Kegilaan Mengantarnya pada Kesuksesan

erabaru.net
7 jam lalu
Cover Berita

EtIndonesia. Bagi seorang dokter desa asal Jerman yang baru berusia 25 tahun bernama Werner Otto Theodor Forßmann, apa yang dia lakukan kala itu benar-benar dianggap sebagai tindakan gila yang tak masuk akal.

Pada suatu sore, di ruang kerja yang sunyi, dokter muda yang baru saja menjadi asisten medis itu bersiap melakukan sebuah eksperimen—bukan pada pasien, melainkan pada tubuhnya sendiri—demi mewujudkan impian yang selama ini menggelora di dalam hatinya.

Eksperimen pun dimulai.

Forßmann memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, dan membuat tubuhnya serelaks mungkin. Lalu, dia menusuk pembuluh darah vena di lipatan siku tangan kirinya, memasukkan sebuah selang tipis yang telah dilumasi minyak zaitun steril secara perlahan ke dalam pembuluh darahnya.

Ketika selang itu masuk sekitar 45 cm dan mencapai area bahu serta leher, Forßmann berhenti sejenak. Dia mengira akan merasakan nyeri hebat, bahkan mungkin pingsan karena kesakitan. Namun kenyataannya, semua bayangan buruk yang dia khawatirkan sama sekali tidak terjadi.

Ini pertanda baik.

Forßmann tersenyum, lalu kembali memutar dan mendorong selang itu perlahan semakin dalam.

“Di sinilah seharusnya jantung berada,” pikirnya.

Selang itu terus melaju hingga akhirnya mencapai titik yang dia harapkan. Pada saat itu, bahkan dia sendiri merasa terkejut: ketika selang memasuki organ jantung yang rapuh dan sangat sensitif, dia tidak merasakan sakit sedikit pun. Sebaliknya, dia justru merasakan “kehangatan lembut, seperti disinari matahari”.

Ini sungguh di luar dugaan.

Temuan itu cukup untuk membuktikan bahwa jantung tidaklah sepenuhnya “zona terlarang” seperti yang selama ini diyakini para pakar. Jantung, sama seperti organ tubuh lainnya, ternyata bisa disentuh dan ditangani secara medis.

Setelah menenangkan diri sejenak, Forßmann tidak menghentikan eksperimen. Dengan selang masih tertanam di tubuhnya, dia berlari keluar ruangan, turun ke lantai bawah menuju ruang rontgen, sambil berteriak penuh semangat kepada dokter lain : “Cepat, lakukan pemindaian! Kalian akan melihat gambar terindah di dunia!”

Tak lama kemudian, hasil rontgen pun keluar.

Itu benar-benar sebuah gambar yang mengguncang dunia kedokteran—berkat kecintaannya pada kehidupan dan keteguhan dalam mengejar mimpi, Forßmann berhasil menyelesaikan prosedur kateterisasi jantung pertama dalam sejarah medis.

Namun, di luar dugaan, keberanian itu tidak membuahkan pujian ataupun penghormatan.

Sebaliknya, yang datang adalah hujan kritik dan cemoohan. Media menyebut eksperimennya sebagai “tindakan gila” dan memberitakannya secara sensasional. 

Atasannya dengan tegas melarang eksperimen tersebut: “Ini hanyalah kebetulan yang bahkan Tuhan pun belum tentu memahaminya. Kamu harus menghentikan kegilaan ini—tidak, ini kebodohan. Kebodohan yang keterlaluan!”

Rekan-rekan yang berniat baik pun memperingatkannya bahwa eksperimen semacam ini dianggap melanggar etika kemanusiaan, dan jika terus dilakukan, dia bisa menghabiskan hidupnya di penjara.

Namun Forßmann tetap teguh.

 “Ini adalah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan membutuhkan pengorbanan. Ini bukan kebodohan,” ujarnya.  “Sekalipun harus masuk penjara, aku akan tetap melakukannya.”

Di tengah badai ejekan dan penolakan, dia memutuskan melakukan eksperimen sekali lagi untuk membuktikan bahwa temuannya bukanlah kebetulan semata. Keberaniannya menyentuh hati seorang perawat muda. Perawat itu khawatir Forßmann akan celaka dan mengajukan diri menjadi “objek percobaan”.

Forssmann menimbang lama. Namun tanpa bantuannya, eksperimen itu tak akan mungkin dilakukan.

Akhirnya dia setuju.

Namun saat perawat itu telah terbaring di meja operasi, sesuatu yang tak terduga terjadi. Forßmann tersenyum lembut kepadanya, lalu—tanpa ragu—menusuk pembuluh darah di lengannya sendiri dan kembali memasukkan selang dengan cekatan.

Eksperimen kedua pun kembali berhasil.

Dengan penuh keyakinan, Forßmann menyatakan bahwa dia telah menetapkan tujuan jelas untuk menyempurnakan dan merevolusi metode diagnosis penyakit jantung. Namun dunia medis justru menutup mata. Dia dijuluki “orang gila”, dan eksperimennya dianggap sekadar “pertunjukan badut”.

Orang gila tidak layak menjadi dokter.

Tak lama kemudian, Forßmann kehilangan pekerjaannya tanpa alasan yang jelas dan terpaksa kembali ke rumah sakit desa tempat dia dulu bekerja.

Hari-hari itu dilaluinya dalam kesedihan. Dia bahkan sempat berpikir untuk meninggalkan dunia kedokteran dan menjauh dari peralatan medis yang dingin dan keras.

Di saat keputusasaan itulah, sebuah surat dari perawat muda itu tiba. Dalam suratnya tertulis:
“Werner Forßmann, jika engkau adalah bulan, maka cintailah langit malam yang sunyi. Jangan pernah membencinya…”

Kata-kata itu mengguncang hatinya.

Forßmann pun memilih untuk bertahan dan menunggu dengan setia.

Waktu berlalu. Dua puluh tujuh tahun kemudian, ketika dunia hampir sepenuhnya melupakannya, sebuah surat datang dari Stockholm, Swedia.

Akhirnya, Werner Forßmann dianugerahi Hadiah Nobel Kedokteran.

Kegilaan yang dulu dicemooh, pada akhirnya dikenang sebagai keberanian yang mengubah sejarah. (jhn/yn)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Seskab Teddy Instruksikan Dirut BUMN Transportasi Turun Langsung Kawal Kelancaran Nataru
• 23 jam lalutvrinews.com
thumb
Brimob Terjunkan Unit Khusus Sterilisasi Gereja Katedral Jelang Malam Natal
• 7 jam laluidxchannel.com
thumb
Pramono Tegaskan Semua Perusahaan Harus Patuhi UMP Jakarta Tahun 2026
• 52 menit lalukompas.tv
thumb
Kemlu RI Laporkan WNA Bonnie Blue ke Otoritas Inggris soal Dugaan Pelecehan Bendera Merah Putih
• 5 jam lalukompas.tv
thumb
Bawa Pesan Damai, Pemerintah dan TNI-Polri Cek Misa Natal di Katedral Sambil Mendoakan Korban Bencana
• 2 jam laludisway.id
Berhasil disimpan.