Seorang pengunjung tampak manggut-manggut ketika memasang penyuara telinga yang disodorkan temannya saat pembukaan pameran SUARA Indonesia! Retrospeksi 20 Tahun Konvensi 2005 UNESCO, di Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK) UGM, Yogyakarta, Sabtu (20/12/2025) sore. Kedua remaja perempuan itu berusaha mencerna dalam waktu singkat suara musik yang relatif jarang mereka dengar itu.
Sebuah sampul piringan hitam berwarna hitam dengan tulisan Koes Bersaudara dan ”To the So Called ”the Guilties” tergeletak di meja di depan mereka. Album itu merupakan album pertama dari grup Koes Bersaudara yang dirilis pada 1 April 1967 di bawah label Mesra. Koes Bersaudara merupakan cikal bakal Koes Plus yang merupakan salah satu grup musik legendaris di Indonesia.
Tak jauh dari kedua perempuan itu terdapat pria lanjut usia yang tengah sibuk membolak-balik majalah Aktuil terbitan lama. Aktuil merupakan majalah yang banyak mengulas tentang musik yang terbit pertama kali pada 1967 dan berhenti beroperasi pada 1986.
Sejumlah arsip bersejarah itu ditata secara apik dan informatif dalam pameran yang berlangsung pada 20-28 Desember 2025 itu. ”Kami mengundang empat seniman untuk menampilkan karya mereka dalam pameran yang dibuat berdasarkan arsip dan data ini,” ujar Farah Wardani, salah satu kurator pameran.
Pameran tersebut digelar untuk memperingati dua dekade Konvensi 2005 UNESCO. Konvensi Perlindungan dan Promosi Keanekaragaman Ekspresi Budaya yang dimaksud merupakan instrumen hukum internasional yang mengakui kebudayaan sebagai sumber kekayaan dan inovasi.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi UNESCO 2005 sejak tahun 2011 melalui Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2011. UNESCO menerimanya pada awal 2012 dan Indonesia menjadi negara ke-120 yang meratifikasi konvensi itu.
Negara yang telah meratifikasinya wajib memberikan laporan periodik empat tahunan. Laporan tersebut menjadi salah satu acuan penyusunan karya yang ditampilkan dalam pameran ini.
Secara spesifik, pameran ini bertujuan untuk menginformasikan kepada masyarakat bahwa peran kebudayaan tidak sebatas warisan masa lalu, tetapi sebuah ruang hidup yang terus-menerus diciptakan, dinegosiasikan, dan dipertukarkan.
Pengunjung pameran ini diajak menyusuri perjalanan naratif untuk memahami makna kebebasan berekspresi dan keberagaman budaya. Narasi pameran bermula dari kronik perkembangan Konvensi UNESCO dari tahun 1950 hingga 2005.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon melalui rekaman video yang ditampilkan saat pembukaan acara itu menegaskan bahwa pameran tersebut menjadi ruang refleksi implementasi Konvensi 2005 dalam pengambilan berbagai kebijakan beserta sejumlah praktik nyatanya. Kebudayaan juga dinilai memegang peran penting dalam pertumbuhan ekonomi dan merupakan bagian integral dalam strategi pembangunan nasional.




