Jakarta - Tahun 2025 menjadi tahun penting dalam sejarah kebijakan ekonomi Indonesia karena menandai awal fase pemerintahan baru sekaligus menjadi batu loncatan menuju visi besar Indonesia Emas 2045.
Pada tahun inilah arah kebijakan ekonomi tidak hanya diuji oleh indikator makro, tetapi juga oleh kemampuannya menjawab kebutuhan paling mendasar rakyat seperti pangan, kesehatan, pendidikan, dan penghidupan yang layak.
Berbeda dengan periode-periode sebelumnya, kebijakan ekonomi 2025 tampil dengan wajah yang lebih berani dan eksplisit menyatakan keberpihakan. Program makan bergizi gratis, sekolah rakyat, cek kesehatan gratis, ketahanan pangan, koperasi desa Merah Putih, hingga pembentukan Danantara sebagai pengelola kekayaan negara, menunjukkan satu pesan penting bahwa negara ingin lebih hadir dalam ekonomi rakyat.
Namun refleksi kebijakan ekonomi tidak berhenti pada niat baik. Sejarah kebijakan publik di Indonesia mengajarkan bahwa tantangan terbesar bukanlah merancang program, melainkan memastikan kebijakan tersebut tepat sasaran, berkelanjutan secara fiskal, dan memberi dampak jangka panjang bagi kesejahteraan.
Refleksi kebijakan ekonomi 2025, karena itu, harus ditempatkan di antara dua kutub yaitu keberpihakan sosial dan kehati-hatian ekonomi. Keduanya tidak boleh dipertentangkan, melainkan dirajut secara cerdas.
Jika dirangkum secara konseptual, kebijakan ekonomi 2025 menunjukkan kecenderungan menguatnya kembali peran negara. Setelah bertahun-tahun ekonomi lebih banyak diserahkan pada mekanisme pasar, kini negara tampil lebih aktif melalui belanja sosial, intervensi pangan, dan pengelolaan aset strategis.
Dalam refleksi ekonomi, kecenderungan ini dapat dibaca sebagai koreksi atas ketimpangan struktural yang selama ini belum terpecahkan. Pasar terbukti efisien dalam menciptakan pertumbuhan, tetapi sering kali gagal memastikan pemerataan. Negara wajib hadir untuk menutup celah itu.
Namun di sinilah ujian kebijakan ekonomi dimulai. Negara yang hadir tanpa tata kelola yang kuat berisiko melahirkan pemborosan anggaran, distorsi pasar, dan moral hazard.
Karena itu, refleksi kebijakan ekonomi 2025 harus terus mengajukan pertanyaan kritis yaitu sejauh mana kehadiran negara benar-benar memperkuat fondasi ekonomi, bukan sekadar memoles legitimasi politik?
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi ikon utama kebijakan ekonomi 2025. Dari sudut pandang ekonomi, program ini sering diperdebatkan sebagian pihak ada yang melihatnya sebagai beban fiskal, sebagian ada pula yang memandangnya sebagai investasi jangka panjang sumber daya manusia.
Dalam refleksi kebijakan ekonomi, MBG seharusnya ditempatkan sebagai investasi modal manusia. Anak-anak yang sehat dan tercukupi gizinya akan tumbuh menjadi tenaga kerja yang lebih produktif di masa depan. Dalam jangka panjang, manfaat ekonominya jauh melampaui biaya anggaran.
Namun manfaat tersebut hanya akan terwujud jika program ini dirancang secara efisien. MBG harus terintegrasi dengan ekosistem ekonomi lokal seperti petani, peternak, nelayan, UMKM pangan, dan koperasi. Tanpa integrasi ini, MBG berisiko menjadi proyek belanja besar yang bocor dan minim efek pengganda.
Refleksi kebijakan ekonomi 2025 menegaskan bahwa MBG bukan sekadar soal memberi makan, tetapi tentang membangun rantai nilai pangan nasional yang adil dan berkelanjutan.
Sekolah Rakyat merupakan kebijakan ekonomi yang sering luput dibaca dari kacamata ekonomi. Padahal, pendidikan adalah instrumen paling efektif untuk memutus rantai kemiskinan antargenerasi.
