Kalimat seperti ini sering terdengar dalam percakapan publik, baik di ruang fisik maupun di media sosial. Sekilas ia tampak rasional, bahkan tegas. Namun di baliknya, tersembunyi satu persoalan mendasar: kecenderungan membaca kemiskinan semata sebagai masalah moral individu, tanpa menengok konteks sosial dan struktural yang membentuk pilihan hidup seseorang.
Padahal, judi tidak pernah benar-benar menjanjikan uang. Yang ia janjikan adalah harapan. Dan bagi mereka yang hidup dalam kemiskinan serta ketidakpastian, harapan bukan sekadar emosi, melainkan juga kebutuhan psikologis yang semakin mahal.
Hidup yang Terasa MentokBagi banyak orang miskin, kehidupan sehari-hari berjalan dalam pola yang nyaris stagnan. Kerja keras tidak selalu berbanding lurus dengan perubahan nasib. Upah harian habis untuk kebutuhan dasar (makan, transportasi, kontrakan) tanpa menyisakan ruang untuk menabung atau merancang masa depan secara masuk akal.
Dalam situasi seperti ini, masa depan bukan sesuatu yang bisa direncanakan, melainkan sesuatu yang hanya bisa diharapkan. Bukan karena mereka tidak rasional, melainkan karena jalur rasional menuju mobilitas sosial sering kali terasa tertutup. Pendidikan mahal, pekerjaan formal sulit diakses, dan sistem seleksi sosial kerap menguntungkan mereka yang sudah memiliki capital sejak awal.
Ketika hidup terasa mentok, orang cenderung mencari celah. Di titik inilah judi hadir sebagai jalan pintas imajiner. Judi menawarkan sesuatu yang hampir mustahil di dunia nyata: lompatan kelas sosial tanpa proses panjang. Sekali mencoba, sekali memasang angka, hidup seolah punya peluang untuk berubah.
Judi dan Logika HarapanJudi bekerja bukan dengan logika statistik, melainkan logika harapan. Judi menyederhanakan masa depan menjadi satu momen penentu: jika menang, hidup bisa beres. Tidak perlu ijazah, tidak perlu koneksi, dan tidak perlu rekomendasi. Cukup keberuntungan.
Sejumlah kajian sosiologi dan ekonomi perilaku menunjukkan bahwa dalam kondisi ketidakpastian tinggi, manusia cenderung lebih responsif terhadap janji perubahan cepat dibanding perhitungan rasional jangka panjang. Dalam kerangka ini, judi berfungsi sebagai jalan singkat menuju rasa kemungkinan.
Bagi mereka yang hidup dalam ketidakpastian struktural, tawaran ini terasa masuk akal. Judi menciptakan ilusi kendali di tengah hidup yang nyaris tanpa kendali. Orang mungkin sadar peluangnya kecil, tetapi peluang kecil tetap terasa lebih baik daripada perasaan tidak punya peluang sama sekali.
Polisi Moral Selalu Datang Lebih CepatSayangnya, respons yang paling cepat muncul sering kali bukan solusi, melainkan penilaian moral. Judi segera dibaca sebagai bukti kemalasan, kebodohan, atau mental instan. Analisis pun berhenti pada perilaku individu, bukan pada kondisi yang melahirkannya.
Padahal, jika seseorang bekerja dari pagi hingga sore, tetap miskin, dan tidak melihat adanya perbaikan hidup yang nyata, apakah sepenuhnya tidak rasional ketika ia mencoba jalan yang menjanjikan perubahan cepat, meski berisiko?
Tulisan ini bukan pembelaan terhadap judi. Judi tetap problematik, adiktif, dan dalam banyak kasus justru memperparah kemiskinan. Namun, memusatkan kemarahan pada pelakunya sering kali mengaburkan persoalan yang lebih mendasar: Mengapa mimpi yang realistis terasa begitu mahal bagi sebagian besar orang?
Ketimpangan AspirasiUntuk memahami fenomena ini, kita perlu melihat apa yang disebut sebagai ketimpangan aspirasi. Ketimpangan aspirasi adalah perbedaan sistematis dalam tingkat, jenis, dan horizon mimpi antarindividu atau kelompok sosial yang muncul akibat distribusi yang tidak merata atas modal ekonomi, sosial, kultural, dan simbolik, serta akses terhadap institusi dan informasi.
Dengan kata lain, mimpi tidak tumbuh di ruang hampa; ia dibentuk oleh lingkungan sosial tempat seseorang hidup dan oleh apa yang secara sosial dianggap “mungkin” untuk dicapai.
