Di banyak ruang keluarga Indonesia hari ini, kata prestasi terdengar lebih sering daripada kata bahagia. Ia diucapkan dengan nada bangga, kadang juga dengan tekanan. Prestasi menjadi tolak ukur keberhasilan anak, sekaligus cermin keberhasilan orang tua.
Namun, di balik deretan piala, nilai rapor yang sempurna, dan unggahan media sosial yang tampak gemilang, sering kali ada suara anak yang perlahan menghilang.
Anak belajar untuk patuh, bukan untuk didengar. Belajar berprestasi, bukan untuk memahami diri sendiri. Di titik inilah prestasi berkelindan dengan gengsi dan anak menjadi pihak yang paling rentan kehilangan ruang untuk bersuara.
Isu ini bukan perkara sepele atau kasus individual semata, melainkan fenomena sosial yang tumbuh subur dalam budaya kompetitif, sistem pendidikan yang menekankan capaian akademik, dan konstruksi sosial yang menilai orang tua dari keberhasilan anaknya.
Artikel ini berpandangan tegas: ketika prestasi dijadikan alat gengsi, anak berisiko kehilangan hak paling mendasar—hak untuk didengar, dipahami, dan menentukan arah hidupnya sendiri.
Prestasi: Mata Uang SosialPrestasi anak telah lama menjadi mata uang sosial di masyarakat. Nilai tinggi, juara kelas, lolos olimpiade, atau diterima di sekolah unggulan bukan sekadar capaian personal, melainkan simbol status keluarga. Dalam perbincangan antara orang tua yang satu dengan yang lain, pertanyaan seperti “Anaknya sekarang di mana?” atau “Masuk sekolah favorit, ya?” sering kali mengandung penilaian terselubung.
Media sosial memperkuat fenomena ini. Unggahan sertifikat, medali, dan foto wisuda anak menjadi konsumsi publik. Tidak sedikit orang tua—yang sadar atau tidak—menjadikan pencapaian anak sebagai alat validasi sosial. Anak pun tumbuh dalam atmosfer ekspektasi di mana kegagalan bukan lagi proses belajar, melainkan ancaman terhadap harga diri keluarga.
Padahal, menurut berbagai kajian psikologi perkembangan, tekanan berlebihan pada prestasi eksternal dapat mengikis motivasi intrinsik anak. Anak belajar untuk berprestasi demi pujian dan pengakuan, bukan karena minat atau rasa ingin tahu. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi melahirkan generasi yang cakap secara akademik, tetapi rapuh secara emosional.
Ketika Gengsi Mengalahkan Kepentingan AnakGengsi bekerja dengan cara yang halus, sering kali dibungkus dengan niat baik. Orang tua berkata, “Ini demi masa depanmu,” atau “Ayah dan Ibu tahu yang terbaik.” Kalimat-kalimat ini terdengar wajar, bahkan penuh kasih. Namun, masalah muncul ketika suara anak tidak pernah benar-benar menjadi pertimbangan.
Banyak anak dipaksa mengambil jurusan tertentu, mengikuti les berlapis-lapis, atau menekuni bidang yang tidak mereka minati. Keputusan penting dalam hidup anak ditentukan sepihak, sementara anak hanya diminta menurut. Dalam kondisi ini, anak belajar satu hal: keinginannya tidak sepenting ekspektasi orang tua.
Data dari berbagai survei kesehatan mental remaja menunjukkan peningkatan signifikan kasus kecemasan dan depresi pada anak usia sekolah. Tekanan akademik dan ekspektasi keluarga menjadi salah satu faktor utama.
Di Indonesia, laporan Kementerian Kesehatan dan berbagai lembaga pemerhati anak menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental pada remaja semakin mengkhawatirkan, tetapi masih kerap dianggap remeh atau disalahpahami.
Anak yang Kehilangan SuaraKehilangan suara bukan berarti anak tidak berbicara. Banyak anak tetap berprestasi, tersenyum, dan tampak “baik-baik saja”. Namun, di dalam dirinya, ada kelelahan emosional, kebingungan identitas, bahkan rasa hampa. Anak tidak terbiasa mengenali perasaannya sendiri, apalagi mengungkapkannya.