Dalam refleksi kebijakan ekonomi, Sekolah Rakyat adalah upaya negara mengintervensi ketimpangan kesempatan. Anak dari keluarga miskin tidak boleh terjebak selamanya dalam lingkaran keterbatasan hanya karena akses pendidikan yang timpang.
Namun tantangan kebijakan ini tidak kecil. Sekolah Rakyat harus menjadi sekolah bermutu tinggi, bukan pendidikan murah dengan kualitas rendah. Jika kualitasnya rendah, kebijakan ini justru akan memperkuat segmentasi sosial dalam pendidikan.
Secara ekonomi, investasi pendidikan hanya akan memberikan tingkat pengembalian maksimal jika disertai kualitas. Refleksi kebijakan ekonomi 2025 menuntut agar Sekolah Rakyat dirancang sebagai instrumen mobilitas sosial, bukan sekadar program belas kasihan.
Program Cek Kesehatan Gratis membawa logika ekonomi yang kuat yaitu mencegah lebih murah daripada mengobati. Beban pembiayaan kesehatan nasional akan terus meningkat jika negara hanya fokus pada layanan kuratif.
Dalam refleksi kebijakan ekonomi, cek kesehatan gratis adalah langkah awal menuju sistem kesehatan yang lebih efisien. Deteksi dini penyakit menurunkan biaya pengobatan jangka panjang, meningkatkan produktivitas tenaga kerja, dan mengurangi beban jaminan sosial.
Namun efektivitas kebijakan ini sangat bergantung pada penguatan layanan kesehatan primer dan literasi kesehatan masyarakat. Tanpa tindak lanjut yang memadai, cek kesehatan gratis hanya akan menjadi rutinitas administratif yang mahal.
Ekonomi kesehatan mengajarkan bahwa investasi kesehatan harus holistik. Refleksi kebijakan ekonomi 2025 menekankan pentingnya kesinambungan antara pencegahan, pelayanan, dan pembiayaan yang berkelanjutan.
Ketahanan pangan adalah isu ekonomi klasik yang kembali relevan di 2025. Krisis global, perubahan iklim, dan volatilitas harga pangan menunjukkan bahwa ketergantungan berlebihan pada pasar global adalah risiko serius.
Dalam refleksi kebijakan ekonomi, ketahanan pangan bukan hanya soal swasembada, tetapi tentang stabilitas ekonomi dan sosial. Lonjakan harga pangan selalu berdampak langsung pada inflasi dan kemiskinan.
Kebijakan pangan yang terlalu berorientasi pada impor jangka pendek mungkin menenangkan pasar, tetapi melemahkan produsen domestik. Sebaliknya, proteksi berlebihan tanpa peningkatan produktivitas juga berisiko menciptakan inefisiensi.
Refleksi kebijakan ekonomi 2025 menuntut keseimbangan yaitu melindungi petani, meningkatkan produktivitas, memperbaiki distribusi, dan memastikan harga yang adil bagi konsumen.
Koperasi Desa Merah Putih membawa kembali wacana ekonomi kerakyatan yang lama terpinggirkan oleh dominasi korporasi besar. Dari perspektif kebijakan ekonomi, koperasi adalah instrumen distribusi nilai tambah yang lebih adil.
Namun sejarah koperasi di Indonesia penuh dengan kegagalan akibat salah kelola dan politisasi. Refleksi kebijakan ekonomi 2025 mengingatkan bahwa koperasi tidak bisa hidup dari romantisme ideologis semata.
Koperasi desa harus dikelola secara profesional, transparan, dan adaptif terhadap teknologi. Jika tidak, koperasi hanya akan menjadi beban baru bagi anggaran negara.
Jika berhasil, koperasi desa dapat menjadi simpul penting dalam memperkuat ekonomi lokal, memperluas akses pembiayaan, dan menahan arus urbanisasi berlebihan.
Pembentukan Danantara menandai kesadaran baru bahwa kekayaan negara harus dikelola secara strategis, bukan sekadar administratif. Secara ekonomi, pengelolaan aset negara yang profesional dapat meningkatkan penerimaan negara tanpa menaikkan pajak.
Namun refleksi kebijakan ekonomi menempatkan Danantara dalam wilayah sensitif.
