Cintaku Tumbuh Seperti Beringin

kumparan.com
19 jam lalu
Cover Berita

Kadang obrolan santai bisa menabrak kepala seperti bola kasti yang entah siapa yang melempar. Siang itu, sambil menanti istri yang sedang bertandang ke rumah keluarganya, seorang kerabat bertanya dengan nada bercanda tapi matanya menghujam, “Masihkah kau mencintai istrimu seperti saat pertama kalian bertemu?”

Pertanyaan itu mendarat begitu saja, tapi rasanya dalam sekali. Aku sempat diam, bukan karena ragu, hanya mencari kata supaya jawabannya tidak terdengar seperti slogan seminar pernikahan murahan.

Jawabanku pelan, “Masih. Bahkan lebih besar.” Ia mengangkat alis, jadi aku lanjut, “Cintaku pada istriku… seperti pohon beringin.”

Tentu saja dia bingung. Beringin tidak masuk daftar bunga romantis. Tidak seperti mawar yang sering dipinang sebagai logo cinta, atau melati yang wangi dan manis untuk perbandingan. Beringin itu besar, keras, kadang terlihat menyeramkan. Tapi justru di situlah letak cintanya.

“Beringin itu tumbuh diam,” kataku, “tapi akarnya menghujam kuat ke bumi. Tidak pamer daun, tidak sibuk berbunga, tapi sulit tumbang meski dihajar badai. Kalau suatu saat ia roboh, robohnya bukan karena goyah, tapi karena seluruh akarnya tercerabut. Tidak ada setengah-setengah.”

Aku tidak tahu apakah ia paham. Jadi kutambahkan sesuatu yang lebih manusiawi, sesuatu yang tidak bisa dibantah oleh perasaan apa pun: istriku pernah mempertaruhkan nyawanya lima kali untuk melahirkan anakku. Lima kali berhadapan dengan kemungkinan tiada. Ia meninggalkan masa mudanya, tubuhnya, mimpinya, untuk merawat nama yang kemudian memanggilku dengan sebutan ayah. Ia menjadi rumah yang bisa kupulangi meski aku tidak sedang menjadi versi terbaik dari diriku. Bagaimana mungkin cinta seperti itu hanya dihitung sampai “belasan purnama”? Sungguh biadab!

Tetapi kerabatku justru tertawa kecil, seperti mendengar dongeng anak TK. Ekspresinya bilang: lelaki sejati tak bicara begitu. Cinta, menurutnya, adalah transaksi yang memang harus untung. Harus realistis, katanya. Harus tahu diri. Harus dibayar dengan uang, makan enak, dan tubuh yang selalu siap diajak berhubungan intim. Kapan saja, di mana saja.

Aneh juga ya. Katanya lelaki mesti dewasa, tapi menganggap cinta hanya sebagai kalkulator yang butuh saldo dan libido. Kalau begitu, apa beda lelaki dengan hewan ternak yang hanya tahu makan dan kawin?

Mungkin aku memang naif. Mungkin aku tetap anak kecil yang gagal jadi lelaki versi dunia. Tapi aku tidak malu. Kalau mencintai istri seperti mencintai rumah yang membesarkan anak, seperti menghormati tubuh yang mengandung keturunan, seperti menjaga seseorang yang pernah mempertaruhkan hidup… kalau itu dianggap kekanak-kanakan, biar saja.

Aku lebih memilih menjadi anak kecil yang tulus, daripada lelaki dewasa yang bangga hidup tanpa jiwa. Karena cinta yang tumbuh seperti beringin itu tidak butuh pujian, tidak tunduk pada tren pergaulan, dan tak mengenal masa kedaluwarsa. Ia hanya butuh satu hal sederhana: setia. Dan setia itu, ternyata, lebih gagah dari semua definisi “kejantanan” dunia yang penuh pamer.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Tok! Pramono Umumkan UMP Jakarta 2026 Jadi Rp5,7 Juta
• 1 jam lalumedcom.id
thumb
Kemenhut Percepat Pembersihan Kayu dan Lumpur Sisa Banjir Sumatra
• 19 jam lalukatadata.co.id
thumb
Dugaan Jaringan Pelaku Illegal Access Terkuak, Insanul Fahmi Serahkan Bukti ke Bareskrim
• 5 jam lalugrid.id
thumb
Cerita Iko Uwais Jadi Sutradara Sekaligus Pemeran Utama di Film Timur
• 7 jam lalukumparan.com
thumb
Pemerintah Siapkan Program Peningkatan Skill Pekerja Migran Indonesia
• 9 jam lalumediaindonesia.com
Berhasil disimpan.