Ada tradisi yang tak pernah absen dalam siklus fiskal Indonesia: pada bulan Desember, Presiden menyerahkan DIPA kepada kementerian/lembaga. Kamera menyala, protokol bergerak, tajuk berita terbit, dan negara menyampaikan pesan simbolik bahwa APBN siap dieksekusi.
Namun tahun 2026 memilih jalan berbeda. Tidak ada panggung Desember. Tidak ada momen serah-terima. Tidak ada folder dokumen yang berpindah tangan di hadapan publik. Yang ada hanya sistem yang otomatis menampilkan alokasi anggaran ke aplikasi SAKTI, tepat di akun setiap satuan kerja. Tanpa seremonial, anggaran 2026 sudah hidup bahkan sebelum tahun berjalan.
Ini bukan sekadar perubahan format acara. Ini adalah perubahan cara negara memaknai anggaran. Dulu, APBN dimulai ketika dokumen diserahkan. Kini, APBN dimulai ketika dokumen bisa diakses. Bukan siapa yang memberi, melainkan siapa yang siap mengeksekusi. Penanda awal tahun anggaran bergeser dari panggung ke layar, dari simbol ke fungsi dan dari seremoni ke operasional.
DIPA alias Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran sendiri tetaplah dokumen yang menentukan. Ia memuat target kinerja, rincian belanja, rencana penarikan dana, proyeksi penerimaan, dan catatan strategis sebagai dasar legal bagi satker menjalankan APBN.
Namun, digitalisasi membuatnya berhenti menjadi artefak administratif dan berubah menjadi mandat yang langsung aktif. Mandat yang baik bukan yang dramatis saat diberikan, melainkan yang cepat bekerja saat diakses.
Urgensi percepatan penyerapan APBN dan APBD bukanlah isu baru. Ia sudah berulang kali menjadi penekanan Menteri Keuangan: belanja pemerintah harus menjadi daya ungkit ekonomi, terutama ketika momentum pertumbuhan butuh injeksi yang tepat waktu.
Sayangnya, selama bertahun-tahun, ada pola yang sama: belanja dirayakan di Desember, tetapi baru benar-benar bergerak ketika kuartal pertama hampir lewat. Akibatnya, manfaat ekonomi yang seharusnya terasa sejak Januari justru sering tertunda, sementara energi birokrasi terkuras oleh rutinitas tutup buku di penghujung tahun. Anggaran bukan terlambat dimulai, melainkan terlambat dibelanjakan.
Kementerian Keuangan sesungguhnya telah menyiapkan banyak instrumen agar belanja tidak kehilangan ritme. Salah satunya adalah kontrak pra-DIPA atau tender dini—proses seleksi penyedia barang/jasa yang dilakukan sebelum anggaran tahun berikutnya efektif berjalan.
Tujuannya jelas: memastikan kontrak dapat ditandatangani sejak awal Januari, memberi waktu pelaksanaan proyek yang cukup, dan mencegah penumpukan realisasi belanja di akhir tahun. Ini strategi yang logis. Karena waktu pelaksanaan proyek tidak boleh lebih pendek dari waktu perencanaannya.
Berbagai penelitian PBJ di satker juga menunjukkan korelasi yang konsisten: kecepatan pengadaan barang/jasa berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan anggaran, khususnya belanja modal. Temuannya sederhana, tetapi fundamental: semakin cepat proses PBJ dimulai, semakin cepat anggaran terserap, dan semakin cepat pula manfaat pembangunan dirasakan publik.
Pengadaan bukan gerbang administrasi—ia adalah gerbang manfaat. Namun selama budaya pengadaan masih bertempo akhir tahun dan bukan awal tahun, korelasi itu hanya akan menjadi statistik yang dikutip, bukan kenyataan yang dirasakan.
