Refleksi Diri sebagai Dosen di Sepanjang Tahun 2025

kumparan.com
9 jam lalu
Cover Berita

Sebagai dosen, saya sering merasa seperti berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, saya melihat kemajuan teknologi yang luar biasa, yang dapat membantu mahasiswa belajar lebih efektif dan efisien. Di sisi lain, saya melihat anak-anak muda yang semakin kecanduan dengan gadget atau gawai dan dunia virtual, yang membuat mereka semakin jauh dari realitas dan hubungan sosial.

Teknologi Masa Lalu

Saya ingat ketika saya pertama kali memulai karir sebagai dosen, saya sangat antusias untuk menggunakan teknologi dalam kelas. Saya berpikir bahwa dengan teknologi, saya dapat membuat pembelajaran lebih menarik dan interaktif. Namun, seiring waktu, saya mulai menyadari bahwa teknologi juga memiliki dampak negatif yang signifikan.

Mahasiswa hari ini tumbuh dengan gawai di tangan mereka. Mereka dapat mengakses informasi dengan mudah, tetapi mereka juga semakin sulit untuk fokus dan berpikir kritis. Mereka dapat berinteraksi dengan orang lain melalui media sosial, tetapi mereka juga semakin jauh dari hubungan sosial yang sebenarnya.

Saya sering melihat mahasiswa di kelas saya yang lebih sibuk dengan gawai mereka daripada dengan materi perkuliahan. Mereka lebih tertarik dengan game dan video di YouTube, mengirim dan membalasan pesan di platform WhatsApp, Line, Signal, X, Threads, Telegram, Zalo, dan sebagainya, daripada mendengar materi kuliah, apalagdengan diskusi dan debat di kelas. Mereka lebih suka mengirim pesan teks daripada berbicara langsung dengan teman-teman mereka.

Gawai yang Mendekatkan dan Menjauhkan

Gawai mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Mahasiswa dapat berinteraksi dengan orang lain di seluruh dunia, tetapi mereka semakin jauh dari keluarga dan teman-teman mereka di sekitar mereka. Mereka dapat mengakses informasi yang luas, tetapi mereka semakin sulit untuk membedakan antara fakta dan fiksi.

Saya tidak ingin menjadi dosen yang konservatif dan menolak teknologi, karena saya juga pencinta dan sekaligus pengguna teknologi, sesuatu yang tak dapat dielakkan oleh siapapun. Saya percaya bahwa teknologi dapat menjadi alat yang sangat berguna dalam pembelajaran. Namun, saya juga percaya bahwa kita perlu memiliki keseimbangan yang sehat antara teknologi dan kehidupan nyata.

Sebagai dosen, saya ingin membantu mahasiswa saya memahami bahwa ada kehidupan di luar gawai mereka. Saya ingin membantu mereka mengembangkan kemampuan sosial dan emosional yang kuat, sehingga mereka dapat berinteraksi dengan orang lain dengan lebih baik.

Saya juga ingin membantu mereka memahami bahwa kebahagiaan tidak hanya datang dari gawai, tetapi juga dari hubungan dengan orang lain dan pengalaman nyata.

Literasi, Kontrol Sosial, dan Daya Kritis

Namun, saya juga ingin menekankan pentingnya literasi di kalangan mahasiswa. Literasi bukan hanya tentang kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga tentang kemampuan untuk memahami dan menganalisis informasi. Saya ingin membantu mahasiswa saya menjadi pembaca yang kritis, yang dapat membedakan antara informasi yang benar dan salah.

Saya juga ingin menekankan pentingnya kontrol sosial di kalangan mahasiswa. Kontrol sosial adalah kemampuan untuk memahami dan menghormati norma-norma sosial, sehingga mereka dapat berinteraksi dengan orang lain dengan lebih baik. Saya ingin membantu mahasiswa saya menjadi individu yang bertanggung jawab, yang dapat menghormati hak-hak orang lain dan memahami konsekuensi dari tindakan mereka.

Namun, saya juga khawatir tentang bahaya kehilangan daya kritis di kalangan mahasiswa. Daya kritis adalah kemampuan untuk menganalisis informasi dan membuat keputusan yang tepat. Saya tidak ingin mahasiswa saya menjadi korban dari informasi yang salah atau propaganda. Saya ingin membantu mereka menjadi individu yang kritis, yang dapat membuat keputusan yang tepat dan bertanggung jawab.

Refleksi Kritis dan Solutif

Sebelum melangkah pada ajakan dan harapan baik, penting bagi saya untuk menambahkan refleksi yang lebih tajam dan solutif. Pengalaman sepanjang tahun 2025 tidak hanya mengajarkan tentang tantangan teknologi dan perubahan sosial, tetapi juga menuntut jawaban yang lebih komprehensif.

Oleh karena itu, saya menyisipkan beberapa pemikiran kritis yang tidak sekadar mengurai masalah, tetapi juga menawarkan jalan keluar yang realistis. Refleksi ini saya maksudkan sebagai jembatan antara kegelisahan dan harapan, antara kritik dan solusi, sehingga gagasan yang lahir tidak berhenti pada retorika, melainkan dapat menjadi arah praksis pendidikan yang lebih manusiawi.

