TRAGEDI tenggelamnya kapal wisata Putri Sakinah di perairan Selat Pulau Padar, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Sabtu, 27 Desember 2025, tidak bisa dipandang sekadar sebagai berita duka. Insiden yang merenggut nyawa pelatih tim sepak bola putri Valencia Spanyol, Fernando Martin Carreras, beserta tiga anaknya itu sejatinya mengguncang kesadaran nasional. Tenggelamnya kapal wisata tersebut adalah cermin dari persoalan sistemik yang telah lama terjadi dan terus berulang tanpa perbaikan berarti.
Keindahan kawasan Pulau Komodo yang telah menyandang status Situs Warisan Dunia UNESCO ternyata belum dibarengi dengan mitigasi keselamatan yang memadai. Sepanjang 2024 sampai akhir 2025, sedikitnya tercatat 15 kecelakaan kapal wisata terjadi di perairan Labuan Bajo dan sekitarnya. Dari mulai kapal karam, dihantam gelombang tinggi, hingga kerusakan teknis menunjukkan bahwa dalam deretan peristiwa itu ada satu benang merah, yakni kelalaian yang terus dibiarkan.
Masalahnya berlapis. Ada dugaan kapal yang tidak memenuhi standar keselamatan pelayaran, minimnya alat keselamatan, juga kapabilitas awak kapal yang dipertanyakan masih kerap ditemukan. Ironisnya, sebagian kecelakaan justru terjadi saat cuaca dan gelombang tinggi. Padahal, kondisi seperti itu seharusnya menjadi alarm untuk menghentikan seluruh aktivitas pelayaran wisata demi keselamatan jiwa.
Sayangnya, standar yang semestinya menjadi pegangan tersebut kerap kalah oleh kepentingan ekonomi. Dalam kasus terakhir, Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas III Labuan Bajo menduga kapal wisata semipinisi itu mati mesin sebelum akhirnya tenggelam akibat dihantam gelombang tinggi. Dugaan itu kembali menegaskan lemahnya pengawasan sejak kapal masih berada di dermaga.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan berada di kawasan ring of fire, protokol keselamatan transportasi laut semestinya tidak berada pada level biasa-biasa saja. Pencegahan dan penanganan kecelakaan harus disiapkan secara matang, terintegrasi, dan proaktif, bukan reaktif setelah nyawa melayang.
Baca Juga: Kecelakaan Kapal Wisata di Labuan Bajo, Tim SAR Temukan SerpihanStandardisasi keselamatan harus menjadi harga mati, bukan variabel yang bisa dinegosiasikan dengan dalih efisiensi biaya. Kelaikan kapal, kelengkapan pengamanan, serta kompetensi awak kapal wajib memenuhi standar tinggi tanpa kompromi. Otoritas pelabuhan pun harus tegas melarang kapal berangkat bila syarat keselamatan tidak terpenuhi atau kondisi alam tidak memungkinkan. Mengabaikan hal itu sama saja membiarkan laut terus berubah menjadi kuburan bagi para pelancong.
Rentetan kecelakaan yang melibatkan warga negara asing makin membuka celah dalam sistem mitigasi keselamatan nasional. Indonesia seolah piawai menjual keindahan alam, tetapi gagap memberikan jaminan perlindungan nyawa bagi mereka yang datang dengan kepercayaan.
Peristiwa di Labuan Bajo harus menjadi titik balik menuju tindakan radikal. Kita tidak membutuhkan lagi sekadar pernyataan belasungkawa atau janji investigasi yang berakhir tanpa tindak lanjut. Yang diperlukan ialah pemutusan mata rantai keabaian secara nyata.
Penegakan hukum terhadap operator transportasi dan pemilik kapal harus dilakukan tanpa pandang bulu. Izin operasional mesti dicabut jika ditemukan pelanggaran prosedur keselamatan, sekecil apa pun. Tidak boleh ada kompromi bagi kapal yang nekat berlayar tanpa clearance.
Selain itu, penguatan peran syahbandar sebagai otoritas pelabuhan mutlak dilakukan. Mereka adalah garda terdepan yang menentukan layak atau tidaknya kapal meninggalkan dermaga. Jika terbukti lalai memeriksa kelaikan kapal atau membiarkan prosedur dilanggar, tanggung jawab hukum harus ikut disematkan.
Baca Juga: Pencarian Korban Kecelakaan Kapal di Labuan Bajo, Tim SAR Temukan Life JacketKita tidak bisa terus berlindung di balik kata musibah. Musibah adalah peristiwa di luar kendali manusia setelah seluruh upaya maksimal dilakukan. Namun, jika kapal tenggelam akibat ketidaksiapan alat keselamatan, kelalaian teknis, atau pengawasan yang longgar, itu bukan musibah, melainkan akibat perbuatan manusia.
Jangan biarkan kemegahan alam Indonesia justru menjelma menjadi makam bagi para pelancong. Sudahi mempertaruhkan nyawa manusia demi ego pariwisata yang miskin rasa aman. Tanpa pembenahan radikal, Indonesia hanya menunggu waktu untuk kembali dipermalukan di mata dunia akibat keteledoran yang sama.


/https%3A%2F%2Fcdn-dam.kompas.id%2Fimages%2F2025%2F09%2F16%2Fd8c0ada12ecf222bf2f5cf721b97184a-20250916AGS_1.jpg)