Tanpa tata kelola yang transparan, lembaga ini berisiko menjadi sumber konflik kepentingan dan inefisiensi. Danantara harus tunduk pada prinsip good governance seperti transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan publik.
Jika prinsip ini dijaga, Danantara berpotensi menjadi pilar pembiayaan pembangunan jangka panjang.
Banyak kebijakan ekonomi 2025 dicap sebagai populis. Namun refleksi kebijakan ekonomi mengajarkan bahwa populisme tidak selalu buruk. Kebijakan ekonomi populis menjadi masalah ketika tidak disertai perhitungan fiskal yang matang.
Belanja sosial yang besar tanpa basis penerimaan yang kuat akan menekan APBN. Karena itu, keberlanjutan fiskal harus menjadi bagian integral dari setiap kebijakan prioritas.
Reformasi perpajakan, efisiensi belanja, dan penguatan penerimaan non-pajak menjadi keharusan. Refleksi kebijakan ekonomi 2025 menuntut keberanian pemerintah untuk tidak hanya membelanjakan, tetapi juga membenahi fondasi fiskal.
Refleksi kebijakan ekonomi 2025 membawa kita pada satu kesimpulan penting yaitu Indonesia sedang berada di persimpangan antara keberanian sosial dan kehati-hatian ekonomi. Program-program prioritas pemerintah menunjukkan niat kuat untuk menghadirkan negara dalam ekonomi rakyat.
Namun niat baik harus dikawal dengan tata kelola yang kuat, disiplin fiskal, dan orientasi jangka panjang. Kebijakan ekonomi yang baik bukan yang paling populer, tetapi yang paling berdampak dan berkelanjutan.
Tahun 2025 adalah ujian awal. Apabila berhasil maka akan menjadi fondasi kuat menuju Indonesia Emas 2045. Namun jika gagal, maka akan dikenang sebagai momentum yang terlewatkan. Di sinilah refleksi kebijakan ekonomi menemukan maknanya yaitu menjaga harapan, sambil memastikan arah ekonomi yang tetap berpihak pada rakyat.
M Nur Rianto Al Arif. Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah dan Asisten Utusan Khusus Presiden Bidang Ketahanan Pangan, serta Associate di CSED INDEF.
(rdp/imk)
Pada tahun inilah arah kebijakan ekonomi tidak hanya diuji oleh indikator makro, tetapi juga oleh kemampuannya menjawab kebutuhan paling mendasar rakyat seperti pangan, kesehatan, pendidikan, dan penghidupan yang layak.
Berbeda dengan periode-periode sebelumnya, kebijakan ekonomi 2025 tampil dengan wajah yang lebih berani dan eksplisit menyatakan keberpihakan. Program makan bergizi gratis, sekolah rakyat, cek kesehatan gratis, ketahanan pangan, koperasi desa Merah Putih, hingga pembentukan Danantara sebagai pengelola kekayaan negara, menunjukkan satu pesan penting bahwa negara ingin lebih hadir dalam ekonomi rakyat.
Namun refleksi kebijakan ekonomi tidak berhenti pada niat baik. Sejarah kebijakan publik di Indonesia mengajarkan bahwa tantangan terbesar bukanlah merancang program, melainkan memastikan kebijakan tersebut tepat sasaran, berkelanjutan secara fiskal, dan memberi dampak jangka panjang bagi kesejahteraan.
Refleksi kebijakan ekonomi 2025, karena itu, harus ditempatkan di antara dua kutub yaitu keberpihakan sosial dan kehati-hatian ekonomi. Keduanya tidak boleh dipertentangkan, melainkan dirajut secara cerdas.
Jika dirangkum secara konseptual, kebijakan ekonomi 2025 menunjukkan kecenderungan menguatnya kembali peran negara. Setelah bertahun-tahun ekonomi lebih banyak diserahkan pada mekanisme pasar, kini negara tampil lebih aktif melalui belanja sosial, intervensi pangan, dan pengelolaan aset strategis.
Dalam refleksi ekonomi, kecenderungan ini dapat dibaca sebagai koreksi atas ketimpangan struktural yang selama ini belum terpecahkan. Pasar terbukti efisien dalam menciptakan pertumbuhan, tetapi sering kali gagal memastikan pemerataan. Negara wajib hadir untuk menutup celah itu.
