Mendidik dan Pesan Cinta “Maulana Jalaluddin Rumi”

harianfajar
7 jam lalu
Cover Berita


Ervyan Ramlan, S. Pd.
Guru MIN 2 WAJO

Desember sangat dekat dengan dinginnya, layaknya cinta dekat dengan rindu. Desember adalah ujung tapi bukan akhir dari segala upaya yang tak sampai selama bulan-bulan yang berlalu. Banyak hal yang membuat desember begitu istimewah, termasuk saya sebagai pendidik. Mengapa demikian?, Sebagai Pendidik bulan ini adalah momentum refleksi diri sekaligus murid selama menjalankan semester berjalan. Murid telah menjalankan perannya, guru juga demikian, sebagai pemberi dan penerima ilmu pengetahuan. Nilai dan ekspektasi sepertinya menjadi tujuan, tapi percayalah bahwa apalah arti nilai tinggi, terbaik, atau bahkan menjadi sosok juara dalam kelas jika murid hanya tau bukan memahami arti belajar dengan sepenuh hati, karena sepenuh hatilah yang melahirkan cinta. Begitu juga pendidik sangat butuh hati dalam memaknai pembelajaran, belajar yang menanamkan makna mendalam bukan hanya ilmu dari sisi luarnya saja.

Beberapa pekan ini saya telah menyelesaikan sebuah bacaan rutinan, buku dengan judul “Pesan-Pesan Cinta Maulana Jalaluddin Rumi” sebuah karya dari Adiba A. Soebachman. Buku ini mencoba membuka perspektif penulis tentang memaknai cinta dengan “c” kecil sekaligus makna mendalam tentang Cinta dengan “C” Besar. Begitu juga saya mencoba memaknai pesan-pesannya sebagai guru madrasah. Melalui tulisan ini bukan berarti saya sangat paham betul makna syair dan atau essai sang maestro, malainkan hanya sebuah pandangan peribadi tentang cinta dan peran saya sebagai pendidik.

Bukan sebuah kebetulan tapi Rumi juga adalah pendidik. Berawal dari perjalan kisahnya Rumi memulai perjalanan keilmuan di-Negeri Syam, dan beberapa tempat di-Damaskus. Kedua tempat inilah beliau menjadi guru madrasah. Maka rumi dan Pendidikan memang sangat dekat.

Guru Sebagai Pembawa Kepekaan Sosial.
Maka dari itu kita akan mulai dari sebuah syairnya, “Yang tak punya hati, takkan pernah mencari hati”-“Hanya hati yang penuh cintalah yang dapat menjangkau langit tertinggi”. Dari syair ini, guru penting memaknai pertemuan demi pertemuan dengan murid-murid kita, seberapa besar peran hati kita memberi pembelajaran, bukan sekedar kewajiban datang, bertemu, presensi, lalu Kembali pulang. Jika itu yang terjadi maka realitas masa depan murid menjadi taruhannya. Buat apa? murid cerdas tanpa rasa, toleransi bahkan abai terhadap kondisi sekitarnya. Semoga itu tidak terjadi, dan mari kita renungkan Bersama.

Guru Sebagai Penular Ketulusan.
Syair selanjutnya Rumi katakan “Tuhan berada dimana-mana. Ia juga hadir tiap gerak, namun tuhan tidak bisa ditunjuk dengan ini dan itu, sebab wajahnya terpantul dalam keseluruhan ruang, walupun sebenrnya tuhan mengatasi ruang”. Dalam tugas keseharian kita sebagai guru, libatkanlah tuhan didalamnya sebab kita berharap rahmat dan berkahnyalah pembelajaran kita memancarkan pengetahuan kepada murid-mirid kita. Kita tidak bisa memaksakan pengetahuan harus dipahami hari itu, besok, lusa dan tahun-tahun berlalu tapi paling tidak Tuhan tahu kita menjalakan tugas dengan penuh amanah bukan amarah. Melibatkan tuhan sejatinya memang dibutuhkan, bukankah tujuan akhir dari kehidupan manusia akan Kembali kepadanya. Rumi juga pernah bilang “Di dalam cahaya-Mu aku belajar mencintai, Di dalam keindahan-MU aku belajar menulis puisi”.

Guru Sebagai Ilmuan.
Proses belajar memang tidak bisa dipaksakan. Kita perlu lihat perkembangan dan karakternya pun berbeda beda. Tiap anak adalah pemilik dirinya sendiri, tugas kita membantu menemukan dirinya yang hilang dan akan kembali jika menemukan guru yang tepat. Sepenggal essai dari Rumi “Contohnya adalah orang yang terbiasa makan dengan porsi yang banyak, lalu ingin menurunkannya, tentu ia harus menguranginya secara bertahap, sesuap demi sesuap setiap hari”. Kata yang dipilih rumi adalah sesuap demi sesuap bukan sepiring demi sepiring. Bisa kita bayangkan Ketika memulai dari sepiring, sangat rentan dengan resiko gangguan Kesehatan. Belajar juga harus begitu jika memang belum waktunya memahami angka 7 jangan dipaksa untuk melanjutkan angka-angka setalahnya. Maka akan menjadi modal peserta didik kita kelak dalam proses pengambilan keputusannya, tidak lagi hanya sekedar keputusan biasa tapi melalui tahap berfikir kritis.

