- Bagaimana kunjungan wisatawan ke Bali saat libur Natal dan Tahun Baru?
- Mengapa Bali sepi wisatawan domestik tetapi wisatawan mancanegara tetap naik?
- Apa yang perlu dilakukan untuk menaikkan kembali kunjungan wisatawan domestik ke Bali?
- Persoalan apa yang harus diatasi Bali agar kembali menjadi tujuan utama wisatawan?
Saat libur Natal 2025 dan Tahun Baru 2026, Bali tetap menjadi salah satu tujuan utama perjalanan wisata, baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Pergerakan penumpang udara dan laut meningkat signifikan, menandakan Bali masih memiliki daya tarik kuat di tengah berbagai isu yang beredar menjelang akhir tahun.
Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai diproyeksikan melayani sekitar 1,5 juta penumpang selama periode 19 Desember 2025 hingga 4 Januari 2026. Selain jalur udara, penyeberangan Ketapang-Gilimanuk juga diprediksi dilintasi lebih dari satu juta orang, terutama wisatawan domestik yang memilih jalur darat.
Dari sisi akomodasi, pelaku usaha perhotelan mencatat tingkat okupansi hotel meningkat tajam pada puncak liburan. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Badung I Gusti Agung Ngurah Rai Suryawijaya mengatakan, okupansi hotel saat Natal dan Tahun Baru diproyeksikan mencapai 78-97 persen. ”Dalam musim libur Natal dan Tahun Baru, okupansi hotel diproyeksikan 78-97 persen,” ujarnya.
Namun, angka okupansi tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi kunjungan wisatawan domestik sepanjang tahun. Sejumlah pelaku pariwisata mencatat adanya penurunan jumlah wisatawan Nusantara dibandingkan tahun sebelumnya meskipun secara visual kawasan wisata tetap tampak ramai.
Sebaliknya, wisatawan mancanegara menunjukkan tren pertumbuhan yang konsisten. Sepanjang 2025, kunjungan wisatawan asing ke Bali meningkat 11,2 persen dibandingkan 2024, dari 6,3 juta orang menjadi sekitar 7 juta orang. Kenaikan ini bahkan melampaui target Pemerintah Provinsi Bali.
Ketimpangan inilah yang kemudian memunculkan persepsi bahwa Bali ”sepi” wisatawan domestik meskipun data resmi menunjukkan pergerakan wisatawan asing dan tingkat hunian hotel tetap tinggi pada musim libur akhir tahun.
Fenomena menurunnya wisatawan domestik ke Bali tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh berbagai faktor struktural dan situasional. Salah satu faktor utama yang kerap disorot adalah kemacetan lalu lintas, terutama di kawasan Bali selatan yang menjadi pusat aktivitas pariwisata.
Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana I Putu Anom menilai, kepadatan lalu lintas membuat wisatawan domestik kehilangan waktu berharga untuk berlibur. ”Kondisi infrastruktur belum memadai, macet total. Waktu wisatawan habis di jalan,” ujarnya, yang menambahkan bahwa wisatawan domestik umumnya datang dalam rombongan keluarga dan sangat sensitif terhadap kenyamanan perjalanan.
Selain kemacetan, faktor ekonomi domestik juga berpengaruh. Lesunya daya beli masyarakat, mahalnya harga tiket pesawat, serta ketiadaan kebijakan cuti bersama panjang membuat wisatawan domestik cenderung memilih berlibur di daerah yang lebih dekat dan terjangkau.
Isu-isu yang beredar di media sosial turut memperkuat persepsi negatif. Informasi mengenai banjir, cuaca buruk, sampah, hingga kepadatan berlebih (overtourism) dinilai memengaruhi keputusan wisatawan domestik. Akademisi Fakultas Pariwisata Unud, I Gusti Agung Oka Mahagangga, mengingatkan bahwa isu yang tidak dikelola dengan baik dapat berdampak besar pada citra Bali di era digital.
Di sisi lain, wisatawan mancanegara relatif lebih toleran terhadap persoalan tersebut. Bali tetap dipandang sebagai destinasi global dengan kekuatan budaya, alam, dan fasilitas pariwisata yang lengkap sehingga isu lokal tidak secara signifikan menghambat arus kunjungan.
