Ira Puspadewi mendapat rehabilitasi dari Presiden Prabowo Subianto. Harkat martabatnya dipulihkan usai disebut korupsi di PT ASDP Indonesia Ferry (Persero).
Eks Dirut ASDP itu bebas dari tahanan KPK usai mendapatkan rehabilitasi itu. Seperti apa perjalanan kasusnya?
Jadi Tersangka dan DitahanPada Februari 2025, Ira diumumkan sebagai tersangka dan ditahan oleh KPK. Dia ditahan bersama dengan dua eks direksi ASDP Harry Muhammad Adhi Caksono dan Muhammad Yusuf Hadi. Ketiganya dijerat tersangka bersama Adjie selaku pemilik PT Jembatan Nusantara (JN).
Pada saat itu, KPK menyebut akuisisi PT JN oleh ASDP menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 893.160.000.000.
Sanggahan Ira PuspadewiDalam sidang pleidoi, Ira melakukan perlawanan atas seluruh dakwaan dan tuntutan jaksa. Dia yakin betul tidak bersalah. Terlebih dia tidak menerima keuntungan dari akuisisi yang dilakukan PT ASDP yang dipimpinnya.
Adapun jaksa menuntut Ira dengan hukuman pidana 8,5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 4 bulan kurungan.
Tak Mungkin Bertindak Bodoh
Ira menegaskan tidak mungkin bertindak bodoh, menghancurkan dirinya dengan melanggar hukum. Terlebih akuisisi disebut dilakukan untuk menguntungkan pihak lain, tanpa menguntungkan dirinya sendiri.
"Perusahaan feri yang memiliki 53 kapal komersial berpendapatan Rp 600-an miliar setahun hanya dihargai kurang dari Rp 19 miliar dan lalu dianggap merugikan negara Rp 1,253 triliun," ujar Ira membacakan pleidoi 6 November 2025 lalu.
"Apakah mungkin saya mau bersekongkol dengan orang-orang untuk menghancurkan diri saya sendiri dengan melanggar hukum demi memperkaya Adjie tanpa mengambil keuntungan pribadi apa pun?" jelas dia.
Sebut Kerugian Negara Hanya Framing
Dalam pleidoi yang sama, Ira menyebut korupsi dan kerugian negara yang dituduhkan kepadanya hanya framing. Dia mengaku difitnah membeli kapal-kapal tua milik PT JN dengan harga kemahalan.
"Kami bertiga difitnah seolah-olah membeli kapal-kapal tua dengan harga kemahalan. Padahal, yang dibeli bukan kapal, namun 100 persen saham perusahaan yang memiliki going concern atau sedang beroperasi," ujar Ira.
Ira menyinggung penyelidikan KPK dalam kasus itu telah berjalan selama sekitar 1,5 tahun. Namun, lanjut dia, tidak pernah ada bukti yang menunjukkan dirinya terlibat korupsi.
Ia menyebut, aksi korporasi berupa akuisisi PT JN oleh ASDP itu telah dituding merugikan negara sekitar Rp 893 miliar atau 70% dari nilai akuisisi. Nilai kerugian negara itu kemudian makin membengkak hingga mencapai lebih dari Rp 1 triliun.
"Seolah-olah corporate action berupa akuisisi yang kami lakukan telah mengakibatkan kerugian keuangan negara saat itu sebesar Rp 893 miliar atau 70% dari nilai akuisisi," tuturnya.
Ira menyebut angka kerugian negara dalam kasus yang menjeratnya tidak masuk akal. Padahal, akuisisi tersebut perlu dilakukan untuk menambah unit komersial yang mampu menopang keberlangsungan layanan perusahaan di daerah 3T.
"Tetapi framing sudah dilakukan. Kerugian keuangan negara pun direka-reka hingga lahir angka sangat besar yaitu Rp 1,253 triliun," ujarnya.
"Seolah-olah akuisisi ini rugi 98,5% dan kemahalan 6.600%, angka yang sangat fantastis dan sulit diterima akal," kata dia.