Dalam jangka panjang, anak yang kehilangan suara berisiko mengalami kesulitan mengambil keputusan, rendahnya kepercayaan diri, hingga ketergantungan pada validasi eksternal. Mereka tumbuh menjadi dewasa yang terus bertanya, “Apakah ini cukup?” atau “Apakah saya sudah membanggakan orang lain?”
Ironisnya, orang tua sering baru menyadari masalah ini ketika anak mulai memberontak, menarik diri, atau mengalami gangguan mental yang serius. Pada titik itu, komunikasi sudah telanjur retak.
Sistem Pendidikan yang Ikut Menyuburkan TekananTidak adil jika seluruh beban diletakkan di pundak orang tua. Sistem pendidikan kita juga berkontribusi besar. Kurikulum yang padat, orientasi pada nilai, serta minimnya ruang untuk eksplorasi minat membuat prestasi akademik menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan.
Sekolah unggulan, kelas akselerasi, dan kompetisi akademik memang dapat menjadi sarana pengembangan potensi. Namun, tanpa pendekatan yang manusiawi, semua itu justru mempersempit definisi sukses. Anak yang unggul di bidang seni, olahraga, atau keterampilan nonakademik sering kali merasa tersisih.
Padahal, dunia kerja dan kehidupan nyata membutuhkan lebih dari sekadar nilai tinggi: empati, daya tahan mental, kemampuan berkomunikasi, dan kejelasan jati diri sama pentingnya.
Mendengarkan Anak Bukan Berarti Melepaskan ArahSalah satu kekhawatiran orang tua adalah kehilangan kendali. Mendengarkan anak sering disalahartikan sebagai membiarkan anak menentukan segalanya. Padahal, mendengarkan tidak sama dengan menuruti tanpa batas. Mendengarkan berarti memberi ruang dialog, mengakui perasaan anak, dan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan.
Orang tua tetap memiliki peran sebagai pembimbing, bukan pengendali. Prestasi tetap penting, tetapi bukan satu-satunya tujuan. Lebih penting lagi adalah proses: apakah anak merasa aman untuk gagal, berani mencoba, dan jujur pada dirinya sendiri.
Menuju Definisi Prestasi yang Lebih ManusiawiKita perlu mendefinisikan ulang prestasi. Prestasi bukan hanya tentang ranking atau piala, melainkan juga tentang pertumbuhan. Anak yang mengenal dirinya, mampu mengelola emosi, dan berani menyuarakan pendapat adalah anak yang berprestasi dalam arti yang lebih utuh.
Media, sekolah, dan keluarga perlu berjalan seiring untuk menciptakan ekosistem yang sehat. Mengapresiasi proses, bukan hanya hasil. Menghargai keberagaman potensi anak, bukan menyeragamkan mimpi.
Mengembalikan Suara AnakPrestasi tidak salah. Ambisi orang tua pun tidak keliru. Yang bermasalah adalah ketika prestasi dijadikan alat gengsi dan anak kehilangan suara dalam perjalanan menuju “sukses” versi orang dewasa. Kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: Untuk siapa semua ini dilakukan?
Masa depan anak tidak hanya ditentukan oleh seberapa tinggi ia melompat, tetapi seberapa kokoh ia berpijak pada dirinya sendiri. Sudah saatnya orang tua, pendidik, dan masyarakat luas membuka ruang dialog yang lebih setara dengan anak. Mendengarkan mereka, bukan sekadar mengarahkan.
Jika hari ini kita memilih untuk lebih mendengar, mungkin esok kita akan melihat generasi yang tidak hanya berprestasi, tetapi juga utuh sebagai manusia.



/https%3A%2F%2Fcdn-dam.kompas.id%2Fimages%2F2025%2F12%2F17%2Fd11ffc0888cec6c2118a9b56488a6511-IMG_20251217_111631.jpg)