Konferensi pers mengenai perkembangan penanggulangan bencana Sumatera, di Pangkalan TNI Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (19/12/2025), hampir usai. Sesi tanya jawab dengan wartawan telah ditutup. Namun, Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya yang duduk sejajar dengan para menteri, Panglima TNI, Kepala Polri, Kepala Staf TNI Angkatan Darat, serta perwakilan Badan Penanggulangan Bencana Nasional, kembali tampil.
Sambil memegang pelantang, ia mulai bicara dan memastikan awak media masih merekam. "Ini masih live ini? Masih? Oke. Izin Pak Menko dan Bapak-bapak sekalian. Saya mau menyampaikan beberapa poin dan sekaligus menjawab beberapa pertanyaan tadi. Jadi satu, yang pertama mengenai anggapan bahwa pemerintah itu lambat, saya mau cerita begini," tuturnya mengawali.
Ia bercerita, ketika hujan deras terjadi di Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) sepanjang 24—26 November 2025 lalu, Kepala BNPB Suharyanto tengah berada di Lumajang, Jawa Timur, untuk menangani dampak erupsi Gunung Semeru. Namun, mendengar kejadian yang terjadi di Sumatera, Suharyanto langsung terbang ke Sumut. Di hari yang sama, Presiden Prabowo Subianto juga menghubungi Gubernur Sumatera Utara, Bupati Tapanuli Selatan, serta Bupati Tapanuli Tengah. Ia lalu mengintruksikan Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan mengoordinasilan seluruh kekuatan dan memobilisasinya ke lokasi bencana.
"Kemudian di tanggal 27 (November), seluruh helikopter yang ada di Pulau Sumatra langsung bergerak ke Padang, Medan, dan Banda Aceh. Dan juga seluruh helikopter dan pesawat yang ada di Jawa, digerakkan ke Sumatra. Dari Jawa ke Sumatra helikopter itu butuh 13 sampai 15 jam terbangnya. Kemudian di tanggal 27 (November) itu juga, beberapa heli sampailah ke Banda Aceh. Angkat genset PLN, angkat logistik. Sama, tidak ada media di situ. Tidak ada kamera di situ," tutur Teddy lagi.
Teddy pun menyebutkan satu per satu langkah yang dikerjakan Presiden dan para menteri dan kepala lembaga. Demikian pula ketika jalur lintas kabupaten di 52 kabupaten Aceh, Sumut, dan Sumbar terputus serta jaringan listrik padam. Hingga pada 30 November, sedikit demi sedikit, akses jalan mulai tersambung dan listrik pun kembali menyala.
"Nyalalah listrik. Gimana bisa nyambung? Gimana bisa nyala? Ya, semuanya kita ini, termasuk warga, setempat, itu sama-sama sambungkan jalan. Petugas PLN ngangkut di tengah hujan, di atas gunung, segala macam, tanpa kamera," ujarnya.
Presiden Prabowo Subianto pun empat kali menyambangi lokasi bencana. Begitu juga Wakil Presiden Gibran Rakabuming yang dua kali mengunjungi wilayah bencana.
"Jadi yang saya mau sampaikan di sini, sejak hari pertama, detik pertama, pemerintah beserta warga itu sudah sama-sama berjuang keras, mengevakuasi warga, dan bagaimana caranya ini segera pulih. Itu yang pertama," kata Teddy.
Ia juga menjelaskan argumentasi soal bencana di Sumatera bagian utara yang tidak ditetapkan sebagai bencana nasional. Menurut dia, tanpa status itu pun seluruh kekuatan dan anggaran dari pusat sudah dikerahkan secara optimal untuk menangani bencana tersebut.
Lebih dari itu, Presiden juga mendengarkan seluruh masukan terkait penanganan bencana, mulai dari meninjau langsung ke lokasi, perbaikan jembatan, hadir ke daerah terisolasi, hingga mengadakan rapat dengan jajaran kabinet di wilayah terdampak bencana.
Teddy mengakui, langkah yang dilakukan pemerintah belum sempurna. Oleh karena itu, ia meminta dukungan dari semua pihak untuk bekerja bahu membahu, memberitahukan lokasi yang belum mendapatkan bantuan. Ia juga berharap, tidak ada pihak yang malah sengaja menggiring narasi soal lambannya kerja pemerintah.