Gubernur Bali Wayan Koster bahkan menegaskan bahwa narasi Bali sepi tidak sesuai dengan data. ”Kunjungan turis meningkat, berarti informasi turis sepi yang beredar di media sosial itu hoaks,” ujarnya merujuk pada data kedatangan wisatawan asing yang terus naik.
Sejumlah pihak menilai langkah paling mendesak untuk menarik kembali wisatawan domestik adalah mengurai kemacetan dan memperbaiki sistem transportasi. Tanpa pembenahan infrastruktur, pengalaman berwisata di Bali dinilai tidak sebanding dengan waktu dan biaya yang dikeluarkan wisatawan.
Pelaku pariwisata mendorong percepatan pembangunan infrastruktur, seperti terowongan (underpass), penguatan transportasi publik, dan pengaturan lalu lintas di kawasan padat wisata. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi kejenuhan wisatawan domestik yang kerap terjebak macet berjam-jam.
Selain infrastruktur, harga tiket pesawat juga menjadi faktor krusial. Ketua PHRI Badung menilai perlu ada koordinasi lintas kementerian untuk menekan biaya perjalanan udara. ”Coba kalau harga tiket ke Bali ada promo, pasti ramai,” ujar I Gusti Agung Ngurah Rai Suryawijaya.
Diversifikasi destinasi juga dinilai penting. Selama ini, wisatawan domestik terkonsentrasi di Bali selatan, sementara wilayah tengah, utara, dan timur belum tergarap optimal. Padahal, daerah-daerah tersebut menawarkan potensi alam dan budaya yang berbeda serta relatif lebih tenang.
Akademisi pariwisata menilai pengembangan desa wisata dan wisata berbasis budaya dapat menjadi daya tarik baru bagi wisatawan domestik. ”Core product pariwisata Bali adalah budaya. Itu jangan dilupakan,” kata Oka Mahagangga, menekankan pentingnya kembali ke jati diri pariwisata Bali.
Selain itu, promosi pariwisata perlu diselaraskan dengan kondisi lapangan. Ketidaksesuaian antara citra yang dipromosikan dan realitas di lapangan berpotensi menimbulkan kekecewaan wisatawan, yang kemudian menyebar luas melalui media sosial.
Di luar persoalan musiman, Bali menghadapi tantangan struktural berupa overtourism dan pembangunan pariwisata yang dinilai tidak terkendali. Penumpukan wisatawan di kawasan selatan memicu kemacetan, tekanan lingkungan, dan penurunan kualitas hidup masyarakat lokal.
Pengamat pariwisata, Chusmeru, menilai kondisi ini merupakan akumulasi pembangunan yang tumbuh tanpa perencanaan matang. ”Kerusakan alam di Bali sekarang cenderung lebih merata akibat pengembangan pariwisata yang tak terkendali,” ujarnya, seraya menyebut Bali tidak lagi senyaman masa lalu.
Dampak overtourism juga dirasakan wisatawan. Biaya ekonomi yang dikeluarkan wisatawan dinilai tidak lagi sebanding dengan tingkat kenyamanan dan kepuasan yang diperoleh. Kondisi ini berisiko menggerus loyalitas wisatawan, terutama dari dalam negeri.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Bali didorong melakukan pengendalian daya dukung wilayah dan pemerataan pembangunan destinasi. Pemerintah daerah telah mulai mempromosikan kawasan Bali utara, barat, dan timur guna mengurangi tekanan di wilayah selatan.
Pembangunan transportasi publik, seperti LRT Bali, juga dinilai penting untuk mengatasi kemacetan jangka panjang. Tanpa sistem transportasi massal yang andal, mobilitas wisatawan dan warga lokal akan terus menjadi persoalan utama.
Sejumlah akademisi mengingatkan bahwa wisatawan domestik memiliki peran strategis dalam ketahanan pariwisata Bali. ”Saat pascatragedi bom Bali dan pandemi, wisatawan domestik sangat membantu pemulihan,” kata Oka Mahagangga.
Pengalaman itu menjadi pengingat bahwa menjaga minat wisatawan domestik sama pentingnya dengan menarik wisatawan mancanegara.





