Kampus inklusif selama ini seringkali hanya terwujud pada tataran normatif. Padahal, tantangan nyata di lapangan masih beragam. Mulai dari keterbatasan akses fisik, layanan akademik belum adaptif, hingga kebijakan kampus belum sepenuhnya berpihak pada kebutuhan penyandang disabilitas.
Hal tersebut menyebabkan hanya 2,8 persen penyandang disabilitas yang menyelesaikan pendidikan tinggi menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2018. Angka ini kemungkinan semakin meningkat pada tahun belakangan. Karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih sistematis dan terukur.
Jangan pernah berpikir penyandang disabilitas netra itu nanti profesinya memijat.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi di Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) Khairul Munadi menegaskan, inklusivitas bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban bagi seluruh perguruan tinggi di Indonesia pada 2026. Ini merupakan awal dari cetak biru kampus inklusif untuk pemenuhan hak pendidikan para penyandang disabilitas di perguruan tinggi.
"Kampus adalah rumah bersama yang menjunjung prinsip kesetaraan. Untuk memastikan hal tersebut, mulai tahun 2026 seluruh perguruan tinggi di Indonesia diwajibkan menghadirkan lingkungan belajar yang ramah dan inklusif bagi penyandang disabilitas," kata Khairul di Jakarta, Kamis (18/12/2025).
Cetak biru kampus inklusif berangkat dari arah kebijakan negara yang menempatkan pemenuhan hak penyandang disabilitas sebagai bagian integral dari sistem pendidikan. Melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, serta penguatan kebijakan melalui Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 48 Tahun 2023 dan Permendikbudristek 55/2024.
Upaya ini juga selaras dengan komitmen Indonesia terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) tentang pendidikan berkualitas dan pengurangan ketimpangan. Pendidikan tinggi yang inklusif diyakini menjadi pondasi penting dalam membangun sumber daya manusia yang unggul dan berkeadilan.
Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi di Kemdiktisaintek Beny Bandanadjaja menjelaskan, tantangan utama implementasi kebijakan ini cukup besar. Bukan semata soal anggaran untuk membangun sarana-prasarana ramah difabel, melainkan minimnya kesadaran inklusif dari para civitas akademika di kalangan perguruan tinggi.
Beny menekankan, membangun kampus inklusif tidak harus dimulai dari infrastruktur yang mahal. Langkah awal yang paling realistis adalah membentuk unit layanan disabilitas (ULD), kemudian mengembangkannya secara bertahap sesuai kebutuhan nyata mahasiswa disabilitas di masing-masing kampus.
"Tidak perlu harus langsung ke sarana-prasarana. Minimal bikin unit saja. Dengan adanya unit ini, mulai secara bertahap kita lengkapi," kata Beny.
Sementara itu, dalam cetak biru kampus inklusif, ada sebuah indikator yang harus dijalankan perguruan tinggi agar memenuhi standar minimal pelayanan terhadap disabilitas. Indikator itu bernama Metrik Inklusi Disabilitas yang diinisiasi Universitas Negeri Surabaya (UDIM/Unesa Disability Inclusion Metric).
Kepala Pusat Studi Layanan Disabilitas (PSLD) UNESA Budiyanto menjelaskan, inisiatif ini sejalan dengan komitmen nasional dan global dalam pelaksanaan UN-CRPD (United Nations Convention on the Rights of Persons with Disabilities), sekaligus menjadi wujud implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak.
UDIM mencakup berbagai aspek strategis. Mulai dari kebijakan dan tata kelola kelembagaan, ketersediaan serta aksesibilitas sarana dan prasarana, layanan akademik dan nonakademik, kesiapan dan kapasitas sumber daya manusia, hingga pelaksanaan tridarma perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, dengan perspektif inklusi.
Menurut Budiyanto, UDIM dikembangkan atas kesadaran akan pentingnya aksesibilitas terhadap lingkungan fisik, sosial, ekonomi, dan budaya. Selain itu, juga akses terhadap kesehatan, pendidikan, informasi, dan komunikasi, sebagai prasyarat utama bagi penyandang disabilitas sebagai kebebasan fundamental.
"Oleh karena itu, diperlukan sebuah instrumen pengukuran yang bersifat universal dan objektif," tutur Budiyanto.
Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND) Dante Rigmalia berharap cetak biru kampus inklusif ini tidak hanya menjadi baik di atas kertas. Dalam data KND selama ini masih banyak kampus yang eksklusif, mulai dari tidak tersedianya akomodasi yang layak, pembatasan jenis disabilitas yang diterima menjadi mahasiswa, hingga pembatasan untuk masuk ke program studi tertentu.
