DESEMBER bukan sekadar penutup kalender. Bagi warga Nahdliyin dan bangsa Indonesia, ia adalah "Bulan Gus Dur".
Ritual haul yang digelar di berbagai penjuru bukan sekadar ziarah nostalgia, melainkan upaya memanggil kembali ruh kepemimpinan yang menghargai manusia di atas struktur.
Namun, haul tahun ini terasa getir. Di tengah gempita doa, kita menyaksikan "rumah besar" yang dibangun KH Abdurrahman Wahid sedang mengalami guncangan internal: keretakan hubungan antara Syuriyah dan Tanfidziyah yang kian terbuka ke ruang publik.
Konflik ini bukan sekadar urusan administratif, melainkan krisis epistemologis dalam menafsirkan mandat organisasi.
Di sini, kita merindukan humor Gus Dur—bukan sebagai lelucon receh, melainkan sebagai alat dekonstruksi terhadap keangkuhan kekuasaan.
Krisis mandat dan syahwat birokrasiDalam kacamata filsafat kontemporer, apa yang terjadi di tubuh PBNU belakangan ini menyerupai apa yang digambarkan Jürgen Habermas sebagai "kolonisasi dunia-kehidupan" (lifeworld).
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=Gus Dur, PBNU&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8yOC8xNjA2MzM3MS9tZW5hZ2loLWh1bW9yLWd1cy1kdXItZGktdGVuZ2FoLWRlZmlzaXQtaXNsYWg=&q=Menagih Humor Gus Dur di Tengah Defisit Islah§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Baca juga: Alissa Wahid: Konsesi Tambang Jadi Titik Konflik PBNU
Organisasi yang seharusnya menjadi ruang diskursus moral (Syuriyah) kini tampak mulai "dijajah" oleh logika sistem birokrasi dan politik praktis (Tanfidziyah) yang serba teknokratis dan hegemonik.
Ketegangan antara Rais Aam dan Ketua Umum bukan sekadar soal beda pendapat, melainkan soal pergeseran maqasid (tujuan) berorganisasi.
Secara fikih siyasah, relasi Syuriyah-Tanfidziyah seharusnya mencerminkan hubungan antara ahlul halli wal aqdi (pemberi mandat) dan pelaksana.
Namun, ketika Tanfidziyah melampaui kewenangannya tanpa konsultasi substantif dengan Syuriyah, terjadilah apa yang dalam pemikiran politik disebut sebagai "absolutisme manajerial".
Mantan Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siradj, dalam bukunya Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara (2015), sering menekankan bahwa kekuatan NU terletak pada tasawuf sosialnya.
Kiai Said mengingatkan bahwa kepemimpinan ulama bukan hanya soal instruksi, tapi qudwah (keteladanan).
Dalam karya monumentalnya yang lain, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengasah Kepekaan Kemanusiaan (2006), Kiai Said menegaskan bahwa ketika institusi agama mulai kehilangan dimensi sufistiknya, ia akan berubah menjadi monster birokrasi yang dingin.
Konflik Syuriyah-Tanfidziyah hari ini adalah alarm bahwa NU sedang mengalami defisit "akhlak organisasi".
Islah (rekonsiliasi) tidak bisa dicapai hanya dengan tanda tangan di atas materai, melainkan dengan kembalinya kesadaran bahwa jabatan di NU adalah khidmah (pelayanan), bukan ghanimah (harta rampasan).



