Editorial Media Indonesia: Jangan Bikin Nyaman Perusak Hutan

metrotvnews.com
13 jam lalu
Cover Berita

Dampak nyata dari bencana banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat terpampang dengan jelas di depan mata kita. Bukan hanya dari sisi statistik jumlah korban manusia, yang menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Minggu (14/12) telah merenggut nyawa 1.006 orang, serta sebanyak 217 orang hilang dan 5.400 luka-luka.

Lebih dari itu, ada kerugian, baik materiel maupun moral, yang jika dinominalkan pasti akan sangat besar nilainya. Tidak hanya tentang 158 ribu rumah warga yang rusak, tetapi juga soal banyaknya infrastruktur yang hancur lebur. Akses jalan darat di sejumlah wilayah di tiga provinsi itu pun terputus yang menyebabkan distribusi bantuan dan pasokan pangan terhambat.
 

Baca Juga :

Korban Meninggal Bencana Sumatra Bertambah 66 Jiwa dalam Sepekan

Dengan melihat dampaknya yang sangat luar biasa itu, jelas peristiwa kali ini bukan sekadar bencana yang diakibatkan oleh fenomena alam biasa. Ada variabel lain yang justru menjadi faktor lebih kuat sebagai pemicu bencana banjir di Sumatra menjadi sangat besar dan ganas, yakni kerusakan ekologi.

Pemanfaatan hutan secara ekonomis yang dilakukan serampangan telah menyebabkan kerusakan ekologi kian meluas hingga melampaui daya dukung lingkungan. Selama bertahun-tahun, pembukaan hutan berskala besar, alih fungsi lahan tanpa kendali, praktik pertambangan dan perkebunan yang abai tata kelola, hingga pembiaran terhadap pelanggaran izin telah memperlemah sistem ekologis di kawasan hulu.

Dengan kondisi lingkungan yang lemah seperti itu, di saat hujan ekstrem datang dan kian sering akibat krisis iklim, hutan yang seharusnya menjadi penyangga justru tak lagi berfungsi. Air akan dengan mudah meluap, tanah menjadi rentan longsor, dan masyarakat di hilir menanggung akibatnya.

Bencana ekologis di Sumatra harus menjadi peringatan keras bahwa harga sebuah pembiaran jauh lebih mahal ketimbang keuntungan ekonomi yang didapat dari eksploitasi hutan yang ugal-ugalan. Profit jangka pendek dari eksploitasi itu jauh tidak sebanding dengan kerugian ekonomi, korban jiwa, dan trauma sosial yang ditimbulkan.


Penampakan kayu di lokasi bencana alam di Sumatra. Foto: Antara/Yusrizal.

Karena itu, selain respons darurat dan rehabilitasi pascabencana, negara tidak boleh menghindar dari satu agenda krusial, yakni penindakan tegas dan berkelanjutan terhadap korporasi dan individu yang diduga menjadi biang kerusakan hutan dan lingkungan hidup. Poin 'keberlanjutan' menjadi penting karena keberadaannya mesti disertai dengan penegakan hukum yang konsisten.

Tanpa konsistensi, penegakan hukum bakal berjalan seperti yang lalu-lalu. Terlihat galak di awal, tetapi ketika bencana telah berlalu, narasi pertanggungjawaban kerap menguap. Penyelidikan dibuka, janji evaluasi disampaikan, tetapi proses hukum sering kali berhenti di tengah jalan. Kalaupun ada penindakan, sifatnya sporadis dan jarang menyentuh aktor besar.

Kerangka hukum sudah tersedia. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa setiap pihak yang menyebabkan pencemaran atau kerusakan lingkungan wajib bertanggung jawab, termasuk melalui sanksi pidana, perdata, dan administratif. Instrumen ini semestinya memberi ruang luas bagi negara untuk bertindak tegas terhadap pelaku perusakan ekologi.

Namun, hukum tidak akan bekerja hanya dengan teks aturan. Ia memerlukan keberanian politik dan konsistensi aparat penegak hukum. Negara perlu memastikan bahwa sanksi tidak berhenti pada denda administratif yang mudah dinegosiasikan, tetapi juga betul-betul memberikan efek jera, termasuk pencabutan izin, pidana kurungan, dan pemulihan lingkungan secara nyata.
 

Baca Juga :

Tinjau Banjir Aceh Tamiang, Presiden Prabowo Desak Pengawasan Ketat Pembalakan Liar

Yang tidak kalah penting, penindakan tidak boleh bersifat reaktif, muncul hanya setelah bencana terjadi. Penegakan hukum mesti menjadi bagian dari sistem pencegahan. Audit lingkungan, pengawasan izin berbasis risiko, serta keterbukaan data konsesi dan kawasan hutan harus diperkuat. Masyarakat sipil pun perlu dilibatkan sebagai pengawas independen agar potensi pelanggaran bisa terdeteksi lebih dini.

Keberlanjutan tidak cukup dinarasikan sebagai slogan pembangunan. Ia harus diwujudkan melalui keberanian menindak siapa pun yang merusak ekologi, tanpa pandang bulu. Hanya dengan penegakan hukum yang konsisten dan berkelanjutan, siklus bencana dapat diputus dan keadilan ekologis bagi generasi mendatang benar-benar mendapat tempat.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Andi Sinulingga Sesalkan Sikap Pemerintah Tolak Bantuan Asing di Sumatra, Susno Duadji: Khawatir Terbongkar Rahasia Siapa Perusak Hutan
• 5 jam lalufajar.co.id
thumb
Lirik Lagu Usai di Sini - Raisa
• 1 jam laluinsertlive.com
thumb
Menkop Resmikan Pusat Komando untuk Awasi Koperasi
• 3 jam lalukompas.id
thumb
Mendagri: Dana BTT Rp268 Miliar untuk Penanganan Bencana Sudah Masuk ke Pemda
• 59 menit lalutvrinews.com
thumb
Ada 65.053 Sambaran Petir di Bali Saat Muncul Bibit Siklon Tropis 93S
• 1 jam lalurepublika.co.id
Berhasil disimpan.