Profesional yang Dikriminalisasi
Di Pleidoi, Ira mengaku sebagai profesional yang dikriminalisasi. Ira pun menyinggung profesionalitas sebagai kunci kemajuan bangsa. Termasuk bekerja secara efektif dan efisien dengan menjunjung kebenaran dan keadilan.
"Kerja yang efektif dan efisien itulah kunci profesional, yaitu saat kita menjunjung kebenaran atau the truth dan keadilan atau fairness dengan mengedepankan hati nurani serta nalar atau akal sehat," tutur dia.
Namun, Ira menyayangkan bahwa hati nurani dan akal sehat justru sudah mati bagi sebagian orang. Ia pun menyinggung kriminalisasi yang dialami sejumlah profesional yang tidak memiliki relasi politik yang kuat.
"Tapi, hati nurani, akal sehat, kebenaran serta keadilan nampaknya sudah mati dalam sebagian orang. Demi kepentingan pribadi untuk berprestasi dan lainnya, mereka tega mengkriminalisasi siapa pun," ucap Ira.
"Profesional dengan karya besar tidak punya relasi politik kuat sebagai pelindung akan menjadi sasaran mudah untuk dibidik. Jauh dari prinsip agung in dubio pro reo (ketika ragu, putusan untuk terdakwa), nurani ciptaan Tuhan pun mereka tidak peduli," paparnya.
Menurut Ira, praktik hukum seperti itu justru berpotensi menghambat kemajuan suatu bangsa, mulai dari iklim investasi yang tidak sehat hingga inovasi bagi bangsa yang dapat terhenti.
Kemudian, Ira menyebut para profesional di Indonesia mesti didorong untuk menghasilkan karya dan terobosan yang bermanfaat alih-alih dikriminalisasi melalui instrumen hukum.
"Para profesional yang benar perlu dilindungi dan didorong agar membuat terobosan-terobosan lagi. Hanya dengan cara itulah bangsa kita bisa maju melangkah untuk berkompetisi dan berkolaborasi dengan sehat dengan bangsa lain di dunia," ucap dia.
Akuisisi Menguntungkan
Dalam nota pembelaannya, Ira membeberkan sejatinya proses akuisisi PT JN oleh PT ASDP yakni meningkatkan market share dari 23 persen menjadi 33,7 persen.
"Kami menunjukkan bahwa akuisisi ini dampaknya ini, tujuan pertama adalah meningkatkan market share yang tadinya 23 persen menjadi 33,7 persen," ujar Ira.
Selain itu, terjadi peningkatan pendapatan per kapal setiap tahunnya. Dari yang sebelumnya hanya mengantongi sekitar Rp 7,41 miliar per tahun menjadi Rp 12 miliar per tahun.
"Kapal-kapal, tadinya pendapatannya adalah Rp 7,41 miliar per tahun, pada tahun-tahun ini menjadi 12, di atas Rp 12 miliar per tahun per kapal," papar Ira.
Kemudian, porsi pendapatan rute komersial terhadap perintis juga makin meningkat. Sebelum akuisisi, kata Ira, pendapatan jalur komersial hanya sekitar 70 persen dan pendapatan jalur perintis sebesar 30 persen.
Namun, setelah akuisisi, pendapatan rute komersial pun meningkat menjadi 83 persen, dengan sisanya merupakan pendapatan jalur perintis.
"Dengan demikian, sektor komersial ini dapat membantu keberlangsungan layanan di perintis yang merepotkan ASDP 70% dari seluruh kegiatan operasionalnya," terangnya.
Lalu, Ira menjelaskan bahwa proses akuisisi itu turut meningkatkan pendapatan PT JN menjadi Rp 600 miliar per tahun.
"Pendapatan Jembatan Nusantara Rp 600 miliar per tahun, kemudian utangnya juga sudah bisa dibayar dan makin turun," ujar dia.
