JAKARTA, KOMPAS.TV - Direktur Jaringan Gusdurian Indonesia, Alissa Wahid secara tegas menyebut pertobatan ekologis tidak boleh sekadar seremoni.
“Jangan sampai yang terjadi itu tobat-tomat. Habis tobat, lalu kumat lagi,” ujar Alissa.
Menurut Alissa, pertobatan ekologis sebagaimana diserukan Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ menuntut komitmen nyata untuk meninggalkan praktik lama yang merusak alam, bukan sekadar doa, pernyataan, atau acara simbolik.
“Pertobatan itu artinya meninggalkan yang buruk dan menyongsong kehidupan baru yang selaras dengan alam. Faktanya, itu belum terjadi,” tegasnya.
Pendeta Darwin Darmawan menilai keterputusan antara janji politik dan realitas kebijakan sudah menjadi pola yang berulang.
Meski demikian, Darwin menekankan tanggung jawab tidak hanya berhenti pada negara. Ia mengingatkan peran keluarga sebagai unit sosial terkecil yang strategis dalam membangun kesadaran lingkungan dan integritas moral.
Sementara itu, Romo Yustinus Ardianto menilai pertobatan ekologis kerap muncul melalui jalur via negativa—kesadaran yang lahir setelah bencana terjadi.
“Yang menjadi korban justru bukan mereka yang membuat dosa ekologis. Saudara-saudari kita di Sumatera yang menanggung akibatnya,” ujar Romo Yustinus.
Ia menegaskan, pertobatan sejati seharusnya lahir saat kondisi masih baik, bukan setelah kerusakan meluas. Romo Yustinus juga mengingatkan bahwa tumpukan sampah, krisis lingkungan perkotaan, hingga bencana di Sumatera adalah rangkaian bencana ekologis yang saling terhubung.
Sukidi menyebut praktik tersebut sebagai bentuk teater politik.
“Negara dipakai sebagai panggung, penderitaan kemanusiaan dijadikan instrumen politik. Enough is enough,” tegas Sukidi.
Bagaimana menurut Anda?
Selengkapnya saksikan di sini: https://youtu.be/NsYsotmI47U?si=B9TUOtqJUd3Cfu1V
#natal #bencana #indonesia
Penulis : Elisabeth-Widya-Suharini
Sumber : Kompas TV
- banjir
- sumatera
- aceh
- natal
- alissa wahid




