Di era digital yang cepat berubah, platform digital seperti media sosial, e-commerce, dan super-app bukan sekadar kanal komunikasi dan transaksi. Mereka telah menjadi infrastruktur sosial ekonomi baru salah satunya sebagai mediator interaksi warga dengan layanan publik, pasar, informasi, bahkan ruang politik. Namun, ketika negara menimbang ulang peran regulasi atas platform tersebut, muncul sebuah dilema mendasar apakah pemerintah akan berperan sebagai pengendali yang tegas menata ruang digital untuk publiknya atau sekadar pengikut dinamika pasar yang dikuasai korporasi global?
Pemerintah Indonesia belakangan menunjukkan ambisi lebih besar untuk mengatur ekosistem digital. Isu seperti perlindungan anak di ruang maya, penyusunan roadmap kecerdasan buatan (AI), hingga kewajiban bagi penyelenggara sistem elektronik (PSE) untuk mengikuti aturan lokal menggambarkan keinginan negara hadir secara aktif di ranah ini.
Namun, pertanyaan adalah apakah regulasi yang disusun sudah cukup untuk menyeimbangkan kekuatan platform, melindungi warga, dan tetap mendorong inovasi lokal atau justru berisiko menjadi alat kendali yang responsif terhadap kepentingan politis dan ekonomi semata?
Platform digital kini menjadi ruang dominan aktivitas publik. Di Indonesia, pengguna media sosial mencapai puluhan juta untuk setiap platform besar seperti YouTube, TikTok, dan Instagram, menjadikan negara ini salah satu pasar terbesar dunia untuk konsumsi konten digital.
Namun penetrasi yang masif ini belum diimbangi dengan akuntabilitas platform atas dampaknya terhadap masyarakat. Ketergantungan pada platform tanpa regulasi yang kuat berpotensi mengorbankan hak privasi, kompetisi usaha, dan bahkan kebebasan berekspresi.
Negara Sebagai Pengendali: Kesempatan atau Ancaman?Tanggung jawab negara dalam mengatur platform digital bukan sekadar soal menutup kekosongan hukum, tetapi soal menetapkan batasan yang adil terhadap aktor global digital tanpa melumpuhkan ruang inovasi lokal. Pendekatan terhadap regulasi platform di Indonesia sejauh ini bersifat parsial dan sektoral.
Misalnya, Kominfo mewajibkan platform memiliki sistem yang melindungi anak dari risiko digital, seperti dengan memaksa peningkatan teknologi verifikasi usia dan kontrol konten berbahaya. Ini langkah penting, tetapi jika hanya menjadi lip service tanpa mekanisme pengawasan yang kuat, maka regulasi ini bisa ada di atas kertas tanpa berdampak pada praktik di lapangan.
Di bidang ekonomi digital, pemerintah juga bereaksi terhadap kekhawatiran praktik monopoli dan dominasi pasar. Kasus denda terhadap Google sebesar sekitar Rp 202 miliar karena praktik tidak adil memperlihatkan bahwa otoritas persaingan usaha Indonesia mulai bertindak terhadap perilaku anti kompetitif platform besar tetapi angka denda tersebut juga masih relatif kecil dibandingkan besarnya pengaruh perusahaan global tersebut di pasar lokal. Regulasi tanpa sanksi yang efektif bisa menjadi isyarat lemah bahwa pemerintah sejatinya mengikuti irama korporasi, bukan mengendalikan mereka demi kepentingan publik.
Bahkan dalam hal perlindungan anak, diskusi yang digelar komdigi dengan perwakilan platform untuk merumuskan kebijakan tata kelola ruang digital menunjukkan keterbukaan pemerintah terhadap dialog. Ini penting tetapi dialog yang produktif harus diikuti oleh kejelasan hak warga, transparansi algoritma, dan indikator pengawasan yang independen, bukan sekadar kolaborasi lembaga pemerintah dan platform besar tanpa kontrol masyarakat.
Lebih jauh lagi, regulasi yang diterbitkan cenderung bersifat sektoral dan reaktif terhadap fenomena tertentu misalnya fokus pada perlindungan anak dari konten berbahaya atau roadmap AI yang etis. Tanpa kerangka regulasi platform yang komprehensif, negara akan terus bermain kejar tayang terhadap problem digital yang terus berkembang: dari penyalahgunaan data, misinformasi, hingga dominasi pasar oleh entitas tunggal yang memengaruhi dinamika ekonomi dan sosial nasional.
Jika negara hanya bereaksi terhadap isu per isu, bukan mengendalikan lanskap digital, maka preseden ini akan memperkuat narasi bahwa negara adalah pengikut perubahan pasar, bukan pengendali yang kuat untuk menjamin harmoni digital yang adil.
Negara sebagai Pengikut Pasar: Risiko KetergantunganDi lain pihak, jika regulasi dirumuskan tanpa visi yang jelas dan berada di belakang dinamika korporasi global, risiko yang dihadapi bukan hanya masalah persaingan atau monopoli semata. Ketergantungan terhadap model bisnis platform besar berarti aturan main ditentukan oleh aktor yang berkepentingan tinggi untuk memaksimalkan keuntungan, bukan melindungi warga negara. Ini dapat memperlemah posisi tawar pemerintah dalam perundingan kebijakan, termasuk soal data warga, persaingan usaha, dan interoperabilitas sistem.
