SURABAYA, KOMPAS - Banjir yang dipicu oleh cuaca ekstrem melanda sejumlah wilayah di Jawa Timur. Potensi bencana hidrometeorologi diperkirakan masih tinggi pada libur Natal 2025 dan Tahun Baru 2026. Seluruh pihak diimbau untuk mengantisipasi guna mengurangi dampak bencana dan mencegah jatuhnya korban jiwa.
Antisipasi itu salah satunya ditempuh dengan operasi modifikasi cuaca sejak November 2025 dan dijadwalkan hingga akhir Desember 2025. Namun, operasi modifikasi cuara (OMC) saja dinilai tidak cukup. Penguatan mitigasi lain, seperti pemasangan sistem peringatan dini atau early warning system (EWS), diperlukan terutama untuk menghadapi banjir, longsor, erupsi gunung api, dan tsunami.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim sejak Minggu (14/12/2025) hingga Selasa (16/12/2025), sejumlah bencana terjadi di berbagai daerah di Jatim. Salah satunya banjir bandang di Kabupaten Jember pada Senin (15/12/2025) sore.
Banjir terjadi setelah hujan dengan intensitas sedang melanda wilayah Jember selama 4 jam. Hujan menyebabkan daya tampung Sungai Bedadung dan Sunga Jompo terlampaui sehingga airnya meluap.
Luapan sungai tersebut memicu banjir di Kecamatan Puger, Wuluhan, Kaliwates, Patrang, dan Rambipuji. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian tersebut, tetapi sedikitnya 7 perahu nelayan rusak dan ratusan rumah sempat terendam banjir, sementara 2 jembatan putus.
Sehari sebelumnya, yakni pada 14 Desember 2025, banjir terjadi di tiga desa di Kabupaten Pasuruan. Akibatnya, 1.195 keluarga terdampak. Selain itu, angin kencang dan banjir terjadi di Desa Muneng Kidul, Kabupaten Probolinggo. Di Ponorogo dan Bondowoso juga dilaporkan terjadi angin kencang yang menyebabkan pohon tumbang.
Sementara di Lumajang, penanganan dampak bencana setelah erupsi Gunung Api Semeru pada 19 November 2025 terus dilakukan. Salah satunya penanganan banjir lahar dan potensi banjir lahar susulan yang mengancam permukiman masyarakat di kaki Semeru.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim Gatot Soebroto mengatakan, pihaknya telah menyiapkan personel untuk penanganan darurat bencana. BPBD Jatim senantiasa berkoordinasi dengan BPBD kabupaten/kota di Jatim.
Selain itu, guna mencegah bencana yang dipicu cuaca ekstrem, Pemprov Jatim telah menggelar operasi modifikasi cuaca (OMC) secara mandiri. OMC ini disiapkan khusus menghadapi cuaca ekstrem akhir tahun ini.
Namun, modifikasi cuaca saja dinilai tidak cukup. Oleh karena itu, BPBD Jatim memperkuat mitigasi bencana dengan memasang sejumlah peralatan early warning system (EWS) di enam daerah rawan bencana banjir dan tanah longsor.
EWS yang dipasang selama sepekan lalu, berkolaborasi dengan tim BPBD setempat. Adapun lokasi dan jenis EWS yang dipasang tersebar di wilayah Kabupaten Bojonegoro (EWS banjir), Kabupaten Jombang (EWS longsor), Ponorogo (EWS banjir), Trenggalek (EWS longsor), Probolinggo (EWS longsor), dan Kota Mojokerto (EWS banjir).
Gatot mengatakan, pemasangan EWS di enam daerah itu untuk melengkapi puluhan EWS yang telah dipasang BPBD Jatim pada tahun-tahun sebelumnya. Seiring semakin banyaknya daerah yang memiliki sistem peringatan dini, pihaknya berharap mitigasi bencananya semakin baik sehingga risiko atau dampaknya bisa ditekan.
"Saat ini, kami telah memiliki board yang bisa memantau perkembangan EWS secara waktu nyata di sejumlah daerah. Dengan board itu, kami bisa mengetahui potensi ancaman bencana di sejumlah daerah secara real time melalui sinyal yang muncul dari EWS," ujar Gatot.
Ketua Tim Pencegahan BPBD Jatim Dadang Iqwandy menambahkan, dengan terpasangnya 6 EWS yang baru, maka secara keseluruhan EWS yang dimiliki BPBD Jatim mencapai 44 unit. Jumlah itu terdiri dari 20 EWS banjir dan 24 EWS longsor. Selain itu, BPBD Jatim telah memasang 17 sirene tsunami.
Adapun EWS tsunami tersebar di hampir semua wilayah di Jatim. Lokasi itu mulai dari daerah selatan seperti Banyuwangi, Jember, dan Pacitan, serta Malang, Tulungagung hingga kawasan Tapal kuda, seperti Pasuruan dan Probolinggo.
Selain pemerintah daerah, pemasangan alat peringatan dini bencana juga dilakukan melalui kerja sama perguruan tinggi di Jatim. Pakar bencana dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Amin Widodo mengatakan, pada 9-10 Desember 2025, tim ITS telah memasang sistem peringatan dini longsor dan menggelar sosialisasi tentang longsor di Kecamatan Bendungan, Kabupaten Trenggalek.
