Sepasang laki-laki dan perempuan tampak serius menyimak penjelasan petugas customer service bank digital, Rabu (3/1/2025). Sesekali sang petugas membuka aplikasi bank tersebut di gawainya dan menjelaskan beberapa layanan digital di dalamnya. Di belakang mereka, dua dua pengunjung lainaantre menanti giliran konsultasi.
Sekitar empat meter dari meja customer service, seorang perempuan berkerudung menyetorkan sejumlah uang tunai di meja teller. Setelah uang berpindah tangan, nasabah itu mengecek saldonya di aplikasi. Transaksi hanya berlangsung 2-3 menit.
Itu semua tidak terjadi di dunia virtual, melainkan di Kantor Cabang Bank Jago Mega Kuningan yang terletak di area lobi Manara SMBC, Kuningan, Jakarta Selatan. Meski Bank Jago sejak awal dirancang sebagai bank digital, namun bank tersebut tetap memerlukan kantor cabang fisik.
Sejauh ini, Bank Jago memiliki lima kantor bank fisik di seluruh Indonesia yakni Kantor Cabang Mega Kuningan, Jakarta selatan; Kantor Cabang Pembantu Kelapa Gading, Jakarta Utara; Kantor Cabang; Kantor Cabang Pembantu Alam Sutera, Tangerang; dan Kantor Cabang Surabaya, Jawa Timur.
Kantor-kantor cabang bank tersebut hampir sama dengan kantor-kantor cabang bank umumnya. Ada meja teller, meja customer service, kursi tunggu untuk nasabah, dan seorang petugas keamanan yang murah senyum seperti petugas keamanan Bank BCA.
Meski demikian, suasana kantor fisik Bank Jago dirancang lebih ringkas, digital, dan cozy seperti kafe. Yang jelas, tidak ada tumpukan formulir-formulir kertas yang ditaruh di area tunggu nasabah seperti yang lazim ditemukan di bank umum.
Suasana yang tak jauh berbeda juga tampak di community branch, sebutan kantor cabang milik PT Bank Raya Indonesia (Persero) Tbk, yang berada di lantai 2 Menara Brilian, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (12/12/2025) siang.
Setidaknya, terdapat 23 community branch Bank Raya yang tersebar di seluruh Indonesia.
Kala itu, antrean layanan di meja teller tampak lengang. Hanya ada satu nasabah yang tengah berdiri dihadapan petugas sembari menyodorkan sejumlah uang. Di sisi lainnya, petugas customer service tengah mengecek lembaran dokumen yang diserahkan oleh dua nasabah yang duduk di depan mejanya.
Sekalipun berfokus pada layanan digital, anak usaha PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI itu pun menyediakan layanan fisik. Setidaknya, terdapat 23 community branch Bank Raya yang tersebar di seluruh Indonesia.
Meski dunia semakin terdigitalisasi, nyatanya bank-bank digital pun tetap membutuhkan kantor fisik. Pertemuan fisik dan sentuhan manusia ternyata tidak bisa digantikan begitu saja oleh pertemuan virtual dan bantuan mesin-mesin digital.
Seorang teller di Kantor Cabang Bank Jago Mega Kuningan menceritakan, setiap hari ada saja nasabah yang datang meski jumlahnya tidak menentu. Kadang ada 10 orang, kadang 20 orang, kadang lebih. Mereka datang antara lain untuk menyetor uang, ambil tunai, memindahkan rekening, bertanya soal layanan di aplikasi, sampai menukar uang receh untuk membayar parkir sepeda motor atau mobil.
Salah seorang nasabah yang datang hari itu adalah Lisa (43), karyawan swasta yang bekerja di kawasan Mega Kuningan. Hari itu, ia menyetor uang secara cash di teller.
Saya datang kalau ada keperluan yang menurut saya lebih mudah diselesaikan dengan ketemu fisik. Kebetulan kantor saya juga dekat dari sini.
”Saya datang langsung ke teller karena Bank Jago belum ada fasilitas setor tunai di ATM. Bisanya transfer. Tapi kadang pendapatan saya sebagian cash. Repot kalau harus masukin dulu ke bank lain, lalu transfer ke rekening Bank Jago,” ujar Lisa, Rabu (3/12) siang.
