Eksklusif, Edi Saputra Hasibuan Sarankan Polisi Harus Lebih Cepat dari Damkar

voi.id • 12 jam yang lalu
Cover Berita
Menurut Edi Saputra Hasibuan tidak ada pilihan polisi harus terus berbenah. (Foto: Karissa Aurelia Tukan VOI, DI: Raga Granada VOI)

Kepolisian dituntut untuk me-reformasi diri. Presiden Prabowo Subianto mendirikan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian. Menurut Dr. Edi Saputra Hasibuan, SH, MH, selaku Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi), inilah momentum bagi polisi untuk lebih cepat berubah. Dalam bidang pelayanan publik misalnya, polisi harus bisa lebih cepat dari pemadam kebakaran (damkar).

***

Pertanyaan menariknya, mengapa dibandingkan dengan damkar? Menurut Edi Saputra Hasibuan, korps damkar memiliki SOP waktu respons ketika masyarakat melaporkan adanya kebakaran, yaitu 15 menit. “Kalau mereka terlambat datang, dampaknya bisa fatal. Rumah bisa ludes atau bahkan menimbulkan korban jiwa. Makanya targetnya 15 menit. Nah, kepolisian saya tantang untuk bisa lebih cepat dari damkar saat pertama kali menerima laporan masyarakat,” katanya.

Hal ini sejatinya sudah disadari oleh pucuk pimpinan Polri. Namun reformasi harus dilakukan secara menyeluruh, dari pimpinan hingga polisi yang bertugas di garda depan. “Masyarakat amat membutuhkan polisi. Kapan pun dibutuhkan, polisi harus hadir. Wakapolri menyatakan bahwa saat ini layanan damkar lebih cepat daripada polisi. Ini harus diakui dan menjadi koreksi. Bagaimana caranya? Semua harus berubah,” tegas Edi.

Memang bukan perkara mudah mewujudkan tekad agar polisi bisa bergerak cepat dan mengalahkan sigapnya korps damkar. Dengan tekad yang kuat, pelan-pelan target itu bisa diwujudkan. Salah satu trik yang ia usulkan adalah polisi harus tinggal bersama masyarakat.

Di tengah keterbatasan personel dan anggaran yang minim, upaya perubahan ini memang terasa berat. Namun Edi Saputra Hasibuan yakin meningkatnya pelayanan publik akan berbanding lurus dengan meningkatnya kepercayaan masyarakat. “Mimpi saya, polisi itu ada di tengah masyarakat. Sewaktu-waktu masyarakat bisa datang ke rumah polisi, di Jepang seperti itu. Kalau itu dilakukan, layanan tak lebih dari 10 menit,” ujarnya kepada Edy Suherli, Karissa Aurelia Tukan, dan Dandy Juniar saat bertandang ke kantor VOI, Tanah Abang, Jakarta, 27 November 2025.

Edi Saputra Hasibuan berharap komisi reformasi yang dibentukan Presiden Prabowo Subianto dan yang dientuk Kapolri bisa bersinergi. (Foto: Karissa Aurelia Tukan VOI, DI: Raga Granada VOI)

Bagaimana Anda menilai Polri sebagai lembaga penegak hukum saat ini—baik dari aspek profesionalitas, integritas, maupun kepercayaan publik?

Bicara soal Polri memang tak ada habisnya karena selalu menarik bagi masyarakat. Bicara soal reformasi, sebetulnya sudah banyak perubahan yang dilakukan. Dalam 25 tahun terakhir, isu yang paling mendapat sorotan masyarakat adalah soal trust atau kepercayaan. Sekarang ini eranya viralisme—ada satu saja anggota Polri yang berbuat salah dan kemudian viral, masyarakat cenderung menggeneralisasi. Itu yang terjadi dalam kasus Ferdy Sambo. Masyarakat seakan menginginkan anggota Polri itu sempurna, harus taat dan tidak menyalahi aturan.

Kondisi seperti ini apakah disadari oleh petinggi Polri?