Hal itu dilakukan setelah terjadi longsor secara beruntun sejak Senin, 19 Mei 2025 pukul 15.00 WIB di Desa Depok Kecamatan Bendungan. Longsor dipicu hujan deras dan material longsoran menutup akses jalan sepanjang 20 meter dengan ketebalan hingga dua meter.
Longsor mengakibatkan 6 orang meninggal dunia, 12 rumah terdampak, lima di antaranya tertimbun. Sedikitnya 30 orang dari 10 keluarga harus dievakuasi. Enam bulan setelah itu, Desa Depok kembali dilanda longsor, yakni pada Sabtu (1/11/2025) sekitar pukul 21.00 WIB. Sebanyak 4 orang dilaporkan meninggal.
Tim ITS telah melakukan asessmen dan bertemu dengan sejumlah kepala desa di Kecamatan Bendungan Trenggalek. Mereka melaporkan banyak retakan di desanya sehingga masyarakat meminta dipasang peringatan dini longsor.
“Informasi yang sederhana, tetapi berguna sangatlah penting untuk melakukan tanggapan yang tepat yang akan membantu menyelamatkan jiwa dan kehidupan,” ujar Amin.
Amin menambahkan, saat ini ITS sedang mengembangkan Senopal (Sepuluh Nopember Peringatan Awal Longsor) yang sederhana dan bisa diduplikasi masyarakat sehingga mereka bisa membuat sendiri. Senopal perlu sistem peringatan dini longsor pendamping, yakni ADel (Alat Deteksi Longsor).
ADel adalah sistem peringatan dini yang dirancang untuk mendeteksi pergerakan tanah secara waktu nyata. Sistem ini terdiri dari dua perangkat utama, yaitu ADeL Transmitter (TX) dan ADeL Base Receiver (RX), yang bekerja bersama sebagai jaringan nirkabel untuk monitoring wilayah rawan longsor.
Cara kerjanya yaitu ADeL (TX) mendeteksi terjadinya pergerakan tanah, kemudian mengirimkan informasi ke ADeL (RX) dan meneruskan ke website. Kemudian ADeL (RX) akan memberikan informasi atau notifikasi berupa lampu indikator dan audio sirine dan website ADel memberikan gambaran titik lokasi sensor yang memberikan notifikasi sehingga pengguna dapat mengetahui di wilayah mana yang longsor dan dapat memberikan informasi ke masyarakat.
Menurut Amin, sistem peringatan yang baik harus menjangkau semua orang yang terancam bahaya. Pesan yang disampaikan harus jelas dan berisi empat unsur kunci dari sistem peringatan dini yang terpusat pada masyarakat.
Adapun tujuan dari pengembangan sistem peringatan dini yang berbasis masyarakat adalah untuk memberdayakan individu dan masyarakat yang terancam bahaya sehingga mereka bisa bertindak dalam waktu yang cukup dengan cara-cara yang tepat untuk mengurangi kemungkinan korban jiwa dan luka serta rusaknya harta benda dan lingkungan.
Menurut UNDRR (United Nation for Disaster Risk Reduction), suatu sistem peringatan dini yang lengkap dan efektif terdiri atas empat unsur yang saling terkait, mulai dari pengetahuan tentang riisiko, pemantauan dan layanan peringatan, penyebarluasan informasi, dan kemampuan penanggulangan.
Sebelumnya, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi kenaikan curah hujan di Pulau Jawa, Bali, NTB (Nusa Tenggara Barat) dan NTT (Nusa Tenggara Timur) pada Desember 2025 dan Januari 2026. Kenaikan curah hujan terutama di Jawa Timur itulah yang harus diantisipasi karena berpotensi memicu bencana hidrometeorologi.
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PMBG) Badan Geologi Priatin Hadi Wijaya mengatakan, hujan dengan intensitas lebih dari 150 milimeter per dasarian mempercepat saturasi tanah sehingga lereng-lereng dengan litologi lempung vulkanik atau batuan lapuk menjadi lebih mudah longsor.
“Curah hujan tinggi dalam waktu singkat juga menyebabkan debit sungai meningkat drastis, memicu banjir bandang pada daerah aliran sungai (DAS) yang memiliki bentuk memanjang, sempit, dan lereng terjal seperti di Jember, Bondowoso, Lumajang, Batu, dan Trenggalek,” ujar Hadi pada acara Kesiapsiagaan Bencana Geo-Hidrometeorologi di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, Jumat (12/12/2025).
Hadi menambahkan, angin kencang dari siklon tropis serta hujan yang kontinu meningkatkan peluang terjadinya pohon tumbang, runtuhan batu, dan ketidakstabilan tebing sungai. Jawa Timur secara klimatologis memiliki dua sisi kerentanan, yakni wilayah pesisir selatan yang terpapar langsung pengaruh siklon tropis selatan dan wilayah pengununan tengah-timur yang sangat responsif terhadap hujan intens di hulu sungai.
Dua kondisi ini membuat peringatan curah hujan dan peta perkiraan gerakan tanah menjadi sangat relevan untuk memperkuat mitigasi berbasis geologi dan tata ruang.