Lisa yang sudah setahun menjadi nasabah Bank Jago, mengaku tidak rutin datang ke kantor fisik bank tersebut. Untuk keperluan pengelolaan uang sehari-hari, ia memanfaatkan fitur-fitur digital di apliksi Bank Jago, terutama fasilitas kantong pengeloa uang.
”Saya datang kalau ada keperluan yang menurut saya lebih mudah diselesaikan dengan ketemu fisik. Kebetulan kantor saya juga dekat dari sini,” kata Lisa yang tertarik menjadi nasabah Bank Jago karena bunga tabungannya lebih tinggi dibandingkan bank umum. Selain itu, ada fitur kantong digital di mana tabungan bisa dikategorikan untuk berbagai keperluan.
Upaya untuk mendatangi kantor fisik bank digital juga dilakukan oleh Mustika Dewi (40), pedagang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di kawasan Tebet. Ia rutin mendatangi community branch Bank Raya yang berada di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, untuk melakukan setor tunai.
“Biasanya sebulan sekali ke sini untuk setor tunai, kebetulan enggak terlalu jauh tempatnya,” katanya saat ditemui di kantor Bank Raya, Jumat (12/12) siang.
Semula, ia ditawari produk QRIS oleh salah seorang petugas pemasar dari Bank Raya. Selama setahun menjadi nasabah Bank Raya, Dewi mengaku hampir tidak pernah mengalami kendala berarti.
Menurutnya, fitur-fitur yang tersedia dalam aplikasi Bank Raya relatif sederhana dan mudah dipahami. Bahkan, ia merasa terbantu dengan adanya fitur saku yang dapat memisahkan antara dana yang akan digunakan untuk operasional dan untuk ditabung, tanpa perlu membuka rekening baru.
“Setiap transaksi yang masuk juga langsung tercatat dengan detail. Jadi, bisa keliatan kalau ada pembeli yang curang dan enggak repot buat mencatatnya. Bisa dilihat juga sebulan ada berapa uang yang masuk,” ucapnya sembari menunjukkan aplikasi Bank Raya di gawainya.
Pengalaman serupa juga dirasakan oleh Desri (64), pedagang UMKM di sekitar Menara Brilian. Menurut Desri, selain fiturnya sederhana, aplikasi Bank Raya juga memiliki sistem keamanan berlapis. “Sejauh ini, tidak pernah mengalami kendala. Kalau ada link dari WhatsApp, aplikasi bisa mendeteksinya,” ujarnya.
Mengapa bank digital repot-repot membangun bank fisik? Bukankah semua layanannya serba digital? Ternyata ada sejumlah alasan yang melatarinya.
Arief Harris Tandjung, Direktur Utama Bank Jago, menjelaskan, sampai saat ini, Indonesia belum memiliki kategori perizinan khusus untuk bank digital. Jadi, bank berbasis teknologi, termasuk Bank Jago, tetap diklasifikasikan sebagai bank umum komersial.
”Secara regulasi kami diperbolehkan memiliki kantor cabang fisik bila diperlukan untuk mendukung operasional dan layanan,” ujar Arief pada acara kunjungan media ke Kantor Cabang Bank Jago di Surabaya, Kamis (30/10/2025).
Kehadiran kantor fisik masih memiliki peran penting terutama untuk membangun kepercayaan dan visibilitas brand.
Kehadiran kantor fisik, Arief melanjutkan, masih memiliki peran penting terutama untuk membangun kepercayaan dan visibilitas brand. Banyak masyarakat, terutama yang belum sepenuhnya nyaman dengan layanan digital, merasa lebih yakin jika sebuah bank memiliki bentuk kehadiran nyata.
”Kantor cabang berfungsi sebagai simbol bahwa bank tersebut benar-benar ada, beroperasi, dan menjaga keamanan dana nasabah,” kata Arief.
