TikTok Jadi Ruang Terapi Publik

kumparan.com
7 jam lalu
Cover Berita

TikTok kini bukan sekadar ruang hiburan, melainkan juga ruang curhat publik yang menciptakan solidaritas emosional baru di dunia maya. Penelitian terhadap ribuan komentar pengguna memperlihatkan bagaimana empati, kesedihan, dan dukungan sosial berbaur menjadi bentuk terapi kolektif di era digital.

TikTok hari ini bukan sekadar ruang hiburan untuk berjoget atau mengikuti tren musik viral. Platform ini telah berevolusi menjadi panggung sosial yang merekam sisi terdalam manusia modern, seperti rasa cemas, kesepian, hingga keinginan untuk dipahami.

Di balik filter cerah dan musik yang menghibur, TikTok menyimpan lapisan emosi yang jauh lebih dalam. Ia menjadi ruang pengakuan baru, tempat orang-orang menuliskan luka batin dan perjuangan mereka untuk tetap waras di tengah kehidupan yang serba cepat.

Dalam penelitian yang saya lakukan bersama tim, kami menelusuri 1.443 komentar pada akun TikTok @sundarindah yang aktif membahas isu kesehatan mental. Hasilnya cukup menggugah: sebanyak 41,3% komentar bernada negatif, 30,3% netral, dan 28,4% positif.

Sekilas, dominasi komentar negatif tampak mengkhawatirkan. Namun, setelah diamati lebih dalam, komentar-komentar itu justru menjadi cermin kejujuran manusia digital. Ungkapan negatif tersebut bukan bentuk kebencian, melainkan emotional support curahan hati, ekspresi kesedihan, dan pengakuan atas beban psikologis yang selama ini dipendam.

“Aku anxiety disorder, tapi malah dibilang gila sama tetangga,” tulis salah satu pengguna.

“Aku nggak percaya siapa pun lagi, cuma meditasi yang bisa bikin tenang,” tambah pengguna lain.

Komentar seperti ini menandakan bahwa TikTok telah berubah menjadi ruang pengakuan massal. Di dunia nyata, banyak orang kesulitan menemukan tempat aman untuk bercerita. Di ruang digital, mereka menemukan sesuatu yang lebih sederhana tapi bermakna, yaitu didengar tanpa dihakimi.

Kolom komentar akhirnya berfungsi seperti ruang terapi publik. Satu kalimat semangat, satu emoji hati, atau ucapan “kamu nggak sendirian” bisa menjadi penenang bagi seseorang yang sedang berjuang.

Fenomena ini menunjukkan bahwa curhat online bukan sekadar ekspresi emosional, melainkan juga bentuk baru dari pencarian keberadaan. Di balik ribuan komentar itu, manusia sesungguhnya hanya ingin memastikan satu hal sederhana, seperti “Aku masih ada, kan?”

Dukungan Sosial di Era Empati Virtual

Dalam teori komunikasi sosial, dukungan sosial terbagi menjadi empat bentuk utama, yaitu emosional, informasi, afirmatif, dan instrumental. Menariknya, keempatnya dapat ditemukan dalam kolom komentar TikTok, meski dengan intensitas yang berbeda.

Komentar positif—seperti “kamu kuat, semangat terus, aku pernah di posisi kamu”—mencerminkan affirmational support sebagai bentuk validasi dan penguatan moral.

Komentar netral—yang sering berupa pertanyaan seperti “bagaimana cara menemukan psikolog terdekat?” atau “apakah ada konseling daring gratis?”—menggambarkan informational support di mana audiens saling bertukar pengetahuan untuk mencari solusi nyata.

Sementara itu, komentar negatif justru menghadirkan emotional support paling kuat. Mereka menulis dengan jujur tentang kecemasan, trauma, dan perasaan tidak berdaya. Menulis di ruang publik bukan sekadar mencari perhatian, melainkan juga cara bertahan hidup dalam bentuk terapi melalui kata-kata.

Data penelitian kami juga menunjukkan bahwa niat berbagi informasi menjadi motivasi terbesar (28,5%), disusul niat memberi dukungan (16,9%), dan mengeluh (13,38%).

Artinya, para pengguna TikTok bukan sekadar penonton pasif, melainkan juga aktor aktif dalam membangun komunitas digital. Mereka saling memberi dukungan moral, bertukar pengalaman, bahkan sekadar menemani orang asing melalui komentar.