Namun di sinilah ujian kebijakan ekonomi dimulai. Negara yang hadir tanpa tata kelola yang kuat berisiko melahirkan pemborosan anggaran, distorsi pasar, dan moral hazard.
Karena itu, refleksi kebijakan ekonomi 2025 harus terus mengajukan pertanyaan kritis yaitu sejauh mana kehadiran negara benar-benar memperkuat fondasi ekonomi, bukan sekadar memoles legitimasi politik?
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi ikon utama kebijakan ekonomi 2025. Dari sudut pandang ekonomi, program ini sering diperdebatkan sebagian pihak ada yang melihatnya sebagai beban fiskal, sebagian ada pula yang memandangnya sebagai investasi jangka panjang sumber daya manusia.
Dalam refleksi kebijakan ekonomi, MBG seharusnya ditempatkan sebagai investasi modal manusia. Anak-anak yang sehat dan tercukupi gizinya akan tumbuh menjadi tenaga kerja yang lebih produktif di masa depan. Dalam jangka panjang, manfaat ekonominya jauh melampaui biaya anggaran.
Namun manfaat tersebut hanya akan terwujud jika program ini dirancang secara efisien. MBG harus terintegrasi dengan ekosistem ekonomi lokal seperti petani, peternak, nelayan, UMKM pangan, dan koperasi. Tanpa integrasi ini, MBG berisiko menjadi proyek belanja besar yang bocor dan minim efek pengganda.
Refleksi kebijakan ekonomi 2025 menegaskan bahwa MBG bukan sekadar soal memberi makan, tetapi tentang membangun rantai nilai pangan nasional yang adil dan berkelanjutan.
Sekolah Rakyat merupakan kebijakan ekonomi yang sering luput dibaca dari kacamata ekonomi. Padahal, pendidikan adalah instrumen paling efektif untuk memutus rantai kemiskinan antargenerasi.
Dalam refleksi kebijakan ekonomi, Sekolah Rakyat adalah upaya negara mengintervensi ketimpangan kesempatan. Anak dari keluarga miskin tidak boleh terjebak selamanya dalam lingkaran keterbatasan hanya karena akses pendidikan yang timpang.
Namun tantangan kebijakan ini tidak kecil. Sekolah Rakyat harus menjadi sekolah bermutu tinggi, bukan pendidikan murah dengan kualitas rendah. Jika kualitasnya rendah, kebijakan ini justru akan memperkuat segmentasi sosial dalam pendidikan.
Secara ekonomi, investasi pendidikan hanya akan memberikan tingkat pengembalian maksimal jika disertai kualitas. Refleksi kebijakan ekonomi 2025 menuntut agar Sekolah Rakyat dirancang sebagai instrumen mobilitas sosial, bukan sekadar program belas kasihan.
Program Cek Kesehatan Gratis membawa logika ekonomi yang kuat yaitu mencegah lebih murah daripada mengobati. Beban pembiayaan kesehatan nasional akan terus meningkat jika negara hanya fokus pada layanan kuratif.
Dalam refleksi kebijakan ekonomi, cek kesehatan gratis adalah langkah awal menuju sistem kesehatan yang lebih efisien. Deteksi dini penyakit menurunkan biaya pengobatan jangka panjang, meningkatkan produktivitas tenaga kerja, dan mengurangi beban jaminan sosial.
Namun efektivitas kebijakan ini sangat bergantung pada penguatan layanan kesehatan primer dan literasi kesehatan masyarakat. Tanpa tindak lanjut yang memadai, cek kesehatan gratis hanya akan menjadi rutinitas administratif yang mahal.
Ekonomi kesehatan mengajarkan bahwa investasi kesehatan harus holistik. Refleksi kebijakan ekonomi 2025 menekankan pentingnya kesinambungan antara pencegahan, pelayanan, dan pembiayaan yang berkelanjutan.
Ketahanan pangan adalah isu ekonomi klasik yang kembali relevan di 2025. Krisis global, perubahan iklim, dan volatilitas harga pangan menunjukkan bahwa ketergantungan berlebihan pada pasar global adalah risiko serius.
