Bisnis.com, SEMARANG - Surat Keputusan (SK) Gubernur No.100.3.3.1/505 tentang Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP), Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP), Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), serta Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) telah disahkan pada Rabu (24/12/2025). Pengusaha masih merasa keberatan.
Lewat SK tersebut, Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi resmi menetapkan UMP Jawa Tengah 2026 sebesar Rp.2.327.386 atau naik 7,28% dibandingkan UMP 2025.
Penetapan itu direspons beragam. Dari kelompok pengusaha, penggunaan nilai alfa 0,9 untuk perhitungan UMP 2026 diakui memberatkan.
Baca Juga
- Daftar 26 Provinsi yang Sudah Umumkan UMP 2026, Mana Tertinggi?
- UMP 2026 Naik Lebih Tinggi, Namun Upah Riil Buruh Masih Tertekan
- Daftar Lengkap UMK Kabupaten dan Kota di Yogyakarta, UMP 2026 Naik 6,78% jadi Rp2,41 Juta
Namun demikian, Frans Kongi selaku Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Tengah menegaskan komitmen pengusaha buat menaati aturan pengupahan yang berlaku.
"Di muka Pak Gubernur, kami berkomitmen untuk melaksanakan peraturan pengupahan. Untuk melaksanakan kenaikan upah minimum sesuai dengan peraturan," ucap Frans saat dihubungi wartawan.
Komitmen itu disampaikan bukan tanpa kritik. Selain nilai alfa yang terlalu tinggi, Frans juga menegaskan penolakannya atas skema upah sektoral yang diberlakukan. Alasannya, upah sektoral sudah lebih dulu diterapkan pengusaha untuk pekerjaan yang memang memiliki risiko tinggi.
Penerapan upah sektoral pada 11 sektor industri, termasuk industri alas kaki yang jadi penyerap tenaga kerja di Jawa Tengah, dirasa semakin memberatkan beban operasional yang mesti ditangguh pengusaha. "Di Jawa Tengah ini banyak yang padat karya dan itu sensitif dengan perubahan peraturan mengenai pengupahan. Karena itu menyangkut daya saing perusahaan. Kami mau di Jawa Tengah perusahaan ini tumbuh, punya daya saing yang sehat," ucap Frans.
Frans mengungkapkan bahwa Apindo bakal melakukan analisa lebih dalam mengenai SK Gubernur maupun proses penyusunan UMP dan UMSP di Jawa Tengah. "Kalau memang kami melihat ada pelanggaran aturan, kami melihat demikian, terpaksa kami bawa ke PTUN. Sebab kita ini terus terang berusaha untuk membangun bangsa dan negara, terutama di Jawa Tengah. Kami mau industri berkembang," tegasnya.
Gugatan itu siap dilayangkan sebagai bagian dari upaya pengusaha di Jawa Tengah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8%. Menurut Frans, pemerintah semestinya konsisten dengan target pertumbuhan ekonomi itu. Kenaikan upah minimum di atas kemampuan pengusaha tentu bakal menjadi penghalang pertumbuhan dan hanya memberikan kesenangan sesaat buat buruh.
"Kami tidak mau sampai pabrik tutup lho. Itu bagi kami sebenarnya sesuatu yang harus dihindari. Tetapi lihat sendiri, tahun 2025, berapa pabrik tutup dan banyak di Jawa Tengah. Itu kami tidak mau," kata Frans.
Di sisi lain, Karmanto, Ketua Federasi Serikat Pekerja Indonesia Perjuangan sekaligus Anggota Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Tengah dari unsur buruh, mengaku siap merespon ancaman gugatan yang dilayangkan Apindo terhadap UMP maupun UMSP Jawa Tengah 2026.
"Ya siap. Tahun 2024 [kami] juga menghadapi [tuntutan hukum] dan Alhamdulillah kami menang 2-0 lawan Apindo. Jadi tingkat 1 di Kota Semarang kita menang, di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya juga kita menang," jawabnya.
Sebagai informasi, pada 2024 silam, Apindo Jawa Tengah sempat mengajukan gugatan ke PTUN Semarang terhadap penetapan UMK 2024 yang dianggap memberatkan pengusaha. Dalam gugatan itu, UMK Kota Semarang dan Kabupaten Jepara dinilai tidak memiliki dasar hukum yang kuat lantaran berada di luar rentang kenaikan yang direkomendasikan pemerintah.
Proses hukum berlangsung sengit. Gugatan Apindo Jawa Tengah ditolak karena dianggap prematur oleh Majelis Hakim. Sementara itu, eksepsi dari pihak tergugat yaitu Gubernur Jawa Tengah maupun pihak intervensi yang terdiri dari sejumlah elemen serikat buruh di Jawa Tengah justru diterima Majelis Hakim.
Tak berhenti di situ, Apindo Jawa Tengah ikut mengajukan banding atas putusan PTUN Semarang. Proses peradilan dilakukan di Surabaya dengan putusan yang kembali memenangkan tergugat.




