SEMARANG, KOMPAS — Polisi menetapkan Gilang Ihsan Faruq (22), sopir bus Cahaya Trans sebagai tersangka dalam kecelakaan yang terjadi di Simpang Susun Exit Tol Krapyak, Kota Semarang, Jawa Tengah pada Senin (22/12/2025). Gilang yang menjadi sopir bus selama dua bulan terakhir dan baru dua kali mengemudikan bus tersebut mengaku belum memahami karakter jalan di sekitar lokasi kejadian.
Gilang ditetapkan sebagai tersangka setelah penyidik lalu lintas Kepolisian Resor Kota Besar Semarang menggelar perkara pada Selasa (23/12/2025) petang. Penyidik berkesimpulan bahwa unsur pidana terpenuhi berdasarkan bukti permukaan yang ada.
“Menjerat pengemudi bus tersebut dengan Pasal 310 Ayat 2, Ayat 3 dan Ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan. Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dan mengakibatkan adanya korban meninggal dunia dijerat dengan pasal tersebut dengan sanksi pidana maksimal 6 tahun penjara,” kata Kepala Polrestabes Semarang Komisaris Besar M Syahduddi, Selasa malam.
Syahduddi mengatakan, ada dua alat bukti yang menguatkan penyidik untuk menaikkan kasus itu ke tahap penyidikan dan melakukan penetapan tersangka. Pertama, keterangan dari empat orang saksi, baik yang melihat maupun mengalami kecelakaan tersebut, yakni para penumpang yang selamat dan mengalami luka ringan.
Kemudian, polisi juga meminta keterangan ahli dari Badan Pengelola Transportasi Darat untuk menjelaskan mengenai kondisi kendaraan. Di samping itu, hasil visum dari rumah sakit juga disebut Syahduddi menjadi pertimbangan.
Kepada polisi, Gilang mengakui setelah melakukan transaksi di Gerbang Tol Kalikangkung, ia memacu bus dengan kecepatan yang cukup tinggi. Namun, Gilang tak bisa memastikan berapa kecepatannya karena speedometer bus dalam kondisi mati.
Saat mengetahui kondisi jalanan di depannya menikung dan menurun, Gilang kaget. Meski mengaku tak sempat mengerem, Gilang sempat berupaya mengalihkan persneling dari gigi 6 ke gigi 5.
“Namun tidak sampai, tidak keburu, sehingga yang bersangkutan mengambil manuver selanjutnya yaitu membanding setir ke arah kiri. Posisi kendaraan sudah terlanjur oleng ke sisi sebelah kanan, sehingga terjadi out of control dan menyebabkan kendaraan bus tersebut terbalik dan membentur dinding beton yang ada di sisi kanan jalan tersebut,” ucap Syahduddi.
Gilang bukanlah sopir utama bus Cahaya Trans yang pada Minggu (21/12/2025) malam diberangkatkan dari Bogor, Jawa Barat tersebut. Gilang yang disebut polisi sebagai sopir cadangan itu baru mengemudikan bus itu dari rest area Kilometer 102 di daerah Subang, Jabar. Adapun saat kejadian, sopir utama bus itu sedang tidur.
Menurut pengakuan Gilang, ia baru bekerja di perusahaan bus itu selama lebih kurang 2 bulan. Warga Bukit Tinggi, Sumatera Barat itu sebelumnya bekerja sebagai sopir truk. “Yang bersangkutan baru dua kali mengemudikan bus tersebut dan pengakuannya belum memahami karakter jalan yang ada di sekitar tempat kejadian perkara,” ujar Syahduddi.
Syahduddi menyebut, penelitian telah dilakukan terhadap bus Cahaya Trans dengan melibatkan petugas dari Traffic Accident Analysis (TAA) Kepolisian Daerah Jateng dan Korps Lalu Lintas Polri. Hasilnya, kendaraan, kondisi pengereman dan kondisi ban dinilai cukup baik. Balai Pengelola Transportasi Darat juga disebut Syahduddi menyatakan bahwa bus itu layak jalan.
