Ketidakpekaan Pejabat Publik di Tengah Derita Korban Bencana Sumatera

kompas.id
15 jam lalu
Cover Berita

Di tengah kesulitan warga menghadapi bencana banjir dan longsor di Sumatera, sejumlah pejabat publik justru mempertontonkan sikap nirempati. Tidak hanya dalam kata-kata, tetapi juga dalam tindakan. Ketidakpekaan para pejabat ini sekaligus dinilai memperlihatkan adanya problem dalam tata kelola penanganan bencana.

Pada 2 Desember 2025, ketika dampak bencana banjir dan longsor masih menyulitkan warga, Bupati Aceh Selatan Mirwan bersama keluarganya justru memutuskan untuk berangkat umrah. Sebelum itu, pernyataan Mirwan sudah lebih dulu viral di media sosial karena menyampaikan ketidaksanggupan menangani dampak bencana di daerahnya. 

Namun, alih-alih bersama warganya dalam menghadapi bencana, Marwan justru meninggalkan mereka. Kepergiannya pun tanpa bekal izin dari Gubernur Aceh Muzakir Manaf dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian seperti disyaratkan oleh Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

Akibatnya, Mirwan dijatuhi sanksi pemberhentian sementara sebagai Bupati Aceh Selatan oleh Tito. Sebelumnya, Partai Gerindra lebih dulu menjatuhkan sanksi berupa pencopotan Mirwan dari jabatan Ketua DPC Gerindra Aceh Selatan. Ketidakpekaan Mirwan di tengah kesulitan warganya menghadapi bencana jadi dasar penjatuhan sanksi tersebut.

Namun, tak hanya Mirwan, setelah bencana di Sumatera terjadi, sejumlah pejabat lainnya juga memperlihatkan ketidakpekaan terhadap bencana yang telah menewaskan lebih dari 900 orang tersebut.

Ironisnya, ketidakpekaan itu sempat diperlihatkan pula oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto yang lembaganya telah dipercaya menjadi tulang punggung saat bencana terjadi.

Di saat awal bencana terjadi, Suharyanto justru meremehkan dengan menyatakan bahwa bencana di Sumatera sebatas mencekam di media sosial. Padahal, saat ia menyampaikan pernyataan itu, persisnya pada 28 November lalu, masih banyak wilayah terisolasi. Masih banyak pula warga yang terjebak banjir dan longsor hingga membutuhkan evakuasi. 

Baca JugaSidang Uji Materi UU TNI, Hakim MK Singgung Pernyataan Kontroversial Kepala BNPB soal Bencana

Belakangan, ketidakpekaan juga muncul dari wakil rakyat di DPR. Di tengah kebutuhan cepat para penyintas bencana dan longsor pada bantuan, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Endipat Wijaya, justru menyindir bantuan yang datang dari masyarakat.

Sindiran tersebut blak-blakan disampaikannya dalam rapat kerja Komisi I DPR dengan Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid di Gedung DPR, Jakarta, Senin (8/12/20205).

“Orang per orang cuma menyumbang Rp 10 miliar (ke daerah bencana), negara sudah triliun-triliunan ke Aceh itu. Orang yang cuma datang sekali seolah-olah paling bekerja di Aceh, padahal negara sudah hadir dari awal. Ada yang baru datang, baru bikin satu posko, ngomong pemerintah enggak ada. Padahal pemerintah sudah bikin ratusan posko,” ujar Endipat. 

Meski tak disebutkan siapa individu yang dimaksudnya, tetapi sindiran itu ditangkap mengarah pada Ferry Irwandi, pemengaruh sekaligus pendiri Malaka Project. Setelah bencana di Sumatera melanda, Ferry menggalang bantuan dana publik melalui platform Kitabisa. Total donasi mencapai Rp 10,3 miliar dalam 24 jam pertama dengan partisipasi lebih dari 87.000 orang. Ia juga ikut terlibat mendistribusikan bantuan ke para penyintas.

Baca JugaDaya Jagat Maya ketika Bencana Melanda

Namun, Ferry merespons biasa cibiran dari Endipat tersebut, bahkan memaafkannya. "Beliau sudah menghubungi saya secara personal dan minta maaf, saya juga menerima itu, karena gak adanya juga memelihara konflik di situasi seperti sekarang," ujarnya.

Adapun Endipat beralasan, maksud pernyataannya untuk mengevaluasi kinerja Kementerian Komdigi, terutama soal publikasi dan penyebaran informasi mengenai langkah-langkah penanganan bencana oleh negara. Endipat mengaku tak berniat mengecilkan peran sukarelawan. Sukarelawan selalu bergerak tanpa pamrih setiap terjadi bencana. Mereka juga bekerja dengan hati, sedangkan negara bekerja dengan kewajiban, dan keduanya sama-sama penting sehingga tidak boleh dipertentangkan.

"Yang saya soroti adalah lemahnya komunikasi publik. Negara bekerja besar, tetapi tidak banyak diberitakan. Akibatnya, masyarakat hanya melihat apa yang viral, bukan apa yang sebenarnya dilakukan di lapangan," ujar Endipat, Selasa (9/12/2025).

Kondisi riil bencana

Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Adinda Tenriangke Muchtar saat dihubungi Kamis (11/12/2025), melihat, ketidakpekaan para pejabat itu sekaligus menunjukkan ketidakpahaman mereka terhadap kondisi ril yang dialami oleh para penyintas bencana. 

