Perfilman Indonesia: antara Pertumbuhan, Tekanan Pasar, dan Teknologi Baru

kumparan.com • 15 jam yang lalu
Cover Berita

Beberapa tahun terakhir, perfilman Indonesia menunjukkan geliat yang patut diapresiasi. Jumlah produksi meningkat, sineas muda tampil dengan keberanian baru, dan masyarakat menunjukkan antusiasme yang tidak kecil terhadap film nasional. Kehadiran festival di berbagai kota, berdirinya sekolah film baru, hingga maraknya diskusi di ruang digital menunjukkan bahwa film bukan lagi produk hiburan semata, tetapi bagian dari percakapan budaya yang lebih luas.

Namun di balik perkembangan itu, persoalan pemerataan masih terasa kuat. Ekosistem film kita masih bertumpu pada Jakarta—baik dari segi produksi, sumber daya, maupun jaringan distribusi. Sineas dari daerah lain, meski membawa kekayaan perspektif lokal, tetap menghadapi jalan yang lebih terjal. Akses terhadap pendanaan, laboratorium pascaproduksi, dan ruang publikasi nasional masih sangat terbatas.

Pertumbuhan jumlah layar bioskop pun belum menjangkau seluruh wilayah Indonesia secara merata. Kota besar memiliki banyak pilihan, sementara kota kecil dan daerah timur masih kekurangan fasilitas. Keadaan ini membuat banyak film alternatif, film daerah, maupun film berbiaya kecil tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk bertemu penontonnya. Pertumbuhan terjadi, tetapi belum sepenuhnya merata—sebuah tantangan yang perlu mendapatkan perhatian serius jika kita ingin sinema mencerminkan keragaman budaya Indonesia.

Tekanan Pasar, Dinamika Penonton, dan Kehadiran AI

Industri film pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari logika pasar. Dalam beberapa tahun terakhir, genre horor tampil sebagai penggerak utama box office nasional. Keberhasilan ini tentu menggembirakan, tetapi dominasi satu genre dalam jangka panjang dapat membuat variasi cerita menyempit. Produser semakin berhitung, dan keberanian untuk mengambil risiko artistik sering kali terhambat oleh pertimbangan ekonomi.

Sementara itu, dinamika penonton juga mengalami perubahan. Media sosial mempercepat cara publik membicarakan film, tetapi sekaligus menciptakan budaya penilaian instan. Sebagian penonton menginginkan pengalaman menonton yang serba cepat, serba jelas, dan serba langsung. Ketika sebuah film hadir dengan pendekatan yang lebih tenang, simbolik, atau kontemplatif, ia kerap dinilai “kurang menghibur”. Literasi film memang meningkat, tetapi belum merata. Tantangan kita adalah menumbuhkan apresiasi terhadap keberagaman cara bercerita.

Di tengah dinamika itu, hadir gelombang teknologi baru—khususnya kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI)—yang membawa peluang sekaligus kegelisahan. AI mempermudah beragam proses: penyusunan storyboard, penyempurnaan naskah, hingga efek visual yang sebelumnya membutuhkan biaya besar. Namun teknologi ini juga menimbulkan pertanyaan etis dan profesi baru: apakah peran kreator muda akan tergeser? Bagaimana memastikan penggunaan AI tetap menghargai karya asli dan tidak memanipulasi identitas aktor? AI membuka pintu efisiensi, namun juga mengingatkan kita bahwa kreativitas manusia tetap memiliki ruang yang tidak bisa sepenuhnya digantikan.

Pada titik ini, industri film Indonesia memerlukan sikap yang cermat—menerima inovasi tanpa melepaskan nilai artistik dan etika. Tantangan terbesar bukanlah kehadiran teknologi itu sendiri, melainkan bagaimana manusia mengelolanya.

Fondasi Industri

Di balik setiap film yang kita tonton, ada pekerja film yang bekerja dalam kondisi yang tidak selalu terlihat publik. Banyak dari mereka menjalani jam kerja panjang, dengan kontrak yang terkadang abu-abu, serta standar keselamatan yang belum seragam. Ketika industri semakin menuntut efisiensi—termasuk melalui penggunaan teknologi—posisi pekerja film menjadi semakin rentan.

Persoalan lain hadir dari arena digital. Platform streaming membuka akses baru bagi film-film kecil dan dokumenter, tetapi pada saat yang sama, persaingan dengan konten global semakin ketat. Algoritma platform tidak selalu berpihak pada karya lokal, sementara pembajakan digital tetap menjadi ancaman yang sulit dikendalikan. Untuk menghadapi tantangan ini, diperlukan strategi jangka panjang yang melibatkan pemerintah, pelaku industri, ekosistem pendidikan, dan masyarakat umum.

Kebijakan perfilman nasional perlu memperkuat fondasi industri: memastikan kesejahteraan pekerja, mendorong pemerataan produksi daerah, memberikan insentif bagi film non-komersial, serta menyiapkan panduan etika penggunaan AI. Indonesia membutuhkan beleid yang tidak hanya bersifat reaktif, tetapi visioner, agar film tidak sekadar menjadi komoditas ekonomi, melainkan kekuatan budaya yang berkelanjutan.

Penutup

Perfilman Indonesia saat ini berada di persimpangan penting. Potensi yang besar sudah terlihat, tetapi tantangannya pun tak sedikit. Ketimpangan ekosistem, tekanan pasar, perubahan selera penonton, kehadiran AI, hingga rapuhnya perlindungan bagi pekerja film menunjukkan bahwa perjalanan industri ini masih panjang.

Namun dengan fondasi yang diperkuat, kebijakan yang berpihak, dan keberanian menjaga nilai artistik di tengah derasnya teknologi, sinema Indonesia dapat melangkah sebagai kekuatan budaya yang bukan hanya tumbuh, tetapi juga dewasa. Dan pada titik itu, film Indonesia tidak hanya menghibur, melainkan juga mencerminkan wajah bangsa yang terus bergerak maju.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Baca juga:

thumb
thumb
thumb
thumb
thumb
Berhasil disimpan.