Ya, harus disadari. Masyarakat amat membutuhkan polisi. Kapan pun dibutuhkan, polisi harus hadir. Wakapolri menyatakan bahwa saat ini layanan pemadam kebakaran (damkar) lebih cepat daripada Polri. Ini harus diakui dan menjadi koreksi. Konsep damkar adalah tidak boleh lebih dari 15 menit. Bagaimana caranya? Semua harus berubah.Sekarang dengan adanya gerakan reformasi Polri, SPKT diperbaiki dan dibuat sehumanis mungkin, personel ditambah. Layanan 110 juga harus direspons. Misalnya Polsek Gambir terlambat mengangkat telepon, maka akan tersambung ke Polres Jakpus. Jika tidak direspons juga, Polda Metro akan merespons. Dan pihak Polsek maupun Polres harus menjelaskan mengapa telepon tidak diangkat. Pelayanan harus baik dan cepat.

Menurut Anda, apa persoalan yang dihadapi Polri saat ini? Apakah SDM kurang, dana terbatas, atau ada faktor lain?

Pertama, untuk memberikan layanan yang cepat, harus memiliki SDM yang cukup. Saat ini ada lebih dari 460.000 personel Polri. Rasio polisi dengan populasi saat ini di Jakarta adalah 1 : 1000. Di daerah bisa 1 : 1500. Idealnya, menurut standar polisi internasional, adalah 1 : 600. Sebenarnya ada daerah yang rasionya 1 : 600 seperti di Papua, tapi problemnya wilayah sangat luas dan medan berat.

Kedua, soal anggaran. Memang Polri itu nomor tiga terbesar, angkanya sekitar Rp130 triliun per tahun. Dari dana itu, 80% untuk gaji, operasional sekitar 10%. Karena itu, di Polsek-polsek ada kendala dalam penegakan hukum. Untuk menegakkan hukum, anggaran harus mencukupi. Selama ini penganggaran penyelesaian kasus kecil adalah Rp2,5 juta. Setiap bulan ada lebih dari 100 kasus yang masuk ke Polsek; yang bisa ditangani tidak lebih dari 30%. Tak semua laporan bisa dituntaskan karena dana terbatas. Belum lagi kegiatan lain seperti patroli. Jika menginginkan Polri yang ideal, semua persoalan ini harus dibenahi.

Yang juga menjadi perhatian publik adalah putusan MK tentang penarikan 4.351 personel polisi yang mengisi jabatan sipil. Bagaimana Anda melihat hal ini?

Kita sambut positif putusan MK ini. Tapi kita harus cermat. Ada personel polisi yang memang dibutuhkan dan tidak bisa digantikan oleh pihak lain—seperti ajudan dan pengawalan, yang memang berdasarkan permintaan. Secara bertahap harus ditarik mereka yang jabatannya tidak memiliki fungsi kepolisian. Untuk polisi yang bertugas di BNN, KPK, BNPT, personel Polri memang perlu ada di sana. Kalau ditarik, siapa yang menjalankan tugas tersebut?

Selama ini apakah Polri sudah cukup independen, atau justru terlalu dekat dengan kepentingan kekuasaan?

Menurut saya, Kepolisian berada di bawah presiden dan bertanggung jawab langsung kepada presiden, itu bagus dan sudah sesuai dengan UU Kepolisian. Ada yang mengatakan Polri tidak asyarakat. Ketika polisi berada di bawah asyarakat tertentu, justru sulit terpantau dan potensial digunakan sebagai alat politik. Tapi asyarakat bisa menilai seperti apa kinerja polisi selama ini.Sejauh ini polisi masih menjalankan tugas dan fungsinya. Silakan asyar menilai seperti apa polisi, tapi tugas mereka adalah melayani, melindungi, menyayomi asyarakat, serta menjaga ketertiban dan menegakkan hukum. Itu harus dijalankan dengan benar.Karena itu polisi juga terlibat mengurusi program MBG. Polisi berkewajiban mendukung suksesnya program pemerintah. Ada juga program Asta Cita Presiden; polisi juga wajib mendukung karena manfaatnya dirasakan masyarakat.