Belum lama ini, pemerintah dan Kominfo menegaskan bahwa semua platform yang beroperasi di Indonesia harus mengikuti aturan lokal, termasuk yang terkait konten dan etika AI. Rencana pengaturan ini mensyaratkan norma tanggung jawab, transparansi, dan pelabelan konten buatan AI sebuah langkah proaktif yang patut diapresiasi. Namun, jika penegakan kebijakan tersebut lemah atau tidak disertai mekanisme evaluasi independen, regulasi ini hanya menjadi retorika tanpa substansi nyata.
Hal ini mirip dengan fenomena yang terjadi di sejumlah negara lain di dunia, regulasi yang awalnya dirancang untuk melindungi warga, tetapi berakhir menguntungkan platform besar karena kurangnya penegakan dan kontrol yang tegas. Sejumlah akademisi bahkan mencatat bahwa regulasi platform di banyak negara berkembang sering tertinggal jauh di belakang kompleksitas teknis yang muncul dari model bisnis digital itu sendiri.
Situasi ini memperlihatkan paradoks regulasi di Indonesia, di mana pemerintah ingin tampil sebagai pengendali pasar digital, tetapi dalam praktiknya sering kali berjalan di belakang dinamika pasar dan kekuatan teknologi global. Ini bukan sekadar soal undang-undang dan peraturan pemerintah, tetapi soal identitas regulatif Indonesia dalam menghadapi era digital yang penuh ketidakpastian.
Negara sebagai Pengendali: Jalan Menuju Regulasi yang VisionerUntuk keluar dari posisi pasif dan menjadi aktor pengendali yang kredibel, Indonesia perlu mengadopsi pendekatan regulasi platform yang holistik, berlapis, dan responsif terhadap dinamika teknologi. Regulasi digital tidak boleh berdiri sendiri di dalam silo hukum sektoral. Ia perlu diintegrasikan dengan kebijakan persaingan usaha, perlindungan data pribadi, etika AI, hingga aturan fiskal dan perpajakan yang adil.
Langkah awal yang perlu diprioritaskan adalah pembentukan kerangka regulasi digital yang komprehensif bukan sekadar peraturan reaksioner atas isu tertentu seperti konten anak atau pajak e-commerce. Kerangka ini harus mencakup antara lain: (1) mekanisme pengawasan independen atas platform, (2) perlindungan persaingan usaha yang efektif, (3) kebijakan interoperabilitas data, dan (4) standar transparansi algoritmik yang melindungi warga dari manipulasi digital dan penyalahgunaan data.
Tanpa kerangka yang kuat, negara akan terus berada di belakang perubahan pasar, kehilangan kesempatan untuk mendorong ekosistem digital yang adil, inklusif, dan berdaya saing global.
Rekomendasi Kebijakan PublikKerangka Regulasi Platform yang Komprehensif : Pemerintah perlu merumuskan undang-undang yang holistik tentang regulasi platform digital, bukan hanya peraturan sektoral yang fragmented.
Otoritas Pengawas Independen : Bentuk lembaga pengawas independen yang memiliki kekuatan evaluasi, audit, dan penegakan untuk memastikan platform mematuhi standar persaingan, privasi, dan transparansi.
Standar Interoperabilitas dan Portabilitas Data : Platform harus diwajibkan menyediakan akses data yang portabel untuk mendorong kompetisi dan mencegah dominasi satu entitas tunggal atas ekosistem digital.
Perlindungan Peserta Ekosistem Lokal : Restrukturisasi regulasi perlu menjamin bahwa UKM, startup lokal, dan developer nasional mendapat ruang bersaing yang wajar di pasar digital.
Evaluasi Berkala dan Keterlibatan Publik : Regulasi platform harus dirancang sebagai kebijakan adaptif, dievaluasi secara berkala dengan masukan publik dan komunitas teknologi untuk tetap relevan terhadap dinamika teknologi.
Pada akhirnya, pertanyaan tentang regulasi platform bukan semata soal teknologi, tetapi tentang arah kekuasaan di era digital. Ketika platform tumbuh menjadi infrastruktur sosial yang menentukan apa yang kita lihat, beli, dan percayai, negara tidak boleh berdiri sebagai penonton yang sibuk menyesuaikan diri. Regulasi yang datang terlambat hanya akan mempertebal ketergantungan dan melemahkan kedaulatan kebijakan.
Indonesia sedang berada di persimpangan penting. Ia bisa memilih menjadi negara yang sekadar mengelola dampak platform, atau menjadi negara yang menetapkan batas, norma, dan orientasi publik atas ekosistem digitalnya sendiri. Menjadi pengendali bukan berarti mematikan inovasi, melainkan memastikan bahwa inovasi berjalan dalam koridor keadilan, akuntabilitas, dan kepentingan nasional.
Jika pemerintah terus ragu dan reaktif, maka platform akan terus menulis aturan mainnya sendiri. Namun bila negara berani memimpin dengan regulasi yang visioner dan berpihak pada publik, ruang digital dapat menjadi alat pemajuan kesejahteraan, bukan sekadar ladang akumulasi kekuasaan dan keuntungan. Di titik inilah masa depan regulasi platform ditentukan, antara negara yang berdaulat, atau negara yang tertinggal oleh sistem yang diciptakannya sendiri.

:strip_icc()/kly-media-production/medias/5347461/original/084430700_1757672387-547847842_18531923638014746_4748068569041253567_n.jpg)