“Jadi, kalau ada diantara Saudara-saudara yang dianugerahkan Tuhan, punya pengaruh, entah itu kecil atau besar, dan punya kemampuan untuk berbicara panjang lebar, gunakanlah dengan bijak. Bukan sebaliknya, memperumit. Sampaikan pernyataan dan pertanyaan yang bijak. Jangan menggiring-giring seolah pemerintah tidak kerja, petugas-petugas di lapangan tidak kerja,” ujarnya.
Tidak hanya Teddy, pada kesempatan yang sama Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Maruli Simanjuntak juga mengungkapkan hal serupa. Seusai memaparkan perkembangan kerjanya sebagai Komandan Satuan Tugas Percepatan Pembangunan Jembatan, ia juga meminta agar publik lebih mengapresiasi kerja petugas di lapangan, termasuk prajurit TNI. Sebab, mereka bekerja tanpa mengenal waktu dan berada dalam situasi yang sering kali tidak layak.
“Jadi, tolong kita harus kompak bernegara. Peran Anda luar biasa. Bangkitkan moril masyarakat, bangkitkan kami yang bekerja,” kata Maruli. Ungkapan Maruli itu pun disambut dengan dua jempol yang diacungkan Teddy.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Pratikno ketika memaparkan perkembangan penanganan bencana secara umum juga kerap menekankan bahwa pemerintah sudah melakukan sejumlah hal, tetapi belum semua wilayah tertangani. Soal perbaikan akses jalan, contohnya, ia menyebut bahwa Jalan Provinsi Padang Pariaman-Agam sudah tersambung meski masih ada titik yang membutuhkan penanganan lanjutan. Jaringan listrik, di sebagian besar wilayah mulai pulih walaupun masih ada gangguan di beberapa desa akibat kerusakan tiang listrik.
“Jaringan komunikasi berangsur membaik, meskipun di wilayah terpencil masih mengandalkan dukungan perangkat darurat seperti Starlink, radio HT, dan telepon satelit,” tutur Pratikno.
Sejak bencana banjir dan longsor melanda Sumatera bagian utara tiga pekan lalu, berbagai kerusakan dan penderitaan warga memang tidak terhindarkan. Data BNPB pada Senin (22/12/2025), bencana itu telah mengakibatkan 1.090 orang meninggal dan 186 hilang. Sebanyak 7.000 orang terluka, dan lebih dari 200.000 orang mengungsi karena ada 147.236 rumah yang rusak.
Tak hanya itu, krisis pangan dan energi juga menyusul setelah bencana. Sejumlah warga merasakan, listrik hanya menyala ketika Presiden Prabowo hadir. "PLN masih ada atau nggak ya. Listrik tidak menyala sama sekali, terakhir sempat menyala saat Presiden di Aceh (6-7 Desember), setelahnya padam lagi," tutur Lia, warga Banda Aceh, Kamis (11/12/2025).
Salah seorang relawan Ita yang bertugas di Aceh Tamiang pun menyampaikan hal serupa, Selasa (16/12/2025). "Masih mati lampu. Tenda-tenda juga baru dibagikan sehari sebelum (Presiden datang)," ujarnya.
Pengalaman yang dirasakan masyarakat sering kali kontras dengan klaim pemerintah. Kendati puluhan ribu personel TNI dan Polri, serta BNPB sudah turun ke lapangan, masyarakat tetap menilai penanggulangan bencana lamban. Bahkan, di Aceh, berbagai kekecewaan terakumulasi dengan pengibaran bendera putih oleh warga di jalan-jalan.
Penilaian itu salah satunya terekam dalam analisis Drone Emprit terhadap percakapan di media sosial X, Facebook, Instagram, Youtube, TikTok, Threads, dan pemberitaan di media daring selama 8—15 Desember 2025. Analisis dilakukan terhadap topik “Bencana di Aceh dan Sumatera” dengan beberapa kata kunci, yakni Aceh, Tapanuli, Sibolga, Padang, Sumut, Sumbar, Sumatera, Sumatra, PrayForAceh, PrayForTapanuli, PrayForSibolga, PrayForSumatera, PrayForSumatra, PrayforPadang, dan AlleyesonSumatra.
Pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, menjelaskan, sepanjang 8—15 Desember 2025 terdapat 49.365 artikel tentang bencana di Aceh dan Sumatera. Sejumlah artikel itu menuai 156.687 mentions dan dibicarakan di media sosial sebanyak 75.403 sampel mentions.
Dari total artikel dan pembicaraan di media daring, terdapat sentimen positif sebesar 69,4 persen, sentimen negatif 7 persen, dan netral sebesar 28,1 persen. Sementara itu, di media sosial, sentimen positif publik sebesar 22,1 persen, sedangkan sentimen negatif mencapai 57,3 persen, dan netral sebesar 20,4 persen.