Masalah terbesar dalam penyerapan anggaran bukan terletak pada sistem, melainkan pada kebiasaan kerja yang telah lama membentuk ritmenya sendiri. Setiap November-Desember, pengelola keuangan satker tenggelam dalam konsentrasi administrasi tutup tahun. Sementara itu, pengadaan untuk tahun berikutnya juga dituntut mulai.
Dua pekerjaan besar bertabrakan di waktu yang sama, dalam ruang persiapan yang sempit. Akibatnya, tender dini sering menjadi gagasan baik yang kalah oleh beban kerja rutin. Birokrasi tidak kekurangan ide baik, ia hanya kekurangan ruang untuk menjalankannya tanpa saling meniadakan.
Maka, APBN 2026—yang sudah otomatis diakses tanpa seremoni—seharusnya menjadi momentum untuk memutus paradoks tahunan ini. Namun, momentum tidak akan terjadi hanya karena sistem berubah. Ia hanya terjadi jika pola kerja juga bergeser. Teknologi menyiapkan kecepatan; manusialah yang menentukan apakah kecepatan itu dipakai.
Ada empat langkah rasional yang perlu didorong agar 2026 bukan hanya menjadi tahun pertama tanpa panggung, melainkan juga tahun pertama tanpa alasan penundaan realisasi.
Pertama, komitmen pimpinan K/L di pusat dan pimpinan satker di daerah harus lebih dari sekadar dorongan moral. Ia harus menjadi instruksi operasional. Tender dini bukan opsi manajerial, melainkan keputusan kepemimpinan.
Arahan percepatan harus lahir dari level pusat hingga level daerah, dan dikawal oleh monitoring daring yang real-time sampai ke meja menteri. Karena perubahan budaya dimulai dari arah kompas komando, bukan dari gema imbauan.
Untuk proyek yang membutuhkan petunjuk teknis, kementerian teknis harus memastikan juknis terbit lebih cepat dari alasan “juknis belum ada”. Tidak ada alasan yang lebih mahal dari alasan yang sama setiap tahun. Jika sistem anggaran sudah otomatis, sistem pengawasan dan panduan teknis juga harus otomatis dalam ritme kerjanya: lebih awal, lebih cepat, lebih pasti.
Kedua, target jumlah kontrak dari tender dini perlu dipertimbangkan menjadi Key Performance Indicator (KPI) bagi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), bukan hanya komponen penilaian Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran (IKPA).
Dengan PPK kini menjadi jabatan fungsional, keberhasilan tender dini bisa menjadi reward angka kredit. Sebaliknya, kegagalan mencapai target harus memiliki konsekuensi. Karena kinerja fiskal bukan diukur saat dana tersedia, melainkan saat manfaat tiba.
Ketiga, perlu gerakan bersama untuk menghindari tabrakan antara administrasi akhir tahun dan persiapan pengadaan tahun berikutnya. Ini bukan soal efisiensi, melainkan soal keberanian menata ulang ritme. Negara boleh punya kalender anggaran; birokrasi tidak boleh punya musim kepanikan.
Keempat, Kanwil DJPb dan KPPN sebagai financial advisor dan Regional Chief Economist (RCE) perlu menjalankan peran pengawalan belanja lebih awal dengan kombinasi pendekatan persuasif dan monitoring berbasis data. Mereka bukan sekadar kanal pencairan, melainkan juga pengingat ritme pembangunan di daerah. Karena anggaran yang cepat mengalir harus dikawal oleh birokrasi yang cepat bergerak.
Pada akhirnya, APBN 2026 memberi pesan sederhana yang sulit dibantah: anggaran sudah siap sejak awal Januari, bahkan tanpa panggung Desember.
Yang masih harus dibuktikan hanya satu hal—bukan kesiapan sistemnya, melainkan kesiapan kita berhenti menunda. Sebab APBN yang modern bukan yang dimulai tanpa seremoni, melainkan yang dijalankan tanpa eskalasi alasan.
2026 bukan ujian teknologi. Ia adalah ujian disiplin eksekusi.