Selain itu, ketidakpekaan bisa jadi muncul karena mereka selama ini terlalu berorientasi pada pencitraan. ”Jadi, mindset-nya bukan peduli terhadap apa yang terjadi di masyarakat maupun lingkungan, tapi malah mengutamakan mana yang paling disorot atau berkompetisi demi exposure di media sosial atau pencitraan. Jadi, salah kaprah komunikasi publiknya dan menjadi nirempati,” tutur Adinda.

Lebih lanjut menurutnya, ketidakpekaan itu juga sekaligus menunjukkan adanya masalah pada tata kelola penanganan bencana. ”Menurut saya masalah ini bukan berhenti di permasalahan komunikasi publik saja, tetapi juga artinya penanganan bencana yang lambat dan tidak sigap, dan tidak tepat sasaran, termasuk kinerja pemerintah kita di berbagai level tersebut,” tambahnya.

Masalah ini bukan berhenti di permasalahan komunikasi publik saja, tetapi juga artinya penanganan bencana yang lambat dan tidak sigap, dan tidak tepat sasaran.

Kelambanan dan ketidaksigapan akibat ketidakpekaan pada bencana itu termasuk yang terlihat di level pemerintah pusat. Meski bencana banjir dan longsor sudah mulai melanda di sejumlah wilayah di Sumatera pada 24 November 2025, tetapi Presiden Prabowo Subianto dan sejumlah anggota Kabinet Merah Putih baru menggelar rapat untuk membahasnya pada 27 November 2025.

Setelah itu, penanggulangan bencana baru terlihat lebih cepat disertai kunjungan dua kali Presiden Prabowo di daerah bencana, pada Senin (1/12/2025) dan Minggu (7/12/2025).

Baca JugaSituasi Pascabencana Dinilai Membaik, Presiden Belum Tingkatkan Status Bencana di Sumatera

Berangkat dari problem ketidaksigapan itu, Adinda mendorong agar musibah di Sumatera jadi pelajaran seluruh jajaran di pemerintah untuk mengevaluasi sistem penanggulangan bencana. Ke depan, pemerintah diharapkan lebih cepat membantu masyarakat ketika bencana terjadi.

Yang tak kalah penting, perlunya membangun sistem komunikasi publik yang solid, jelas, dan akurat. Selain itu, dalam situasi bencana, komunikasi publik juga harus empatik. Ini tidak sebatas dalam kata-kata tetapi juga dalam tindakan. Pasalnya, narasi ataupun sikap yang keliru justru bisa menggerus kepercayaan publik, bahkan menambah beban psikologis masyarakat yang tengah kesulitan menghadapi bencana.

Senada dengan Adinda, peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Lili Romli, juga menyayangkan ketidakpekaan sejumlah pejabat publik di tengah bencana. Mereka dinilai tidak belajar dari kemarahan publik pada akhir Agustus lalu, yang dipicu oleh buruknya komunikasi publik sejumlah pejabat dan ketidakpekaan mereka di tengah kesulitan ekonomi yang dihadapi masyarakat.

”Mereka tidak berkaca pada peristiwa itu, yang mestinya jadi pembelajaran justru diulangi lagi. Wajar jika kemudian publik banyak yang marah,” katanya.

Baca JugaBagaimana Kronologi hingga Bupati Aceh Selatan Diberhentikan Sementara oleh Mendagri?

Partai politik (parpol), menurutnya, ikut andil melahirkan ketidakpekaan karena sebagian pejabat publik yang kontroversial sikap dan pernyataannya saat bencana itu, berasal dari parpol. Karena itu, penting agar parpol memperbaiki sistem rekrutmen dan kaderisasi dengan menerapkan sistem merit dan pendidikan politik yang menumbuhkan sikap negarawan.

”Ini menunjukkan bukan hanya tiadanya kepekaan dan sense of crisis tapi juga gagalnya representasi politik atau juga bisa jadi mereka tidak ditempa oleh pendidikan politik yang matang, sehingga melahirkan politisi instan yang tidak mengakar di masyarakat atau lahir dari bawah,” kata Lili.

Musibah di Sumatera menegaskan bahwa komunikasi publik yang keliru dan perilaku pejabat yang nirempati hanya menambah luka para penyintas. Pemerintah perlu memastikan bahwa dalam setiap langkah penanganan bencana, hadir kepemimpinan yang sensitif, sigap, dan benar-benar berpihak pada penyintas.

KOMPAS
Video Berita Bencana di Sumatera

Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
21 Siswa dan Guru di Cilincing Terluka Ditabrak Mobil MBG, Tidak Ada Korban Jiwa
• 10 jam lalugenpi.co
thumb
Korban Tewas akibat Bencana Aceh dan Sumatera Sudah Mencapai 990 Orang, Pengungsi 884.889 Jiwa
• 9 jam lalufajar.co.id
thumb
Nagih Utang, Penagih Utang Ini Diserang
• 20 jam lalurealita.co
thumb
Veda Ega Pratama Uji Nyali ke Gunung Merbabu Jelang Balapan Moto3
• 21 jam laluharianfajar
thumb
Suap Bupati Lampung Tengah Seret Keluarga dan Tim Pemenangan, KPK: Terima Fee Proyek di Pemkab Hingga Rp5.75 Miliar
• 13 jam laludisway.id
Berhasil disimpan.