merumuskan suatu masalah dan melihat solusi-solusi yang tersedia.
Bagi pembuat kebijakan, narasi dapat membuat trade-off kebijakan —dalam hal ini antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan atau hak-hak warga setempat— menjadi lebih dapat diterima. Tak mengherankan jika pihak yang berkuasa akan berusaha mewajarkan suatu bentuk narasi dalam masyarakat dan membuat narasi dominan seolah-olah “alamiah” sehingga tak terhindarkan. Narasi “pembangunan butuh pengorbanan” tampaknya telah tertanam kuat di benak publik Indonesia, sehingga hanya aktivis atau warga yang telah dirugikan langsung yang mempertanyakan, “Siapa yang dikorbankan, dan untuk kepentingan siapa?”
Jika tidak ditantang atau bahkan ditentang, narasi dominan ini akan terus membuka jalan untuk kebijakan pembangunan yang mengesampingkan keberlanjutan, partisipasi publik, dan hak asasi warga.
Agar bisa menandingi narasi “pembangunan menuntut pengorbanan” yang sudah ditanamkan selama puluhan tahun, kita harus konsisten kerja keras bertahun-tahun untuk menyebarkan narasi “semua maju tanpa ada tumbal” ke luar ruang gema, menjangkau mereka yang bukan aktivis dan warga yang belum peduli. Tujuannya adalah agar lebih banyak yang bersedia bergerak bersama kita dalam barisan masyarakat sipil untuk mendesak pemerintah meninggalkan praktik pembangunan yang menumbalkan.
Untuk menembus ruang gema, narasi untuk mendorong perubahan praktik pembangunan dan perubahan sosial lainnya perlu dibingkai dalam nilai-nilai yang selaras dengan yang dianut warga biasa. Seringkali, nilai-nilai ini tidak sama dengan yang dipegang banyak aktivis atau organisasi masyarakat sipil progresif. Namun, kami percaya bahwa kunci sukses membujuk publik adalah “menemui penerima pesan di mana mereka berada saat ini,” baik secara harfiah lewat perencanaan media, atau secara figuratif dalam hal pikiran dan perasaan mereka. Oleh karena itu, kampanye perubahan sosial yang efektif harus dimulai dengan kesadaran bahwa kebanyakan individu awalnya tidak peduli atau tidak mengerti isu yang kita gaungkan.
Kampanye yang kita jalankan seharusnya bukan menjadi ajang menggurui publik, apalagi sampai mencibir mereka yang masih ragu akan pesan yang kita sampaikan. Kami terus menemukan bukti bahwa individu akan lebih terdorong ikut aksi menuntut perubahan ketika mereka merasa tervalidasi dan teryakinkan, bukan karena mereka merasa direndahkan. Maka dari itu, kampanye sosial harus jadi satu kesempatan untuk menjalin tali kesadaran antara warga yang saling peduli, yang bisa melihat bahwa banyak masalah bersama yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari punya dimensi struktural sehingga tidak pantas dipasrahi.