Debraj Ray (2006) menjelaskan bahwa kemiskinan memiliki hubungan timbal balik dengan kegagalan aspirasi. Bukan karena orang miskin tidak punya keinginan untuk hidup lebih baik, melainkan karena kemiskinan itu sendiri menyempitkan aspirations window—ruang kognitif tempat seseorang membayangkan masa depan yang masih terasa masuk akal dan dapat diraih.
Ketika seseorang hanya dikelilingi oleh contoh hidup yang stagnan atau rapuh, investasi jangka panjang—seperti pendidikan, keterampilan, atau membuka usaha—terasa terlalu berisiko atau bahkan sia-sia. Aspirasi bisa menjadi terlalu rendah (fatalisme), atau sebaliknya terlalu tinggi dan jauh (frustrasi), dan keduanya sama-sama melemahkan tindakan rasional ke depan.
Di titik inilah konsep capacity to aspire yang dikemukakan Arjun Appadurai (2004) menjadi penting. Appadurai menekankan bahwa kapasitas untuk beraspirasi adalah kapasitas kultural, bukan sekadar kehendak individual.
Kelompok miskin sering kali tidak hanya kekurangan sumber daya material, tetapi juga kekurangan “peta budaya” untuk menavigasi masa depan: bahasa untuk merumuskan tujuan, pengetahuan tentang tahapan pencapaian, serta pengakuan sosial bahwa aspirasi mereka sah dan layak diperjuangkan. Akibatnya, mereka memiliki mimpi, tetapi mimpi itu rapuh, tidak terstruktur, dan minim jalur pencapaian.
Perbedaan ini tampak jelas jika kita bandingkan kelas menengah dan kelompok miskin. Bagi kelas menengah, mimpi biasanya hadir dalam bentuk yang tertata: pendidikan berjenjang, karier, investasi, dan jaminan hari tua. Jalurnya relatif jelas, meskipun penuh tantangan. Sementara bagi kelompok miskin, mimpi sering kali hadir tanpa peta jalan. Mereka tahu ingin hidup lebih baik, tetapi tidak tahu dari mana harus memulai dan sejauh apa usaha itu masuk akal secara sosial maupun ekonomi.
Dalam kondisi seperti ini, judi menawarkan sesuatu yang tampak rasional secara emosional: mimpi instan. Ia tidak memerlukan capital budaya, tidak menuntut sertifikat, tidak melewati birokrasi, dan tidak bergantung pada pengakuan institusional. Judi seolah memotong jalur panjang yang selama ini terasa tertutup.
Masalahnya—sebagaimana diingatkan Ray—lompatan aspirasi yang terlalu jauh justru cenderung mematikan investasi rasional dan berakhir pada kekecewaan berulang. Namun bagi mereka yang hidupnya sudah dipenuhi ketidakpastian, risiko tersebut sering kali terasa lebih masuk akal karena hampir semua pilihan lain juga terasa berisiko.
Judi sebagai Gejala, bukan Akar MasalahJudi bukan akar kemiskinan, melainkan gejala dari kemiskinan yang lebih dalam: kemiskinan harapan. Selama kerja keras tidak memberi rasa bergerak, selama masa depan terasa buram, dan selama mobilitas sosial tampak mustahil, berbagai bentuk “penjual mimpi” akan selalu menemukan pasarnya, entah dalam bentuk judi, investasi bodong, atau skema cepat kaya lainnya.
Karena itu, memberantas judi semata dengan razia dan hukuman tidak pernah cukup. Pendekatan represif mungkin menekan permukaan, tetapi tidak menyentuh akar persoalan. Tantangan yang lebih sulit adalah membangun sistem sosial dan ekonomi yang memberi orang alasan rasional untuk percaya bahwa masa depan bisa diupayakan, bukan diundi.
Mimpi yang Tidak Perlu DiundiJika tujuan kita adalah mengurangi ketergantungan pada judi, diskusi tidak bisa berhenti pada moralitas individu. Ia harus menyentuh soal pekerjaan yang layak, pendidikan yang benar-benar membuka horizon, serta kebijakan sosial yang memberi rasa aman dan peluang bergerak.
Orang yang memiliki mimpi yang masuk akal tidak perlu membeli mimpi palsu.
Dan selama mimpi yang masuk akal itu tidak tersedia, jangan heran jika judi—dengan segala janjinya—akan terus menggoda. Karena di tengah hidup yang terasa buntu, harapan sekecil apa pun, meski semu, tetap terasa berharga.