Sedangkan soal mengapa Kapolri belum juga diganti, menurut Edi Saputra Hasibuan hal itu adalah kewenangan Presiden Prabowo Subianto. (Foto: Karissa Aurelia Tukan VOI, DI: Raga Granada VOI)

Bagaimana soal isu kriminalisasi yang terjadi pada beberapa kelompok?Yang namanya kriminalisasi, yaitu ketika sebuah kasus sebenarnya tidak memiliki peristiwa hukumnya. Misalnya ada dugaan pencemaran nama baik atau penyebaran fitnah, lalu diperiksa polisi. Kemudian ada yang menyebutnya kriminalisasi. Untuk hal seperti ini, saya tidak tahu bagaimana orang bisa menyimpulkannya demikian. Soalnya, pencemaran nama baik dan penyebaran fitnah kalau terbukti adalah pelanggaran hukum. Negara berkewajiban untuk menyelesaikan persoalan ini, tidak boleh membiarkannya begitu saja.Jangankan seorang presiden, seorang masyarakat biasa saja yang melapor, polisi wajib meresponsnya. Soalnya ia merasa difitnah, dihina sehina-hinanya. Lalu sebagai warga negara dia melapor dan polisi memeriksa, menggelar perkara, dan seterusnya. Kemudian ada yang bilang ini kriminalisasi. Jangankan mantan presiden, kita saja akan gusar kalau orang tua kita dihina-hina orang.

Kalau soal mantan Presiden Jokowi, banyak yang bilang persoalan ini bisa diselesaikan dengan cara sederhana, seperti yang dilakukan Hakim Agung Arsul Sani. Tapi itu tidak dilakukan Jokowi. Pendapat Anda?Saya tidak tahu soal itu. Tapi menurut hemat saya, persoalan ini lebih condong pada politisasi. Nuansa politiknya lebih besar daripada hukumnya. Soal Pak Arsul Sani, ya dia belum jadi presiden. Kalau presiden atau mantan presiden, lawan politiknya banyak.

Sekarang masyarakat itu pintar, mereka tidak bisa dibohongi. Saya berharap persoalan ini bisa selesai dengan baik. Kita tunggu saja bagaimana akhir kasus dugaan ijazah palsu Pak Jokowi ini.

Apakah mungkin kasus ini diselesaikan dengan restorative justice?

Sangat bisa, apabila kedua pihak menemukan titik temu. Kalau tidak, ya lanjut proses hukum.

Jadi kalau publik mau memberi masukan atau kritik kepada polisi bisa saja ya?

Silakan memberikan kritik dan saran, asal ada faktanya. Selama ini, coba tunjukkan kapan polisi marah saat dikritik. Kapolri juga sangat terbuka terhadap kritik dari berbagai pihak. Saya termasuk yang sering mengkritik Polri. Misalnya soal pelayanan mereka.Lalu ada kasus di Polda Sumatera Utara, seorang anggota Propam menyalahgunakan wewenang dan kemudian dinonaktifkan. Saya bilang, jika ada bukti, tidak hanya dinonaktifkan tapi harus diproses secara hukum. Tidak ada yang kebal hukum. Jangankan Kombes, jenderal saja ada yang diproses. Ini penting agar masyarakat bisa menilai bahwa mereka banyak melakukan perubahan. Polri juga tidak mau ada anggotanya yang nakal.

Presiden Prabowo membentuk Komisi Percepatan Reformasi Polri, tetapi lembaga sejenis juga dibentuk Kapolri. Bagaimana soal ini?

Ada Tim Transformasi Reformasi Polri yang dibentuk Kapolri, ketuanya Komjen Krisnanda. Tim ini bertugas mengevaluasi, menganalisis, dan mengumpulkan data di lapangan. Mereka menilai sejauh mana reformasi di kepolisian sudah dilaksanakan.Kalau mau jujur, sudah banyak reformasi yang dilakukan Polri. Apakah Polri sudah sempurna? Tidak. Harus kita akui masih banyak pelayanan yang harus diperbaiki, masih banyak tugas Kapolri yang harus dibenahi. Masih banyak anggota Polri yang menyimpang. Inilah yang harus dibenahi dan diperbaiki.

Jadi tidak perlu dikontradiksikan dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri yang dibentuk Presiden?Keduanya bisa bersinergi dan saling mendukung, termasuk dalam hal dukungan data. Tim Transformasi Reformasi Polri bisa mendukung tugas Komisi Percepatan Reformasi Polri.

