Di tengah tekanan dari penguatan imbal hasil obligasi dan Dolar AS, logam mulia justru mampu mempertahankan momentum kenaikan.
Pada perdagangan Jumat (19/12) waktu Amerika Utara, emas tercatat menguat sekitar 0,30% ke area USD 4.344 per troy ounce, setelah sebelumnya sempat tertekan hingga level USD 4.309.
Baca juga: Peningkatan Harga Emas Dunia 2026 Diprediksi Tak Sekencang 2025, Ini Penjelasan Ekonom Citi Indonesia
Penguatan ini terjadi ketika Indeks Dolar AS (DXY) berpotensi menutup pekan dengan kenaikan moderat sekitar 0,25%, sementara imbal hasil obligasi pemerintah AS juga bergerak naik.
Situasi tersebut memperlihatkan bahwa minat investor terhadap emas sebagai aset lindung nilai masih cukup solid, terutama menjelang periode akhir tahun yang kerap diwarnai ketidakpastian.
Analis Dupoin Futures Indonesia, Andy Nugraha, menilai struktur pergerakan harga emas saat ini masih berada dalam fase bullish yang relatif kuat.
Ia mengamati kombinasi pola candlestick dan indikator Moving Average masih mencerminkan dominasi minat beli, meskipun fluktuasi jangka pendek tetap sulit dihindari.
“Emas mampu menguat meski yield dan dolar naik. Ini menandakan permintaan safe haven masih cukup besar,” ujar Andy.
Dari perspektif teknikal, Andy memetakan dua kemungkinan pergerakan harga dalam waktu dekat.
Skenario pertama, jika tekanan beli tetap berlanjut, emas berpeluang melanjutkan reli menuju area USD 4.425 sebagai target kenaikan terdekat.
Level ini dinilai berpotensi diuji apabila sentimen global dan ekspektasi kebijakan moneter tetap kondusif. Namun, jika terjadi koreksi, area USD 4.294 diperkirakan menjadi zona support terdekat yang akan diuji pasar.
Awal pekan ini, tepatnya Senin (22/12), harga emas bahkan sempat mencetak rekor tertinggi baru di kisaran USD 4.383. Kenaikan tersebut terjadi di tengah minimnya agenda ekonomi Amerika Serikat serta berakhirnya pekan perdagangan penuh terakhir sebelum libur Natal.
Revisi turun Indeks Sentimen Konsumen Universitas Michigan untuk Desember, dari 53,3 menjadi 52,9, ikut memberi dorongan tambahan bagi emas. Survei yang sama juga menunjukkan ekspektasi inflasi satu tahun meningkat menjadi 4,2%, sementara ekspektasi inflasi lima tahun bertahan di 3,2%.
Dari sisi kebijakan moneter, pernyataan Presiden Federal Reserve New York, John Williams, yang menyebut belum ada urgensi untuk mengubah arah kebijakan, sempat memicu penguatan dolar AS.
Dampaknya, emas terkoreksi ke area USD 4.320 sebelum kembali menemukan momentum naik. Tekanan dari sisi yield juga datang dari keputusan Bank Sentral Jepang yang menaikkan suku bunga, mendorong kenaikan imbal hasil global.
Meski demikian, emas tetap menunjukkan daya tahan yang kuat. Imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun naik ke sekitar 4,147%, sementara imbal hasil riil AS mencapai 1,907%, namun tekanan tersebut belum cukup untuk membalikkan arah tren emas. Hal ini menegaskan bahwa faktor lindung nilai dan sentimen akhir tahun masih menjadi penopang utama pergerakan harga.
Ke depan, pelaku pasar akan mencermati serangkaian data ekonomi AS dalam pekan perdagangan yang lebih pendek menjelang Natal, mulai dari laporan ketenagakerjaan ADP, rilis awal pertumbuhan PDB kuartal III, pesanan barang tahan lama, hingga data produksi industri.
Secara umum, Andy Nugraha menilai prospek emas dalam jangka pendek masih cenderung positif, selama level support kunci mampu dipertahankan dan volatilitas akhir tahun tidak memicu perubahan sentimen secara signifikan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SAW)