Alasan lainnya, meskipun hampir semua layanan Jago dapat diakses secara daring, ada situasi tertentu yang lebih efektif atau bahkan wajib dilakukan secara tatap muka. Contohnya, penanganan masalah teknis yang kompleks, verifikasi khusus, atau layanan yang memang memerlukan interaksi langsung.
”Jadi, meskipun hidup kita semakin digital, human touch dan kehadiran fisik tetap penting dalam dunia perbankan, baik untuk kenyamanan, kepercayaan, maupun kelancaran layanan kepada nasabah,” ujar Arief.
Pada acara yang sama, Sonny C Joseph, Direktur Bank Jago di Surabaya, mengatakan, wujud fisik Bank Jago memberi perasaan aman, terutama bagi mereka yang belum begitu akrab dengan bank digital.
Tim bisnis kami mengombinasikan layanan offline dengan digital untuk melayani kebutuhan pembiayaan UKM. Kehadiran fisik ini membuat prosesnya lebih meyakinkan dan sekaligus membuka pintu akuisisi nasabah baru dari segmen produktif tersebut.
Kehadiran Bank Jago secara fisik, Sonny melanjutkan, mendukung ekspansi bisnis pembiayaan bank, terutama untuk pinjaman usaha kecil dan menengah (UKM). Mereka umumnya membutuhkan juga interaksi langsung selain layanan digital.
”Jadi, tim bisnis kami mengombinasikan layanan offline dengan digital untuk melayani kebutuhan pembiayaan UKM. Kehadiran fisik ini membuat prosesnya lebih meyakinkan dan sekaligus membuka pintu akuisisi nasabah baru dari segmen produktif tersebut,” ujar Sonny.
Sejak KC Surabaya dibuka pada Agustus 2024 hingga Oktober 2025, menurut Sonny, jumlah pengguna aplikasi Jago di Surabaya dan sekitarnya meningkat hingga 22 persen.
Corporate Secretary Bank Raya, Ajeng Putri Hapsari, menyampaikan, kantor layanan fisik adalah bagian dari upaya literasi dan inklusi keuangan. Keberadaannya pun mempermudah perusahaan dalam menjangkau akses ke daerah-daerah secara lebih menyeluruh.
“Community Branch merupakan bentuk komitmen kami untuk lebih dekat dengan para nasabah. Community Branch ini akan mengakomodasi kebutuhan finansial nasabah retail, pelaku usaha, dan juga komersial. Sedangkan, bagi nasabah retail atau individu, semua kebutuhan perbankan digital sudah tersedia secara lengkap di aplikasi Bank Raya,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Kantor layanan fisik adalah bagian dari upaya literasi dan inklusi keuangan.
Ia menambahkan, community branch Bank Raya menghadirkan layanan perbankan yang lebih modern. Suasana yang dibangun pun dibuat lebih kasual guna mengakomodasi kebutuhan literasi dan inklusi keuangan untuk komunitas.
“Kami akan terus mengkaji terkait kebutuhan untuk layanan fisik/community branch di daerah dengan mempertimbangkan demand dan potensi bisnis yang dapat dikembangkan di daerah tersebut,” katanya.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae, berpendapat, tidak ada yang salah bila perbankan dengan fokus utama layanan digital tetap menyediakan layanan secara fisik.
Menurutnya, pemberian layanan secara fisik tersebut merupakan bagian dari strategi dan pengembangan bisnis perbankan. Upaya ini sama halnya dengan perbankan umum yang kini tengah membuka layanan digital secara ekstensif.
“Tentu keduanya akan menjadi perhatian OJK, karena itu cara bank menjangkau nasabahnya,” katanya saat dihubungi pada Sabtu (13/12/2025).
Dalam hal ini, regulator akan memperhatikan, khususnya terkait transaksi-transaksi spesifik, seperti kredit jangka pendek. Ke depan, OJK berencana untuk membedakan pengawasan antara kedua bisnis model perbankan tersebut.
Pada akhirnya, pertemuan fisik tetap dibutuhkan di tengah masifnya perkembangan digitalisasi layanan perbankan. Setidaknya, sentuhan manusia masih belum tergantikan oleh teknologi.




