Kelebihan pasokan produk nikel di tingkat global dalam beberapa tahun terakhir telah menekan harga komoditas tersebut. Kondisi ini dinilai kurang menguntungkan bagi Indonesia sebagai kontributor 42 persen cadangan nikel dunia. Untuk memperbaiki harga sekaligus menata kembali keseimbangan antara pasokan dan permintaan, pada 2026, pemerintah berencana memangkas produksi nikel di sektor hulu atau pertambangan bijih nikel.
Namun, pemangkasan produksi di sektor hulu bukan tanpa risiko. Sejumlah smelter nikel masih dibangun dan sebagian akan mulai beroperasi pada 2026 sehingga membutuhkan kepastian pasokan bijih yang berkelanjutan. Ironisnya, meski produk nikel olahan mengalami kelebihan pasokan (oversupply) di tingkat global, smelter di dalam negeri justru kekurangan bahan baku dalam dua tahun terakhir dan harus menutupinya lewat impor.
Menurut catatan Kompas, mengacu data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi bijih nikel Indonesia pada 2023 sebanyak 220 juta ton. Pada 2024, produksi meningkat menjadi 240 juta ton. Sementara pada 2025, menurut data Forum Industri Nikel Indonesia (FINI), realisasi produksi bijih nikel sebesar 265 juta ton. Jumlah itu di bawah Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang disetujui sebesar 326 juta ton.
Lonjakan target dan realisasi produksi pertambangan nikel dalam beberapa tahun terakhir tak lepas dari dorongan kebijakan hilirisasi pemerintah. Hal ini terjadi sejak bijih nikel dilarang sepenuhnya diekspor pada 2020 dan diwajibkan diolah di dalam negeri. Smelter nikel untuk jalur produksi baja tahan karat (stainless steel) tumbuh pesat, disusul smelter untuk rantai pasok bahan baku baterai kendaraan listrik (EV). Aktivitas penambangan bijih nikel, sebagai bahan baku, pun meningkat signifikan.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan Bisman Bakhtiar, Jumat (26/12/2025), mengatakan, pemangkasan produksi tambang nikel menjadi langkah tepat dalam rangka menjaga pasokan dan permintaan nikel. Hingga saat ini belum ada sinyal bahwa harga nikel akan kembali menguat.
”Kemudian, eksploitasi nikel ini kan sudah sangat masif sehingga pengurangan produksi akan bisa menahannya. Jadi, dari aspek pengamanan cadangan itu akan jauh lebih bagus. Apalagi, akhir-akhir ini cukup banyak isu tentang kerusakan lingkungan,” ujar Bisman.
Namun, lanjut Bisman, yang perlu diperhatikan ialah jaminan keberlanjutan pasokan bijih nikel untuk smelter-smelter nikel, termasuk yang tengah dibangun. Artinya, aspek keseimbangan tetap perlu diperhatikan jika memang akan ada pengurangan produksi dalam RKAB.
Ia menilai, dengan pembatasan produksi bijih nikel, yang disebut-sebut akan menjadi 250 juta ton pada 2026, kebutuhan bahan baku smelter nikel di Indonesia masih bisa terpenuhi. ”Sebenarnya masih masuk (penuhi kebutuhan), tetapi memang nanti harus diatur jenisnya. Jadi, tergantung bagaimana pemerintah mengatur tata niaga dan tata kelolanya. Pada intinya, memang sudah tidak bisa lagi jorjoran karena akan dibatasi,” katanya.
Menurut Bisman, yang menjadi pelajaran dalam tata kelola nikel Indonesia adalah perlunya penyusunan peta jalan pengembangan nikel yang lebih komprehensif. Diperlukan pengembangan industri turunan yang lebih hilir sehingga peningkatan nilai tambah lebih tinggi.
Di samping itu, diperlukan penguatan dan pematangan teknologi setelah adanya hantaman pasar nikel menyusul perkembangan pesat baterai lithium ferrophosphate (LFP). ”Adanya teknologi lain, alternatif lain, ini membuat (harga) nikel menjadi drop. Jadi, penting untuk mengembangkan teknologinya dulu sehingga nantinya nikel akan tetap dibutuhkan dalam berbagai teknologi. Permintaan dan harga pun akan tetap baik,” lanjut Bisman.
Sebelumnya, pada Jumat (19/12/2025), Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memastikan akan ada pemangkasan produksi pertambangan, termasuk nikel dan batubara, pada 2026. Pemangkasan yang akan ada pada RKAB perusahaan pertambangan itu dalam rangka mengatur kembali pasokan dan permintaan sehingga harga diharapkan kembali merangkak naik.
