EtIndonesia. Duo ayah dan anak yang melakukan penembakan massal di Bondi pada 14 Desember diketahui melakukan perjalanan ke Filipina pada November, demikian dikonfirmasi oleh sumber-sumber keamanan di Australia.
Menurut Biro Imigrasi Filipina, Naveed Akram (24) dan ayahnya yang kini telah meninggal, Sajid Akram (50), terbang ke Kota Davao di wilayah Mindanao dan berada di negara tersebut dari 1 hingga 28 November.
Seperti yang sebelumnya dilaporkan The Epoch Times, Akram yang lebih muda memiliki keterkaitan dengan anggota jaringan pro–Negara Islam (Islamic State/IS) di Australia—termasuk pendakwah jihad Wisam Haddad dan perekrut pemuda IS yang telah divonis bersalah, Youssef Uweinat—yang dapat ditelusuri sejak tahun 2019.
Namun, Perdana Menteri Anthony Albanese mengatakan kepada media penyiaran publik pada 15 November bahwa lembaga keamanan menilai aktivitas Akram tidak cukup untuk membenarkan pencantumannya dalam daftar pemantauan terorisme.
Dua bendera Negara Islam ditemukan di dalam mobil keluarga Akram di Pantai Bondi, dan para penyelidik menyatakan mereka meyakini pasangan tersebut telah bersumpah setia kepada kelompok teroris itu.
Banyak komentar pada rekaman media sosial yang menampilkan para penembak—keduanya menggunakan senapan bolt-action (diduga Beretta BRX1)—menyoroti kecepatan pengisian ulang dan penembakan. Sejumlah pihak berkomentar bahwa seorang “amatir” tidak mungkin mencapai tingkat tembakan secepat yang terlihat.
Menurut laporan Kantor Inspektur Jenderal Amerika Serikat, sejak penggunaan simbol dan merek ISIS mulai dipakai oleh kelompok-kelompok radikal di Filipina sekitar tahun 2014, telah terjadi sejumlah serangan di wilayah selatan yang konsisten dengan taktik Negara Islam. Serangan tersebut mencakup bom bunuh diri, alat peledak rakitan (IED), serangan perkotaan terkoordinasi, serta penyanderaan.
Makalah dari West Point Combating Terrorism Centre dan International Crisis Group mendokumentasikan pertumbuhan kehadiran ISIS di Mindanao, termasuk rujukan terhadap basis, kamp, dan aktivitas pelatihan terkoordinasi di antara kelompok-kelompok pro-ISIS.
Laporan Negara tentang Terorisme dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mencantumkan unsur-unsur yang berafiliasi dengan ISIS dan mencatat berlanjutnya operasi kekerasan serta aktivitas bergaya pelatihan di Filipina selatan.
Namun, kamp pelatihan teroris di Filipina tidak menyerupai kamp pelatihan besar, permanen, dan bertanda jelas seperti yang dijalankan ISIS di Irak atau Suriah. Kamp-kamp tersebut lebih digambarkan sebagai kamp hutan, pertanian terpencil, bahkan gua, dengan fasilitas yang mudah dipindahkan.
Pengepungan Marawi pada tahun 2017 merupakan manifestasi paling jelas dari kehadiran ISIS di Filipina, ketika militan menguasai dan berupaya memerintah sebagian wilayah sebuah kota besar selama lima bulan, serta memanfaatkan petempur asing dan pelatihan untuk melancarkan perang perkotaan.
Sejak insiden tersebut, pasukan keamanan Filipina—dengan dukungan internasional—telah melaksanakan operasi kontra-pemberontakan dan kontra-terorisme secara berkelanjutan, termasuk upaya membersihkan kamp-kamp, memutus lokasi pelatihan, dan menangkap para pemimpin kelompok.