Pertama, kita perlu menyadari bahwa pendidikan bukan sekadar transmisi pengetahuan, melainkan pembentukan manusia seutuhnya. Ketika gawai mendominasi ruang hidup mahasiswa, dosen dituntut untuk menjadi penyeimbang antara dunia digital dan dunia nyata. Tantangan ini bukan hanya teknis, melainkan filosofis: bagaimana membentuk manusia yang tidak sekadar cerdas secara kognitif, tetapi juga bijak secara moral dan sosial.

Solusi yang realistis adalah mengintegrasikan literasi digital ke dalam kurikulum, bukan untuk menambah beban, melainkan untuk melatih mahasiswa agar mampu mengendalikan teknologi, bukan dikendalikan olehnya.

Kedua, kontrol sosial yang saya tekankan harus dipahami sebagai bagian dari ekosistem pendidikan yang lebih luas. Mahasiswa tidak bisa belajar menghormati norma hanya dari buku teks, melainkan dari praktik keseharian yang konsisten. Dosen, orang tua, dan masyarakat harus menjadi teladan nyata.

Solusi konkret adalah lebih memberdayakan program kampus yang menghubungkan mahasiswa dengan komunitas lokal, misalnya melalui proyek sosial, kerja bakti, atau diskusi lintas generasi. Dengan cara ini, mahasiswa belajar bahwa kontrol sosial bukan sekadar aturan, melainkan bagian dari kehidupan bersama yang memberi makna.

Ketiga, daya kritis yang semakin tergerus oleh banjir informasi harus dipulihkan melalui pedagogi yang menekankan pertanyaan, bukan hanya jawaban. Dosen perlu mengajak mahasiswa untuk mempertanyakan sumber informasi, membandingkan perspektif, dan menyusun argumen yang logis. Ini bukan sekadar latihan akademis, melainkan latihan hidup.

Solusi yang realistis adalah membangun ruang kuliah sebagai laboratorium berpikir kritis, di mana kesalahan tidak dihukum, tetapi dijadikan bahan refleksi. Dengan demikian, mahasiswa belajar bahwa berpikir kritis adalah jalan menuju kebebasan intelektual dan tanggung jawab sosial.

Keempat, kolaborasi antara dosen, orang tua, dan masyarakat harus ditransformasikan dari sekadar slogan menjadi praktik nyata. Pendidikan tidak bisa lagi dipandang sebagai tugas kampus semata. Orang tua perlu dilibatkan dalam proses pembelajaran, bukan hanya sebagai pengawas, tetapi sebagai mitra. Masyarakat perlu membuka ruang bagi mahasiswa untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial, budaya, dan lingkungan.

Solusi komprehensif adalah membangun ekosistem pendidikan berbasis komunitas, di mana kampus menjadi pusat interaksi antara pengetahuan, nilai, dan praktik kehidupan. Dengan cara ini, mahasiswa tumbuh dalam jaringan dukungan yang kuat dan berkelanjutan.

Kelima, refleksi tahun 2025 harus menjadi titik tolak untuk membangun paradigma pendidikan baru: pendidikan yang berorientasi pada keseimbangan antara teknologi dan kemanusiaan. Filosofi pendidikan harus bergeser dari sekadar mengejar capaian akademis menuju pembentukan manusia yang utuh—berpengetahuan, berakhlak, dan berdaya kritis.

Solusi realistis adalah merancang kebijakan pendidikan yang menempatkan literasi digital, keterampilan sosial-emosional, dan keberlanjutan ekologis sebagai pilar utama. Dengan demikian, kita tidak hanya mencetak generasi yang mampu bersaing di era digital, tetapi juga generasi yang mampu menjaga martabat manusia dan kelestarian bumi.

Ajakan dan Harapan Baik

Saya ingin mengajak orang tua dan masyarakat untuk bekerja sama dalam menciptakan generasi yang lebih baik. Kita perlu memiliki visi yang jelas tentang apa yang kita ingin capai dan bagaimana kita ingin mencapai itu. Kita perlu memiliki keberanian untuk menghadapi tantangan dan membuat perubahan. Saya percaya bahwa kita dapat melakukannya, jika kita bekerja sama dan memiliki komitmen yang kuat.

Saya pun ingin mengakhiri tahun 2025 ini dengan harapan bahwa kita dapat menciptakan masa depan yang lebih baik untuk anak-anak kita. Saya ingin membantu mereka menjadi individu yang seimbang, berpengetahuan, dan berakhlak mulia. Saya ingin membantu mereka memahami bahwa kehidupan ini adalah tentang lebih dari sekedar gawai dan teknologi.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Kodam Jaya Ajak Warga Tak Nyalakan Kembang Api: Rayakan Tahun Baru Sewajarnya
• 1 jam lalukumparan.com
thumb
Kementerian PU Pastikan Kesiapan Jalan Nasional di Banten Hadapi Arus Libur Natal dan Tahun Baru
• 14 jam lalupantau.com
thumb
Rayakan Natal dan Tahun Baru, Ini Promo Hotel di Surabaya
• 6 jam lalubisnis.com
thumb
JPO Kyai Tapa Sempat Viral karena Ditutup Berbulan-bulan, Begini Kondisinya
• 10 jam lalukompas.com
thumb
Polda DIY Siagakan 20 Pos Operasi Lilin Progo 2025 untuk Libur Nataru di Yogyakarta, Ini Rinciannya
• 10 jam lalukompas.tv
Berhasil disimpan.