Sentimen positif publik antara lain berasal dari kunjungan langsung Presiden/Wapres ke lokasi dan posko bencana, pemutihan kredit usaha rakyat terhadap petani yang terdampak bencana, serta peran cepat TNI/Polri dan sukarelawan dalam memastikan bantuan sampai ke korban. Selain itu, masyarakat juga menilai positif ihwal kepastian anggaran pemulihan pasca bencana, juga dukungan penegakan hukum terhadap perusahaan perusak lingkungan.
Sementara itu, sentimen negatif publik salah satunya disebabkan oleh klaim pemerintah bahwa listrik sudah pulih di 93 persen daerah tetapi bertentangan dengan kondisi pemadaman yang masih terjadi di lapangan. Kekecewaan masyarakat juga dipicu oleh penolakan penetapan status bencana nasional serta pembatasan bantuan asing, respons pemerintah yang dianggap lambat dan terhambat birokrasi, serta hilangnya 80 ton logistik bantuan. Tak hanya itu, sentimen negatif juga muncul terkait dengan kerusakan lingkungan yang menjadi penyebab utama bencana.
Ismail melanjutkan, dari sejumlah temuan, dapat disimpulkan, telah terjadi krisis legitimasi pemerintah akibat pola komunikasi. Pertama, ketidaksesuaian antara klaim pejabat dan realitas di lapangan. Hal itu diperburuk oleh perilaku “wisata bencana” yang meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap informasi resmi negara.
“Upaya pengendalian informasi melalui intimidasi jurnalis dan penghapusan rekaman liputan diinterpretasikan publik sebagai indikasi kuat adanya upaya menutupi kegagalan manajemen tanggap darurat,” ujarnya.
Ismail menambahkan, terjadi pula eskalasi ketimpangan hubungan pusat dengan daerah yang mengancam integrasi nasional. Hal itu terlihat dari keputusan Pemerintah Provinsi Aceh mengirim surat permintaan bantuan ke sejumlah organisasi di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa serta pengibaran bendera putih oleh warga.
Selain itu, publik juga menuntut reformasi prioritas anggaran dengan menggeser anggaran Makan Bergizi Gratis kepada bencana. Masyarakat juga mendesak pemerintah untuk mewujudkan akuntabilitas ekologis, karena telah terjadi pergeseran narasi bencana sebagai kejahatan struktural yang menuntut pertanggungjawaban hukum dari korporasi perusak lingkungan.
Dihubungi terpisah, pakar komunikasi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Suko Widodo menjelaskan, publik menilai pemerintah berdasarkan dampak kebijakan yang langsung dirasakannya. Oleh karena itu, pemerintah semestinya tak perlu "baper" bila dikritik dan menghadapi sentimen negatif. Kritik semestinya dipahami sebagai masukan yang bisa menjadi referensi dalam pengambilan kebijakan berikutnya.
"Kritik jangan ditanggapi dengan reaktif, tapi responsif," tutur Suko.
Model komunikasi yang mengklaim apa yang sudah dikerjakan, menurut Suko, malah bisa menjadi blunder atau kesalahan yang berbalik pada pemerintah. Sebab, itu bisa membuat publik kurang bersimpati dengan gaya komunikasi seperti itu. Padahal, tanpa perlu memamerkan apa yang sudah dikerjakan, masyarakat bisa merasakan karya-karya yahng dibuat pemerintah.
"Publik itu melihat karya nyata, bukan laporan kata-kata. Jika pemerintah bekerja bagus, publik secara otomatis akan mengapresiasinya," ujar Suko.
Ia menambahkan, dalam penanganan bencana, model komunikasi yang instruktif baik kepada masyarakat maupun awal media juga kurang tepat. Dalam situasi darurat, pemerintah seharusnya mengembangkan komunikasi yang penuh empati dalam memahami kondisi yang dialami korban. Bukan malah menempatkan korban sebagai pihak yang berada di bawah kendali pejabat.
Sejak era Prabowo-Gibran dimulai, persoalan komunikasi pemerintah kerap mewarnai penyelenggaraan negara. Presiden pernah mengingatkan langsung jajarannya soal perbaikan komunikasi, bahkan pergantian struktur dan kelembagaan juga dilakukan untuk membenahi komunikasi. Namun, persoalan serupa masih kembali terjadi.