Dalam kecelakaan maut yang terjadi Senin sekitar pukul 00.30 tersebut, sebanyak 16 orang dinyatakan meninggal dunia. Kemudian, 17 orang lainnya selamat namun menderita luka-luka, baik luka ringan hingga luka berat.
Pada Selasa, sebanyak 12 orang yang menderita luka sudah diperbolehkan untuk pulang dari rumah sakit. Adapun lima orang masih menjalani perawatan, karena baru saja menjalani operasi patah tulang lengan dan patah tulang kaki. Lima orang itu dirawat di tiga rumah sakit berbeda, yakni di Rumah Sakit Umum Daerah dr Adhyatma MPH atau RSUD Tugurejo, Rumah Sakit Columbia Asia dan Rumah Sakit Elisabeth.
Jasa Raharja bakal menanggung biaya perawatan bagi korban luka-luka dalam kecelakaan tersebut. Sesuai dengan ketentuan, masing-masing korban yang luka-luka akan mendapatkan bantuan biaya pengobatan maksimal sebesar Rp 20 juta.
Adapun, keluarga korban meninggal dunia juga bakal mendapatkan santunan. Santunan yang diberikan untuk keluarga korban meninggal dunia sebesar Rp 50 juta.
“Ada 16 korban meninggal dunia yang ahli warisnya sudah terdata. Empat ahli waris korban dari Klaten, empat ahli waris korban dari Boyolali, empat ahli waris Bogor, dua ahli waris dari Yogyakarta, satu ahli waris dari Jakarta Timur, dan satu ahli waris dari Banten,” kata Pelaksana Tugas Direktur Jasa Raharja Jateng Dewi Aryani Suzana saat meninjau posko pengaduan keluarga korban di RSUP Dr Kariadi, Senin.
Sementara itu, Pengamat Transportasi Universitas Katolik Soegijapranoto, Djoko Setijowarno menyebut kecelakaan lalu lintas masih terus terjadi karena pengawasan terkait standar keselamatan angkutan penumpang minim. Peristiwa kecelakaan pada Senin diharapkan Djoko menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi.
“Yang pertama, aktifkan kembali direktorat keselamatan transportasi darat. Kedua, anggaran keselamatan itu jangan dihemat, jangan dipangkas, kalau bisa ditambah. Ketiga, sistem manajemen keselamatan itu enggak jalan, padahal itu penting,” ucap Djoko.
Djoko mengatakan, selama ini pengecekan kendaraan hanya dilakukan pada bus-bus yang berangkat dari terminal. Padahal, masih banyak bus yang berangkat tidak dari terminal, melainkan dari pool-pool bus. Untuk itu, Djoko berharap supaya pengawasan hingga pengecekan kendaraan bisa dilakukan hingga ke pool-pool bus.
Selain pengecekan kondisi kendaraan, pengecekan kondisi kesehatan pengemudi juga dinilai Djoko penting. Sehingga, ia menyarankan agar tempat pemeriksaan kesehatan tidak hanya ada di terminal-terminal, melainkan juga di rest area atau tempat istirahat.
“Pengelola rest area itu bisa kerja sama antara pengelola dengan Jasa Raharja dan tenaga puskesmas setempat. Sehingga kalau sopir lelah, mereka bisa berhenti istirahat sambil periksa kesehatan atau minta vitamin. Setahu saya baru ada satu di Cipularang, mudah-mudahan di setiap rest area ada,” ujar Djoko.
Tikungan di Simpang Susun Exit Tol Krapyak yang menjadi lokasi kecelakaan bus Cahaya Trans disebut Djoko cukup tajam. Untuk itu, pemerintah diminta menambah rambu-rambu lalu lintas berupa peringatan supaya pengemudi menurunkan kecepatan.
“Kemudian yang tidak kalah penting adalah mewajibkan seluruh penumpang bus itu memakai sabuk pengaman. Itu penting sekali karena bisa mengurangi fatalitas. Kalau pun ada kecelakaan, dia tidak terlempar karena tertahan oleh sabuk pengaman. Ini seharusnya diwajibkan,” imbuh Djoko.