Termasuk pembenahan 67% Kapolsek yang masih di bawah standar?Wakil Kepala Polri Komjen Pol. Dedi Prasetyo memang pernah menyampaikan di DPR bahwa masih ada 67% Kapolsek yang dinilai berada di bawah standar. Mereka belum bisa bekerja maksimal. Sementara itu, harapan publik adalah Polri harus segera menangani jika terjadi perampokan, pencurian, dan kasus kriminal lainnya di masyarakat.

Soal masa jabatan Kapolri, ada yang mengatakan sudah terlalu lama. Apa penilaian Anda?Memang ada yang mengatakan masa jabatan Kapolri saat ini sudah terlalu lama. Yang jelas, tidak ada aturan tertulis mengenai berapa lama masa jabatan Kapolri. Dalam UU Polri juga tidak diatur. Patokannya adalah presiden. Kapolri adalah pembantu presiden; kapan pun presiden mengganti Kapolri, ia harus ikhlas.Sebelumnya, ada Kapolri yang tidak sampai setahun sudah diganti. Ada juga yang menjabat tiga tahun baru diganti. Sekarang Kapolri yang menjabat sudah hampir lima tahun dan belum diganti karena presiden masih membutuhkan. Jadi tidak ada yang salah. Artinya, presiden masih nyaman dengan kinerja dan pelaksanaan tugas Kapolri.

Polri adalah institusi yang berperan penting dalam mewujudkan program presiden, termasuk Asta Cita Presiden. Saat melakukan survei di lapangan, saya melihat Polri menyiapkan 1.000 SPPG untuk program MBG di seluruh Indonesia. Polri bisa menjalankan ini karena bermitra dengan masyarakat.

Apa saran Anda untuk Polri ke depan agar bisa lebih baik?Tak bisa dipungkiri, Polri ke depan harus menjadi lebih baik. Jika sudah melakukan perbaikan, itu harus terus ditingkatkan. Masyarakat ingin pelayanan yang lebih baik, bahkan kalau perlu lebih cepat dari damkar yang memiliki standar 15 menit. Jika mutu layanan meningkat, tingkat kepercayaan publik terhadap Polri akan semakin baik.Mimpi saya, polisi itu hadir di tengah masyarakat. Sewaktu-waktu masyarakat bisa datang ke rumah polisi, seperti di Jepang. Jika itu dilakukan, layanan tidak akan lebih dari 10 menit.

Lalu, polisi harus memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Dalam setahun ada sekitar 1.500 pengaduan masyarakat, dan 85–90% berkaitan dengan proses hukum. Ini harus menjadi perhatian agar ke depan Polri bisa semakin baik. Rasa adil itu mahal dan sangat didambakan masyarakat.

 

 

Edi Saputra Hasibuan: Paling Susah Membagi Waktu Diakui Edi Saputra Hasibuan di tengah kesibukannya yang tinggi kadang ia kerepotan membagi waktu. (Foto: Karissa Aurelia Tukan VOI, DI: Raga Granada VOI)

Sebagai seorang dosen dan pengamat kepolisian, jadwalnya nyaris selalu penuh setiap hari. Dr. Edi Saputra Hasibuan, SH, MH, yang juga Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi), mengakui bahwa membagi waktu adalah hal yang paling sulit. Ia berusaha sebisa mungkin agar semua aktivitas bisa berjalan dengan baik tanpa harus mengorbankan salah satunya.

“Memang urusan membagi waktu itu agak repot. Setiap hari saya sebagai dosen harus mengajar. Tak hanya itu, saya juga duduk di struktur kampus sebagai Ketua Prodi Magister Hukum Universitas Bhayangkara,” ujar pria kelahiran Tapanuli Selatan, 13 April 1968 ini.

Selain mengajar, ia dan tim Lemkapi juga rajin melakukan riset di lapangan tentang kinerja Kepolisian Republik Indonesia. “Riset itu tidak sebentar, banyak waktu yang dihabiskan dalam sekali riset,” ungkap Edi, yang urusan jadwal kegiatannya dibantu staf khusus di kampus maupun di Lemkapi.