Guru Sebagai Pembawa Kebahagiaan.
Kata Rumi, “Jika kebahagiaan merasuk dalam hati seseorang, itu merupakan belasan baginya karena telah membahagiakan seseorang. Dan bila ia bersedih, itu merupakan balasan bagi dirinya karena telah membuat sedih orang lain”. Rumus Bahagia ternyata bahagia itu sendiri. Setiap hari tentu guru membutuhkan semangat kebahagiaan itu. Mengapa? Hanya kebahagiaan melahirkan pembelajaran tanpa beban. Ketika kesedihan merasuki atau bahkan memiliki tempat tersendiri dalam diri kita, maka perlu kita periksa kesediahan apa yang telah diperbuat kepada orang lain atau kepada murid kita sendiri. Mari kita lepaskan kesedihan sebelum bertemu dengan murid kita, sehingga murid mengenal bapak/ibu gurunya sebagai pemilik senyum ikhlas dan pelipur kesedihannya.

Guru Sebagai Pemancar Kelembutan.
Kehadiran dunia maya saat ini membawa banyak perubahan, termasuk lingkungan Pendidikan. Murid dulu tampil layaknya pemberani, seakan memiliki nyawa tambahan. Tawuran dengan segala perlengkapan tempur, turun dalam medan perang, padahal lawan adalah sekolah yang berjarak tidak jauh dari sekolah asal. Kini dengan pesatnya teknologi, tawuran offline/tatap muka sedikit beralih kepada pertarungan maya. Kasarnya sama, bringasnya sama dan luka yang ditimbulkannya bisa lebih parah. Kondisi seperti ini maka guru harus bertransformasi dengan pendekatan sesuai zamannya. Bijak dalam berteknologi, baik dalam menggunakan media sosial, bersaing ide dalam dunia digital dan tetap letakkan cinta didalamnya. Selaras dengan perkataan Rumi “Cinta mengubah kekerasan menjadi kelembutan, mengubah orang tak berpendirian menjadi teguh berpendirian, mengubah pengecut menjadi pemberani, mengubah penderitaan menjadi kebahagian, dan Cinta membawa perubahan-perubahan bagi siang dan malam.”

Guru butuh cinta, cinta dan cinta….
Mengapa demikian?
Waktu kita tidak banyak, baik sebagai manusia biasa maupun waktu Bersama murid. Sebagai manusi biasa tentu jalan akhir yang kita ingin tujuh adalah jalan “menuju Jannah” Innal-muttaqīna fī jannātiw wa ‘uyụn (surat-al-hijr-ayat-45), bagi orang yang bertaqwa berada dalam syurga, teman-teman dan didekat mata air yang mengalir. Dari sisi sebagai guru, setiap tahun akan ada murid baru, ada yang memulai dan ada yang telah mengakhiri. Kita perlu terus memiliki cinta karena adakalahnya yang telah mengakhiri akan bercerita tentang kita kepada guru-guru selanjutnya. Ketika cerita kita baik, indah dan menginspirasi maka guru selanjutnya akan berfikir melakukan hal yang sama. Maka terciptalah pembelajaran abadi, sesuai perkataan rumi “Pilihlah Cinta, ya, cinta! Tanpa manisnya Cinta, hidup ini adalah beban. Tentu engkau telah merasakannya.

Untuk Guru diseluruh Indonesia
“Usaha dan doa tergantung pada cita-cita.
Manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” Maulana Jalaluddin Rumi.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
IHSG Dibuka Tergelincir ke Zona Merah, Melemah 0,02% ke 8.583
• 11 jam lalubisnis.com
thumb
RM BTS Ungkap Harapan agar HYBE Lebih Perhatian kepada Para Member
• 23 jam lalumediaindonesia.com
thumb
Pameran Foto Sakakala di Karangkamulyan Jadi Daya Tarik Wisata Budaya Jelang Libur Akhir Tahun
• 17 jam lalupantau.com
thumb
Alexander Isak Cedera Parah, Absen Dua Bulan dan Jadi Pukulan Berat bagi Liverpool
• 18 jam lalupantau.com
thumb
Gelapkan Warisan, Tidur di Atas Uang Sejuta Yuan : Aksi Wanita Shanghai Bikin Heboh
• 10 jam laluerabaru.net
Berhasil disimpan.