Kenapa Kita Lebih Berani Jujur di Kolom Komentar daripada di Dunia Nyata?

kumparan.com
2 jam lalu
Cover Berita

Di era digital, kejujuran sering kali menemukan rumahnya di kolom komentar. Banyak orang dengan lantang menyampaikan pendapat, kritik, bahkan curahan emosi melalui media sosial, tetapi justru terdiam ketika harus berbicara langsung di dunia nyata. Fenomena ini semakin sering kita temui: seseorang bisa sangat vokal di ruang digital, namun menjadi pasif saat dihadapkan pada percakapan tatap muka. Pertanyaannya, mengapa kejujuran terasa lebih mudah ditumpahkan di balik layar?

Salah satu alasan utama adalah anonimitas dan jarak emosional. Media sosial, meskipun menggunakan identitas asli, tetap menciptakan jarak psikologis antara penulis dan pembaca. Layar ponsel menjadi perisai yang melindungi dari reaksi spontan seperti ekspresi wajah, nada suara, atau emosi lawan bicara. Tanpa tekanan tatapan langsung, seseorang merasa lebih aman untuk berkata jujur, bahkan berani mengungkapkan hal yang selama ini dipendam.

Selain itu, ada faktor ketakutan akan konflik sosial. Di dunia nyata, kejujuran sering kali berisiko menimbulkan ketegangan, salah paham, atau bahkan merusak hubungan. Banyak orang memilih diam demi menjaga keharmonisan, meskipun harus mengorbankan perasaan sendiri. Sebaliknya, di kolom komentar, konflik terasa “lebih ringan” karena tidak harus dihadapi secara langsung. Jika situasi memanas, selalu ada opsi untuk berhenti membalas, menghapus komentar, atau sekadar menghilang dari percakapan.

Media sosial juga memberi ruang untuk menyusun kata dengan lebih terkontrol. Berbeda dengan percakapan langsung yang menuntut respons cepat, kolom komentar memungkinkan seseorang berpikir, mengedit, dan merangkai kalimat sebelum dipublikasikan. Proses ini memberi rasa percaya diri, terutama bagi mereka yang merasa kurang pandai berbicara atau takut salah ucap. Kejujuran yang mungkin sulit disampaikan secara lisan akhirnya menemukan jalannya lewat tulisan.Namun, kejujuran di kolom komentar tidak selalu mencerminkan keberanian yang utuh.

Ada kalanya, kejujuran tersebut berubah menjadi keberanian semu. Tanpa tanggung jawab langsung, sebagian orang melontarkan opini dengan nada kasar, sarkastik, atau menyudutkan pihak lain. Kejujuran yang seharusnya membangun justru menjadi alat pelampiasan emosi. Di titik ini, kolom komentar bukan lagi ruang dialog, melainkan arena pelampiasan.

Fenomena ini juga berkaitan dengan budaya validasi digital. Banyak orang merasa pendapatnya lebih dihargai ketika mendapat likes, balasan, atau dukungan dari warganet. Respons positif tersebut memberi kepuasan emosional yang jarang didapatkan di dunia nyata, di mana kejujuran belum tentu disambut baik. Akibatnya, seseorang lebih memilih jujur di ruang yang memberi pengakuan instan, meskipun pengakuan itu datang dari orang-orang yang bahkan tidak dikenal.

Di sisi lain, dunia nyata menuntut keberanian yang berbeda. Kejujuran secara langsung membutuhkan empati, kontrol emosi, dan kesiapan menerima konsekuensi. Tidak semua orang siap menghadapi reaksi spontan atau kemungkinan penolakan. Maka, diam sering dianggap sebagai pilihan paling aman. Sayangnya, kebiasaan ini bisa membuat komunikasi menjadi dangkal dan hubungan antarmanusia kehilangan kedalaman.

Jika dibiarkan, ketimpangan antara kejujuran digital dan kejujuran nyata dapat berdampak serius. Kita bisa tumbuh menjadi pribadi yang vokal di dunia maya, tetapi pasif dalam kehidupan sosial. Padahal, perubahan nyata baik dalam hubungan personal, lingkungan kerja, maupun masyarakat lebih sering lahir dari percakapan langsung yang jujur dan bertanggung jawab.

Bukan berarti kolom komentar sepenuhnya salah. Ruang digital tetap memiliki peran penting sebagai tempat berekspresi dan berbagi pandangan. Namun, kejujuran idealnya tidak berhenti di layar. Ia perlu dibawa ke dunia nyata dengan cara yang lebih bijak dan empatik. Kejujuran bukan soal seberapa keras kita berbicara, melainkan seberapa bertanggung jawab kita terhadap apa yang kita sampaikan.

Pada akhirnya, tantangan kita hari ini adalah menyeimbangkan keberanian digital dengan keberanian sosial. Belajar jujur secara langsung, meski terasa tidak nyaman, adalah langkah penting untuk membangun komunikasi yang sehat. Sebab, kejujuran sejati bukan yang paling ramai di kolom komentar, melainkan yang mampu memperbaiki hubungan dan menciptakan pemahaman di dunia nyata.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Resmi Terdaftar di Polda Metro Jaya, Ini Nomor Laporan Polisi Kasus Anrez Adelio
• 8 jam lalugrid.id
thumb
Lapor Ke Polisi, Kronologi DJ Donny Diteror Bangkai Ayam dan Bom Molotov
• 5 jam lalukatadata.co.id
thumb
Jadwal Layanan SIM Keliling di Jakarta dan Sekitarnya Hari Ini 31 Desember 2025, Buka sampai Jam 12.00 WIB!
• 18 jam laludisway.id
thumb
Sejarah & makna "New Year’s Eve", malam terakhir sebelum Tahun Baru
• 8 jam laluantaranews.com
thumb
Densus 88 Ungkap Penyebaran Paham Neo Nazi Lewat Game Online
• 14 jam laluidntimes.com
Berhasil disimpan.