Belakangan ini, banyak remaja merasa tertekan untuk selalu terlihat baik-baik saja. Media sosial menghadirkan standar tentang penampilan, pencapaian, dan popularitas yang seolah tidak pernah berhenti. Tanpa disadari, remaja tumbuh dengan kebiasaan membandingkan diri, merasa tidak cukup, dan takut tidak diterima jika tidak sesuai dengan ekspektasi lingkungan.
Pola tekanan seperti ini sebenarnya bukan hal baru. Jauh sebelum era media sosial, Anne Shirley dalam serial Anne with an E telah mengalami pergulatan serupa. Ia tumbuh dengan perasaan tidak diterima, terus berusaha agar layak dicintai, dan kerap meragukan dirinya sendiri. Kisah Anne menunjukkan bahwa kebutuhan akan penerimaan dan pengakuan adalah pengalaman manusiawi yang bisa muncul di berbagai konteks dan zaman.
Penelitian menunjukkan bahwa tekanan psikologis pada remaja saat ini tidak hanya dipengaruhi oleh intensitas penggunaan media sosial, tetapi juga oleh keterlibatan emosional di dalamnya, seperti kebiasaan membandingkan diri dan kebutuhan akan validasi sosial. Di sisi lain, dukungan serta penerimaan dari lingkungan terdekat, khususnya keluarga, berperan sebagai faktor pelindung dalam membentuk konsep diri yang lebih sehat (Amanda et al., 2025). Pola ini selaras dengan pengalaman Anne Shirley, yang sejak kecil hidup dalam kondisi minim rasa aman emosional.
Sejak kecil, Anne mengalami berbagai bentuk penolakan. Ia berpindah-pindah dari satu keluarga ke keluarga lain dan jarang merasakan kasih sayang yang konsisten. Pengalaman ini membentuk kepribadian awal Anne yang sensitif, mudah cemas, dan sangat membutuhkan pengakuan dari orang lain. Anne belajar bahwa untuk bertahan, ia harus selalu menarik perhatian dan membuktikan bahwa dirinya layak dicintai.
Dalam perspektif Carl Rogers, pengalaman seperti ini berpengaruh besar terhadap pembentukan konsep diri. Konsep diri adalah cara seseorang memandang dan menilai dirinya sendiri yang terbentuk melalui interaksi dengan lingkungan atau pengalaman, terutama dengan orang-orang yang dianggap penting dalam hidupnya. Ketika seorang anak tumbuh dengan penerimaan yang bersyarat atau dicintai hanya jika berperilaku sesuai harapan, konsep diri yang terbentuk cenderung rapuh.
Penerimaan tanpa syarat dapat dipahami melalui pengalaman sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, orang tua yang tetap mau mendengarkan anaknya ketika nilai ujiannya menurun, tanpa langsung membandingkannya dengan anak lain. Contoh lainnya yakni guru yang tidak serta-merta memberi label “pemalas” hanya karena seorang murid menunjukkan perilaku yang berbeda. Penerimaan tanpa syarat berarti seseorang diterima apa adanya, tanpa harus menukar penerimaan tersebut dengan prestasi atau perilaku tertentu.
Kerapuhan konsep diri ini terlihat dari cara Anne berinteraksi dengan lingkungannya. Ia banyak bicara, sangat ekspresif, dan mudah bereaksi terhadap komentar orang lain. Sikap ini sering disalahartikan sebagai berlebihan atau menyebalkan. Padahal, perilaku tersebut merupakan upaya Anne untuk memastikan bahwa dirinya diakui dan diterima. Ia tidak sekadar mencari perhatian, melainkan berusaha menjaga rasa aman tentang keberadaannya.
Kesulitan Anne menerima dirinya sendiri tampak jelas dari kebenciannya terhadap rambut merahnya. Rambut merah bukan hanya persoalan penampilan, melainkan simbol bahwa Anne merasa berbeda dan tidak sesuai dengan gambaran diri ideal yang ia inginkan. Dalam kerangka Carl Rogers, kondisi ini menunjukkan adanya inkongruensi antara diri yang dialami (real self) dan diri ideal (ideal self). Ketegangan inilah yang memicu reaksi emosional Anne dan membuatnya sulit hidup secara autentik.
Masih ingat tidak kalian dengan salah satu adegan dalam film serial tersebut yang menunjukkan Anne berdialog dengan cermin atau refleksi dirinya dalam kaca?
Dalam kondisi konsep diri yang belum stabil, Anne menggunakan imajinasi sebagai cara menjaga keseimbangan emosional. Ia memberi nama indah pada tempat-tempat di sekitarnya, berdialog dengan bayangan dirinya sendiri, dan menciptakan dunia yang lebih ramah baginya. Dari sudut pandang Rogers, imajinasi ini dapat dipahami sebagai respons terhadap inkongruensi yakni upaya melindungi keutuhan diri ketika realitas terasa terlalu menyakitkan. Namun, imajinasi ini bukanlah bentuk aktualisasi diri, melainkan penyangga sementara agar Anne mampu bertahan secara emosional.
Perubahan dalam diri Anne mulai terlihat ketika ia tinggal bersama Matthew dan Marilla Cuthbert. Meski tidak selalu ekspresif, keduanya memberikan penerimaan tanpa syarat, menerima Anne apa adanya tanpa menuntutnya menjadi anak yang berbeda. Carl Rogers menyebut kondisi ini sebagai unconditional positive regard yang merupakan fondasi utama bagi berkembangnya kepribadian yang sehat. Ketika seseorang merasa aman dan diterima, konsep dirinya menjadi lebih positif dan selaras dengan keadaan dirinya yang sebenarnya.
Dampak penerimaan ini terlihat jelas pada Anne. Ia menjadi lebih tenang, reflektif, dan mampu membangun relasi yang lebih sehat. Ia mulai menyalurkan potensinya melalui menulis, aktif dalam kegiatan sekolah, dan berani memiliki cita-cita. Inilah bentuk aktualisasi diri dalam pandangan Rogers yakni bukan tentang kesempurnaan, melainkan keberanian untuk hidup secara autentik.
Anne tetap mengalami konflik, kekecewaan, dan kegagalan. Namun, perbedaannya terletak pada cara ia menyikapi pengalaman tersebut. Ia tidak lagi menolak atau menyalahkan dirinya secara berlebihan. Dalam istilah Rogers, Anne bergerak menuju pribadi yang berfungsi secara penuh (fully functioning person).
Pada akhirnya, Anne with an E mengingatkan kita bahwa pengembangan kepribadian bukanlah proses yang instan atau selalu rapi. Di balik sikap yang kerap dianggap berlebihan, sering kali ada individu yang sedang berjuang memahami dirinya sendiri. Kisah Anne Shirley menunjukkan bahwa seseorang dapat bertumbuh ketika ia diberi ruang aman, penerimaan, dan kepercayaan untuk menjadi dirinya apa adanya. Di tengah tekanan sosial dan tuntutan kesempurnaan yang dihadapi remaja masa kini, pesan ini terasa semakin relevan yaitu tumbuh bukan tentang menjadi sempurna, melainkan tentang berani menerima dan menjadi diri sendiri secara utuh.




