PENGAMAT Politik dari Citra Institute, Efriza menilai keputusan kedua kubu yang berkonflik di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk melakukan islah (rekonsiliasi) dan menyelenggarakan Muktamar bersama sebagai bukti kedewasaan berorganisasi. Langkah ini dianggap sebagai jalan keluar bermartabat untuk menjaga stabilitas organisasi dan mencegah perpecahan di tingkat akar rumput.
Efriza menyatakan kesepakatan untuk menggelar Muktamar bersama, alih-alih Muktamar Luar Biasa (MLB), menunjukkan bahwa para elite NU masih mengedepankan nilai ukhuwah (persaudaraan) dan kecintaan terhadap institusi di atas kepentingan kelompok.
"Sikap bersama ini diambil dengan kesadaran, bukan melalui mekanisme voting. Ini mencerminkan mengakar kuatnya tradisi kultural dalam tubuh NU yang selalu berupaya menghindari konflik berlarut-larut. Stabilitas organisasi tetap menjadi tujuan utama," ujar Efriza melalui keterangannya, Jumat (26/12).
Efriza menilai islah merupakan pilihan rasional dibandingkan membawa sengketa internal ke ruang pengadilan. Menurutnya, konflik yang berkepanjangan hanya akan menguras energi dan menurunkan legitimasi serta marwah PBNU di mata publik.
"Islah menjadi keniscayaan ketika konflik menunjukkan gejala memanas. Jika dibiarkan, hal ini berisiko merusak kohesi jamaah Nahdliyin di tingkat bawah. Pilihan rekonsiliasi ini memulihkan marwah PBNU sebagai organisasi yang membawa kesejukan bagi bangsa dan negara," tuturnya.
Lebih lanjut, ia melihat islah ini memiliki dimensi politik nasional yang strategis. Dengan menyelesaikan konflik internal lebih cepat, NU dapat menjaga daya tawar politiknya dalam menjaga kerukunan masyarakat dan stabilitas negara.
Catatan untuk Masa Depan NUMeskipun menyambut baik islah tersebut, Efriza memberikan sejumlah catatan kritis agar konflik serupa tidak terulang di masa depan. Ia menekankan pentingnya penguatan tata kelola organisasi yang transparan dan taat prosedur.
"Ke depan, NU perlu memastikan tidak ada lagi ruang tafsir ganda atas legitimasi kepemimpinan. Pengambilan keputusan harus mencerminkan keputusan bersama agar potensi konflik dapat diminimalkan," kata Efriza.
Ia juga menyoroti perlunya pembatasan tarik-menarik kepentingan politik praktis di level struktural, yang disinyalir menjadi salah satu pemantik gesekan internal.
"Penting bagi NU untuk tetap menjadi rumah besar umat, bukan sekadar arena kontestasi elite. Penguatan pendidikan kader tentang etika berorganisasi dan khittah NU harus dilakukan secara permanen, sehingga budaya islah bukan sekadar solusi darurat, melainkan karakter organisasi dalam mengelola perbedaan," pungkasnya.(H-2)




