PERKEMBANGAN teknologi blockchain yang menjadi fondasi aset kripto dinilai berpotensi kuat menjadi medium baru bagi tindak pidana pencucian uang. Hal ini disebabkan oleh karakteristik teknologi yang anonim, lintas yurisdiksi, serta minimnya peran perantara, yang hingga kini belum sepenuhnya terjangkau oleh kerangka hukum konvensional di Indonesia.
Isu krusial tersebut diangkat oleh Kepala Bagian Tata Usaha Kejaksaan Tinggi Lampung, Juwita Patty Pasaribu, dalam disertasinya saat meraih gelar Doktor Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI).
“Blockchain bukan sekadar teknologi, melainkan ruang hukum baru yang menuntut kehadiran negara. Hukum tidak boleh tertinggal dari laju inovasi digital karena tanpa regulasi yang adaptif, teknologi ini berisiko menjadi medium kejahatan yang sulit dijangkau,” ujar Juwita, melalui keterangannya, Rabu (24/12).
Baca juga : Inovasi Anak Bangsa Satukan Dunia Blockchain dan Gim
Juwita menyoroti bahwa pengaturan aset kripto di Indonesia saat ini masih bersifat sektoral dan belum menyentuh mekanisme teknologi secara menyeluruh. Hal ini memicu kekosongan hukum, terutama dalam menentukan pertanggungjawaban pidana pada transaksi yang berjalan otomatis melalui smart contract atau sistem terdesentralisasi.
Menurutnya, pendekatan hukum pidana tradisional yang bertumpu pada pembuktian perbuatan fisik menghadapi tantangan besar saat berhadapan dengan ekosistem digital yang serba otomatis.
"Negara perlu hadir secara cerdas. Regulasi tidak boleh mematikan inovasi, tetapi harus mampu menutup celah penyalahgunaan yang mengancam integritas sistem keuangan," tegasnya.
Baca juga : Upbit Dukung Tata Kelola Perusahaan di Industri Blockchain Indonesia
Sebagai solusi praktis, Juwita menekankan pentingnya segera dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Sinkronisasi ini diperlukan agar regulasi nasional selaras dengan perkembangan teknologi keuangan digital dan standar internasional dari Financial Action Task Force (FATF).
Ia menawarkan arah kebijakan berbasis risiko (risk-based approach) yang mampu menjamin kepastian hukum namun tetap memberi ruang bagi pertumbuhan ekonomi digital.
Karya akademik ini diharapkan menjadi rujukan bagi pembuat kebijakan dan aparat penegak hukum untuk menata 'belantara blockchain' di Indonesia. Dengan regulasi yang tepat, teknologi ini diyakini tidak hanya akan mendorong ekonomi, tetapi juga memperkuat sistem pencegahan kejahatan keuangan berbasis teknologi di masa depan. (H-3)

:strip_icc()/kly-media-production/medias/5412611/original/013327300_1763098214-Flotilla_siap_merapat__Dokumentasi__Yaku_Mama_Amazon_Flotilla_.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5437129/original/004620200_1765205146-19be2d8b-3678-4f4f-bdea-bf7012ebf111.jpeg)