”Apa tujuannya? Pengusaha harus mendapatkan harga baik dan negara mendapatkan pendapatan yang baik pula,” kata Bahlil. Namun, ia belum merinci besaran pemangkasan produksi tambang Indonesia dalam RKAB, termasuk pada nikel.
RKAB perusahaan tambang, lanjut Bahlil, menjadi instrumen untuk mengontrol kembali perusahaan-perusahaan yang tak menaati aturan. Apabila perusahaan tak taat, maka RKAB-nya akan dievaluasi. ”Kami ingin menjalankan semua (aturan). Disiplin. Lingkungan harus kita jaga semua,” ujarnya.
Mengutip analisis Shanghai Metals Market (SMM), lembaga penyedia data dan indeks harga komoditas logam yang berbasis di China, harga nikel pada Jumat (26/12/2025) ialah 14.599 dollar AS per metrik ton kering atau menurun 0,46 persen dibandingkan pekan sebelumnya. Dalam hal RKAB, disebutkan sejumlah perusahaan tambang nikel Indonesia telah mengajukannya kepada pemerintah dan masih dalam tahap evaluasi untuk persetujuan.
Dari analisis SMM juga disebutkan, perhatian pasar tengah fokus pada apa yang disampaikan pihak Asosiasi Penambang Nikel Indonesia bahwa dalam pengajuan RKAB 2026 ada penurunan signifikan target produksi sebesar 34 persen dibandingkan 2025 menjadi 250 juta ton. Hal tersebut dilakukan dalam rangka menstabilkan harga nikel global. Terkait persetujuan akan itu, Kementerian ESDM masih mengkajinya secara ketat dan mendalam.
Sementara itu, Ketua Umum FINI Arif Perdanakusumah, di Jakarta, Rabu (24/12/2025), menuturkan, hingga 2024, kapasitas terpasang smelter nikel di Indonesia lebih dari 2,5 juta ton. Jumlah itu meliputi smelter rotary kiln electric furnace (RKEF) untuk jalur produksi stainless steel sekitar 2,1 juta ton dan high pressure acid leach (HPAL) untuk rantai produksi baterai EV sekitar 445.000 ton.
Saat ini ada sejumlah proyek yang masih dalam tahap konstruksi. ”Sehingga, pada 2027 nanti, kapasitas RKEF akan meningkat menjadi 2,4 juta ton dan HPAL menjadi 900.000 ton (total 3,3 juta ton). Akibatnya, kebutuhan pasokan bahan baku tentu akan bertambah. Tidak mungkin (ideal) jika ada penambahan kapasitas, sementara pasokan bahan bakunya dikurangi. Jika demikian, akan berdampak signifikan pada industri yang ada,” tutur Arif.
Arif menambahkan, pihaknya tidak dalam posisi menolak atau menyetujui rencana pemangkasan produksi bijih nikel pada 2026. Namun, jika memang benar diterapkan, akan ada sejumlah potensi dampak, tidak hanya pada industri, tetapi juga ekosistem di dalamnya. Sebab, sebelumnya pun, industri pengolahan nikel tengah mendapat tantangan baik terkait lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) maupun kebijakan kenaikan tarif royalti.
Oleh karena itu, kepastian bahan baku perlu mendapat dukungan dari pemerintah. ”Terutama terkait bagaimana mempertahankan stabilitas rantai pasok pada industri-industri (nikel) yang terintegrasi, yang juga menjadi pusat ekonomi baru. Investasi yang ditanamkan juga sudah besar. Kalau pasokan bahan baku terganggu, dampaknya bukan hanya angka produksi, tetapi juga berkaitan dengan karyawan, penerimaan negara, dan kelanjutan investasi,” katanya.
Dalam menghadapi tantangan yang ada, sejumlah perusahaan pengolahan nikel umumnya melakukan sejumlah cara, mulai dari mengurangi produksi atau mempercepat penjadwalan pemeliharaan. Namun, sejumlah opsi penyesuaian itu juga membutuhkan biaya sehingga tak mudah dilakukan.
Menurut Arif, dengan mempertimbangkan smelter-smelter baru yang akan beroperasi, pada 2026 ada penambahan kebutuhan bijih nikel untuk smelter berkisar 40-50 juta ton. Artinya, apabila produksi bijih nikel dibatasi 250 juta ton pada 2026, akan ada gap sekitar 100 juta ton bijih nikel antara pasokan dan permintaan. Opsi impor bisa dilakukan, seperti yang sudah dilakukan dalam dua tahun terakhir. Namun, biayanya jelas lebih mahal.