"Kampus menerima penyandang disabilitas tetapi pakai tanda bintang; syarat dan ketentuan berlaku. Misalnya, kalau dia disabilitas tuli, hanya yang tuli-nya ringan yang diterima," kata Dante.
Dia juga mengungkapkan bahwa pernah ada aduan dari seorang penyandang tuli satu sisi (single side deafness) yang tidak diterima di fakultas kedokteran perguruan tinggi negeri manapun meskipun sudah pakai implan koklea atau alat bantu dengar. Ini memaksanya untuk masuk ke perguruan tinggi swasta yang biayanya sangat mahal dan berdampak pada perekonomian keluarganya.
"Padahal, di luar negeri sudah banyak sekali contoh bahwa mereka mengikuti pembelajaran di kampus karena ada teknologi yang membantu," ucapnya.
Dante menegaskan bahwa kampus inklusif seharusnya bukan sekadar label, melainkan filosofi pendidikan. Menyediakan layanan pendidikan dari pendidikan usia dini, dasar, hingga tinggi adalah kewajiban negara bersama seluruh pihak di bidang pendidikan.
ULD di perguruan tinggi, lanjut Dante, wajib dibangun. Sebab, ULD akan menjadi indikator komitmen kampus terhadap pendidikan inklusif dan berfungsi memastikan kesetaraan, keadilan, kerja sama, serta keberlanjutan. KND mendorong adanya pengukuran kampus inklusif agar perguruan tinggi dapat mengevaluasi capaian, meningkatkan layanan, dan memperkuat kesadaran akan keragaman.
"Jadi, jangan pernah berpikir penyandang disabilitas netra itu nanti profesinya memijat, itu sangat keliru. Jangan pernah mengunci pintu untuk mereka, buka semua pintu dan ketika sudah masuk, berikan akomodasi yang layak," tutur Dante.
Di sisi lain, kampus juga berada dalam posisi dilematis untuk menerima mahasiswa difabel. Sebab, ada beberapa aturan khusus dari profesi tertentu, seperti di program studi kesehatan dan kedokteran yang mensyaratkan kondisi fisik seperti batas tinggi badan dan bebas buta warna hingga tingkat intelegensi tertentu.
"Sehingga dari kami kebijakannya adalah memindahkan atau memberikan opsi untuk memilih jurusan yang berbeda dari pakem yang ditentukan oleh kementerian tadi. Ini harus ada solusinya ke depan agar kami juga tidak melanggar," kata Mukhamad Abduh, Kepala ULD Universitas Esa Unggul Jakarta.
Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Terbuka (UT) Rahmat Budiman meminta Kemendiktisaintek untuk meninjau ulang standar layanan disabilitas kampus inklusif agar lebih kontekstual dan adil. Sebab, kampus UT banyak melakukan pembelajaran jarak jauh.
Sementara itu, Kepala Unit Layanan Disabilitas Universitas Al-Azhar Indonesia Cut Meutia Karolina menambahkan, kampusnya sudah menerima 53 mahasiswa disabilitas dan 41 persen di antaranya adalah penyandang disabilitas mental. Namun, mereka menghadapi tantangan serius terkait masa studi dan keberlanjutan pendidikan.
Misalnya, ada mahasiswa disabilitas yang gangguan mental kronisnya kambuh seperti skizofrenia, bipolar, dan sebagainya di akhir masa studi. Ini mengakibatkan ia harus menjalani perawatan cukup lama hingga masa studinya lewat dari batas ketentuan.
"Dia seharusnya lulus di satu atau dua semester lagi, tetapi menghilang bahkan cutinya sudah habis dia tidak pernah datang untuk menyelesaikan studinya, kasus ini cukup banyak," kata Cut Meutia.
Menanggapi hal ini, Dante menekankan bahwa keberhasilan pendidikan para penyandang disabilitas sangat ditentukan oleh ekosistem yang mendukung. Untuk itu, layanan disabilitas tidak boleh diseragamkan dengan mahasiswa lain. Kampus didorong untuk membangun komunikasi intensif dengan keluarga dan melakukan asesmen mendalam terhadap kebutuhan mahasiswa disabilitas.
Oleh karena itu, mewujudkan kampus inklusif menuntut perubahan paradigma, fleksibilitas kebijakan, asesmen berbasis individu, serta kolaborasi dengan penyandang disabilitas dan organisasinya, agar hak atas pendidikan benar-benar terwujud secara adil dan bermartabat.





