Sebuah foto satelit memperlihatkan peristiwa langka, ketika salah satu tempat paling kering di Bumi justru diguyur badai salju. Fenomena tak biasa itu mengubah lanskap tandus dan berbatu menjadi hamparan salju putih, dan itu sempat memaksa salah satu teleskop radio terkuat di dunia berhenti beroperasi.
Peristiwa tersebut terjadi di Gurun Atacama, wilayah non-kutub seluas sekitar 105 ribu kilometer persegi yang membentang di antara Samudra Pasifik dan Pegunungan Andes di Chile utara. Gurun ini dikenal sebagai gurun non-kutub tertua di dunia, yang telah berada dalam kondisi semi-kering setidaknya selama 150 juta tahun.
Atacama juga menjadi rumah bagi titik paling cerah di Bumi, yakni Dataran Tinggi Altiplano, yang menerima paparan sinar Matahari setara dengan yang ada di planet Venus.
Tak hanya tua dan cerah, Atacama juga dikenal sebagai salah satu tempat terkering di planet ini, sejajar dengan Antarktika dan Sahara. Di beberapa wilayah, curah hujan tahunan bahkan hanya sekitar 0,5 milimeter. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa sebagian area Atacama hampir 400 tahun tanpa hujan sama sekali, dari 1570 hingga 1971.
Namun situasi ekstrem itu berubah pada 25 Juni 2025. NASA Earth Observatory melaporkan sebuah siklon dingin yang bergerak tak terduga dari utara memicu badai salju langka, menutupi lebih dari separuh wilayah gurun dengan lapisan putih.
Foto satelit tersebut memperlihatkan area Dataran Tinggi Chajnantor, yang berada di ketinggian sekitar 5.000 meter di atas permukaan laut. Di kawasan inilah berdiri Atacama Large Millimeter/submillimeter Array (ALMA), jaringan lebih dari 50 antena radio raksasa yang digunakan untuk mengamati alam semesta yang gelap.
Wilayah ini ideal untuk penelitian astronomi karena lokasinya yang terpencil, kering, dan tinggi, sehingga meminimalkan gangguan dan memaksimalkan kualitas data. Namun, ketika salju menutupi area observatorium, ALMA terpaksa masuk ke “mode bertahan hidup”. Antena-antena diposisikan ulang agar tidak tertimbun salju, dan seluruh aktivitas pengamatan pun dihentikan sementara.
Badai ini juga diduga berdampak pada Teleskop Southern Astrophysical Research (SOAR) yang berjarak sekitar 850 kilometer di barat daya ALMA, meski efeknya lebih ringan. Sementara itu, Observatorium Vera C. Rubin yang baru dibangun di Atacama tidak terdampak oleh peristiwa tersebut.
Salju tak bertahan lama. Sebagian besar telah menghilang pada pertengahan Juli 2025. Di beberapa lokasi, intensitas sinar Matahari begitu kuat hingga salju diduga menyublim, berubah langsung dari padat menjadi gas tanpa sempat mencair.
Ini bukan pertama kalinya salju turun di Atacama. Peristiwa serupa pernah tercatat pada 2011, 2013, dan 2021. Selain itu, kawasan ini juga mengalami beberapa hujan lebat dalam beberapa tahun terakhir, fenomena yang berbahaya karena dapat memicu banjir lumpur mematikan. Pada Maret 2015, sedikitnya 31 orang tewas akibat banjir terbesar yang pernah tercatat di Atacama.
Hujan juga bisa memicu fenomena unik lain, yakni mekarnya bunga gurun di luar musim. Tanaman yang biasanya berbunga pada musim semi tiba-tiba bermekaran di musim dingin, menciptakan hamparan warna mencolok di tengah gurun. Hal ini terakhir terjadi pada 2024 setelah hujan tak terduga mengguyur wilayah tersebut.
Kelangkaan hujan di Atacama disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, letaknya berada di bayangan hujan Pegunungan Andes, yang menghalangi awan dari timur. Kedua, arus laut dingin di pesisir Pasifik barat mencegah penguapan air ke atmosfer. Kondisi ini membuat Atacama nyaris tak ramah bagi kehidupan, kecuali bunga gurun yang tangguh dan mikroba ekstrem yang hidup jauh di bawah permukaan.
Namun, meningkatnya kejadian hujan dan salju ekstrem di wilayah ini memunculkan pertanyaan baru. Para ilmuwan menduga perubahan iklim akibat aktivitas manusia bisa membuat presipitasi di Atacama semakin sering terjadi. Jika tren ini berlanjut, bukan tak mungkin suatu hari nanti Atacama tak lagi menyandang predikat sebagai salah satu tempat terkering di Bumi.