Dari sisi emosi, kesedihan menjadi yang paling dominan (20,28%), disusul kebahagiaan (8,42%) dan dukungan (4,88%). Ini menunjukkan bahwa percakapan di TikTok berakar pada pengalaman nyata dan bukan tren semata. Meski didominasi rasa sedih, muncul juga emosi bahagia dan rasa solidaritas yang menandakan adanya proses pemulihan kolektif.

Inilah wajah baru media sosial: solidaritas digital lahir dari empati anonim. Kita tidak saling mengenal, tetapi bisa saling peduli. Kita tidak berbagi ruang fisik, tapi bisa berbagi rasa. Namun, empati digital juga punya sisi gelap. TikTok dengan algoritmanya dapat menciptakan lingkaran kesedihan, yang semakin sering seseorang menonton konten depresi, semakin banyak konten serupa muncul. Pada titik ini, media sosial bisa berubah dari terapi menjadi jebakan emosional.

Maka, perlu dipahami bahwa empati digital tidak bisa menggantikan empati manusiawi. Dukungan sosial daring sangat berarti, tapi tidak seharusnya menjadi satu-satunya sandaran. Dunia nyata tetap membutuhkan percakapan hangat, pelukan, dan tatapan yang penuh perhatian.

Antara Tren, Terapi, dan Tanggung Jawab Sosial

Budaya curhat online kini telah menjadi bagian dari gaya hidup digital Generasi Z (Gen Z). Mereka tumbuh dalam dunia di mana likes dan views sering kali lebih cepat memberi validasi daripada ucapan dari orang terdekat. Mereka menjadikan TikTok bukan hanya sarana hiburan, melainkan juga ruang eksistensial untuk mencari arti, simpati, dan identitas.

Kesehatan mental pun kini menjadi bahasa pop culture. Tagar seperti #healing, #selflove, dan #mentalhealthmatters ramai dipakai di seluruh dunia. Para influencer, merek kecantikan, dan pembuat konten mempopulerkan narasi tentang mencintai diri sendiri dan menjaga kesehatan jiwa. Namun di sisi lain, isu ini juga berisiko menjadi komoditas empati ketika penderitaan dijadikan konten dan kesedihan dipoles agar tampak estetis.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: Apakah media sosial benar-benar membantu proses penyembuhan, atau hanya memproduksi versi digital dari rasa sakit?

Dalam konteks Indonesia, hal ini menjadi semakin kompleks. Stigma terhadap gangguan mental masih kuat, sementara akses layanan kesehatan jiwa sangat terbatas. Akibatnya, banyak orang menjadikan ruang digital sebagai tempat mencari pertolongan emosional.

Sayangnya, tidak semua pengguna siap menjadi penampung curhat orang lain. Ada yang berniat baik, tetapi salah dalam merespons. Bahkan, ada pula yang menertawakan penderitaan orang lain.

Karena itu, literasi empati digital menjadi hal yang sangat penting. Kita perlu belajar untuk lebih mendengarkan daripada menilai, lebih memahami daripada menasihati. Tidak semua unggahan butuh komentar panjang; kadang cukup satu kata, “Aku paham.”

TikTok telah membuktikan bahwa ruang komentar bisa berubah menjadi forum solidaritas emosional. Di sanalah manusia saling berpegangan dalam bentuk paling sederhana dari kata-kata.

Dan mungkin—di antara jutaan komentar yang berseliweran setiap hari—ada satu kalimat yang berhasil menyelamatkan seseorang dari keputusasaan.

Empati digital bukan sekadar tren, melainkan juga tanggung jawab sosial baru. Karena di balik setiap video “healing” yang kita tonton, ada manusia nyata yang sedang berjuang dengan hidupnya sendiri. Barangkali, satu kalimat kecil seperti “kamu berharga, kamu kuat” bisa menjadi alasan seseorang untuk bertahan hari ini.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Karung Beras, Cerutu, dan Tusuk-tusuk Sate
• 2 jam lalukumparan.com
thumb
Catzy Tampil Perdana di Jakarta Lewat Panggung Soundrenaline 2025, Akui Nervous
• 8 jam lalukumparan.com
thumb
Poltekpar Makassar Petakan Pengembangan Wisata Maritim di Kawasan Timur Indonesia
• 55 menit lalupantau.com
thumb
BMKG: Cuaca Ekstrem Masih Hantui Sumatra, Masyarakat Terdampak Bencana Diminta Waspada Risiko Listrik
• 13 jam laluokezone.com
thumb
ASDP Bakauheni tingkatkan kewaspadaan cuaca buruk di Selat Sunda
• 6 jam laluantaranews.com
Berhasil disimpan.