Dalam refleksi kebijakan ekonomi, ketahanan pangan bukan hanya soal swasembada, tetapi tentang stabilitas ekonomi dan sosial. Lonjakan harga pangan selalu berdampak langsung pada inflasi dan kemiskinan.
Kebijakan pangan yang terlalu berorientasi pada impor jangka pendek mungkin menenangkan pasar, tetapi melemahkan produsen domestik. Sebaliknya, proteksi berlebihan tanpa peningkatan produktivitas juga berisiko menciptakan inefisiensi.
Refleksi kebijakan ekonomi 2025 menuntut keseimbangan yaitu melindungi petani, meningkatkan produktivitas, memperbaiki distribusi, dan memastikan harga yang adil bagi konsumen.
Koperasi Desa Merah Putih membawa kembali wacana ekonomi kerakyatan yang lama terpinggirkan oleh dominasi korporasi besar. Dari perspektif kebijakan ekonomi, koperasi adalah instrumen distribusi nilai tambah yang lebih adil.
Namun sejarah koperasi di Indonesia penuh dengan kegagalan akibat salah kelola dan politisasi. Refleksi kebijakan ekonomi 2025 mengingatkan bahwa koperasi tidak bisa hidup dari romantisme ideologis semata.
Koperasi desa harus dikelola secara profesional, transparan, dan adaptif terhadap teknologi. Jika tidak, koperasi hanya akan menjadi beban baru bagi anggaran negara.
Jika berhasil, koperasi desa dapat menjadi simpul penting dalam memperkuat ekonomi lokal, memperluas akses pembiayaan, dan menahan arus urbanisasi berlebihan.
Pembentukan Danantara menandai kesadaran baru bahwa kekayaan negara harus dikelola secara strategis, bukan sekadar administratif. Secara ekonomi, pengelolaan aset negara yang profesional dapat meningkatkan penerimaan negara tanpa menaikkan pajak.
Namun refleksi kebijakan ekonomi menempatkan Danantara dalam wilayah sensitif.
Tanpa tata kelola yang transparan, lembaga ini berisiko menjadi sumber konflik kepentingan dan inefisiensi. Danantara harus tunduk pada prinsip good governance seperti transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan publik.
Jika prinsip ini dijaga, Danantara berpotensi menjadi pilar pembiayaan pembangunan jangka panjang.
Banyak kebijakan ekonomi 2025 dicap sebagai populis. Namun refleksi kebijakan ekonomi mengajarkan bahwa populisme tidak selalu buruk. Kebijakan ekonomi populis menjadi masalah ketika tidak disertai perhitungan fiskal yang matang.
Belanja sosial yang besar tanpa basis penerimaan yang kuat akan menekan APBN. Karena itu, keberlanjutan fiskal harus menjadi bagian integral dari setiap kebijakan prioritas.
Reformasi perpajakan, efisiensi belanja, dan penguatan penerimaan non-pajak menjadi keharusan. Refleksi kebijakan ekonomi 2025 menuntut keberanian pemerintah untuk tidak hanya membelanjakan, tetapi juga membenahi fondasi fiskal.
Refleksi kebijakan ekonomi 2025 membawa kita pada satu kesimpulan penting yaitu Indonesia sedang berada di persimpangan antara keberanian sosial dan kehati-hatian ekonomi. Program-program prioritas pemerintah menunjukkan niat kuat untuk menghadirkan negara dalam ekonomi rakyat.
Namun niat baik harus dikawal dengan tata kelola yang kuat, disiplin fiskal, dan orientasi jangka panjang. Kebijakan ekonomi yang baik bukan yang paling populer, tetapi yang paling berdampak dan berkelanjutan.
Tahun 2025 adalah ujian awal. Apabila berhasil maka akan menjadi fondasi kuat menuju Indonesia Emas 2045. Namun jika gagal, maka akan dikenang sebagai momentum yang terlewatkan. Di sinilah refleksi kebijakan ekonomi menemukan maknanya yaitu menjaga harapan, sambil memastikan arah ekonomi yang tetap berpihak pada rakyat.
M Nur Rianto Al Arif. Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah dan Asisten Utusan Khusus Presiden Bidang Ketahanan Pangan, serta Associate di CSED INDEF.
(rdp/imk)