Tak hanya itu, realisasi pendapatan PT JN juga lebih besar dibandingkan dengan pendapatan yang diperkirakan menurut kajian. Dengan begitu, Ira menyebut bahwa proses akuisisi itu turut menjaga keberlangsungan layanan di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal).
"Artinya apa, Yang Mulia, mohon izin dengan kerendahan hati, kami sampaikan ini adalah perusahaan yang punya masa depan, ini perusahaan yang jika dikelola dengan baik akan menopang keberlangsungan pelayanan di daerah 3T," kata Ira.
Lebih lanjut, Ira pun mengaku heran dengan tuduhan jaksa dan mempertanyakan angka kerugian negara yang ditimbulkan dalam proses akuisisi PT JN.
"Bagaimana mungkin perusahaan seperti ini yang punya masa depan dinilai seharga Rp 19 miliar? Sehingga, tuduhan terhadap kami yaitu korupsi Rp 1,253 triliun itu dari mana, Yang Mulia?" ucap Ira.
"Ini adalah perusahaan yang punya masa depan dan [justru] dihargai hanya Rp 19 miliar," lanjutnya.
Vonis Hakim: Bersalah, tapi Ada Dissenting OpinionAtas kasus yang menjeratnya, Ira divonis pidana 4,5 tahun penjara. Adapun Harry dan Yusuf Hadi masing-masing divonis pidana 4 tahun penjara.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menyatakan ketiga terdakwa bersalah. Meski, Hakim pun menyatakan tidak ada keuntungan pribadi yang diterima ketiganya dari kasus itu.
Salah satu Hakim yakni Sunoto bahkan menyatakan perbedaan pendapat atau dissenting opinion dengan menilai ketiga terdakwa seharusnya lepas.
Sunoto menyebut, perkara yang menjerat Ira dkk dinilai sebagai keputusan bisnis yang dilindungi oleh business judgment rule alih-alih perbuatan tindak pidana.
"Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan tidak terpenuhi secara meyakinkan," terang dia dalam pertimbangan dissenting opinion.
"Bahwa oleh karena itu, perbuatan para terdakwa terbukti dilakukan tapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, karena keputusan bisnis yang dilindungi oleh business judgment rule dan unsur-unsur tindak pidana tidak terpenuhi," ungkapnya.
Dengan pertimbangan itu, Hakim Sunoto menilai bahwa seharusnya Ira dkk harus divonis lepas. "Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan tidak terpenuhi secara meyakinkan," ucap Sunoto.
"Maka berdasarkan Pasal 191 ayat 2 KUHAP, para terdakwa seharusnya dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum atau ontslag," imbuh Sunoto.
Meski demikian dua hakim lain yakni Mardiantos dan Nur Sari Baktiana menyatakan Ira Puspadewi dkk bersalah melakukan korupsi. Lantaran mayoritas suara menyatakan bersalah, Ira dkk kemudian divonis pidana penjara.
Dapat RehabilitasiIra Puspadewi mendapat rehabilitasi dari Presiden Prabowo Subianto. Harkat martabatnya dalam kasus hukum terkait dugaan korupsi di ASDP dipulihkan.
"Surat sudah dikeluarkan dan ditandatangani oleh Presiden," kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan, Selasa (25/11).
Ira mendapatkan rehabilitasi bersama dua eks direksi ASDP lainnya, Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono.
Kuasa hukum Ira, Soesilo Aribowo berterima kasih kepada Prabowo atas rehabilitasi itu.
"Tanggapan kami, alhamdulillah, dan terima kasih dengan penghormatan yang tinggi kepada Presiden Prabowo yang telah memberikan rehabilitasi," kata Soesilo.
Soesilo menjelaskan bahwa dengan rehabilitasi ini, kedudukan Ira dipulihkan. "Pemulihan nama baik dan sebagainya sehingga seperti semula, itu makna rehabilitasi," ujarnya.
Ira pun bebas dari rutan KPK pada hari ini, Jumat (28/11) pukul 17.17 WIB.