Dalam kapasitasnya sebagai pemerhati kepolisian, Edi juga kerap diundang sebagai pembicara di media online, radio, dan televisi. “Kalau ada isu atau persoalan kepolisian yang mencuat, saya sering sekali diundang teman-teman media. Karena itu perlu penataan waktu yang apik agar saya bisa memenuhi undangan,” ujar Edi yang juga mantan wartawan media ibukota.

Diakui Edi, dari sekian banyak aktivitas yang ia jalani, mengajar adalah yang paling menyita waktu. “Karena saya mengajar mahasiswa S1, S2, dan S3 dalam bidang hukum. Jadi tidak bisa main-main, saya harus punya waktu yang cukup sebelum masuk kelas dan berdiskusi dengan mahasiswa,” ujar Ketua Yayasan SMA Plus Taruna Bangsa, Padang Lawas, Sumatera Utara.

 

Meski Sibuk, Tetap Menyempatkan Olahraga Meski sibuk, Edi Saputra Hasibuan menyempatkan berolahraga, ia memilih jalan pagi di sekitar rumah. (Foto: Karissa Aurelia Tukan VOI, DI: Raga Granada VOI)

Aktivitas boleh berjibun, namun tetap harus diimbangi dengan olahraga. “Biasanya saya jalan pagi di sekitar rumah. Enggak perlu jauh-jauh, yang penting bisa berkeringat. Itu sudah cukup,” kata pria yang menjadi penasihat Kapolri ini.

Ia sebenarnya ingin bisa berolahraga setiap hari, tetapi keterbatasan waktu membuat hal itu sulit terwujud. “Biasanya seminggu dua kali saya bisa olahraga,” lanjutnya. Durasi olahraganya 30 sampai 60 menit.

Selain olahraga, ia juga harus menjaga istirahat yang cukup. “Biasanya saya jam 22.00 WIB sudah tidur, kecuali ada hal penting yang harus diselesaikan. Kadang bisa sampai jam 24.00 WIB baru tidur. Durasi tidur saya biasanya sekitar 6 jam, jadi jam 04.00 sampai 05.00 WIB saya sudah bangun,” ujar Ketua Dewan Pakar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat.

 

Sarapan Pagi Bersama Keluarga Sarapan pagi adalah waktu istimewa buat Edi Saputra Hasibuan, soal saat itulah bisa bisa berkumpul, ngobrol dengan anak dan istrinya. (Foto: Karissa Aurelia Tukan VOI, DI: Raga Granada VOI)

Momen paling penting dan rutin dilakukan Edi Saputra Hasibuan bersama keluarga adalah sarapan pagi. “Momen sarapan pagi itu paling memungkinkan untuk bertemu dan ngobrol dengan anak-anak. Soalnya di siang hari saya di kampus atau ada aktivitas lain. Waktu makan malam juga belum tentu bisa kumpul. Jadi saat sarapan itu sangat menyenangkan bagi saya,” katanya.

Meski sibuk, Edi tetap menjalin komunikasi dengan anak-anaknya yang sudah beranjak dewasa. “Komunikasi itu penting sekali. Jadi meski sibuk harus meluangkan waktu. Sekarang dengan kemajuan teknologi bisa dilakukan kapan dan di mana saja. Biasanya saya telepon atau video call dengan anak saya,” ungkap mantan Anggota Kompolnas ini.

Edi juga memberi pesan kepada generasi muda agar memiliki semangat juang yang tinggi. “Saya tidak suka generasi muda yang manja. Anak muda harus mengikuti perkembangan zaman, harus mandiri, kreatif, dan cerdas mengikuti perkembangan teknologi. Dengan modal itu, anak muda bisa percaya diri,” tegas Edi yang sempat bekerja sebagai office boy di kampusnya.

Kepada para wartawan muda, ia sering memberikan semangat dan motivasi agar menjadi yang terbaik. “Untuk berhasil dalam bidang yang kita tekuni, kita harus menguasainya. Dulu saya reporter, saya harus menguasai lapangan dan membina hubungan baik dengan narasumber. Jadilah yang terbaik agar bisa dibanggakan,” tandas Edi Saputra Hasibuan sembari mengingat perjalanan panjang dan berliku yang telah ia lalui hingga menjadi seperti sekarang.

 

 

 

 

   

 


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Baca juga:

thumb
thumb
thumb
thumb
thumb
Berhasil disimpan.