Masa berlibur sudah di depan mata. Pergerakan masyarakat ke berbagai titik sudah mulai terjadi. Mobilitas masyarakat yang ke luar Jakarta terpantau meningkat. Dengan masyarakat yang tumpah-ruah di jalan, maka kewaspadaan mesti ditingkatkan. Keselamatan dan keamanan tetap wajib diprioritaskan.
Dalam data yang dihimpun Polri hingga Senin (22/12/2025), selama tiga hari terakhir setidaknya ada 477.321 kendaraan telah meninggalkan Jakarta. Kondisi serupa juga terlihat di luar Jabodetabek dengan peningkatan lalu lintas yang dicatat PT Jasa Marga Transjawa Tol.
Selama H-7 hingga H-5 (18-20/12/2025), ada 114.028 kendaraan melintas menuju wilayah timur Trans Jawa Melalui Gerbang Tol (GT) Cikampek Utama. Angkanya naik 17,91 persen dibandingkan lalu lintas normal yang sebanyak 97.552 kendaraan.
Kenaikan volume lalu lintas tertinggi berada di GT Kalikangkung, Semarang, Jawa Tengah. Kepadatan kendaraan meningkat 23,38 persen dibanding masa normal dari 54.271 kendaraan menjadi 66.958 kendaraan.
Pada lalu lintas dari wilayah timur Trans Jawa, ada 89.768 kendaraan melaju pada jalur tersebut. Trennya juga naik 7,5 persen dari kondisi normal dengan 83.463 kendaraan (Kompas.id, 22/12/2025).
Tren peningkatan mobilitas kendaraan ini sejalan dengan proyeksi Kementerian Perhubungan (Kemenhub) bahwa puncak arus mudik akan berlangsung Rabu (24/12/2025). Setidaknya 17,18 juta orang diperkirakan akan bergerak. Puncak arus balik diperkirakan berlangsung pada Jumat (2/1/2026) dengan pergerakan 20,81 juta orang.
Dengan demikian, jumlah orang yang akan menempuh perjalanan pada musim libur Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 diperkirakan tumbuh 2,71 persen dibanding periode yang sama pada libur Natal 2024 dan Tahun Baru 2025.
Menhub Dudy Purwagandhi dalam rapat kerja bersama Komisi V pada Senin (8/12/2025) mengatakan, puncak arus mudik diproyeksikan terjadi pada Rabu (24/12/2025) pukul 07.00-09.59 WIB. Mayoritas masyarakat tercatat akan menggunakan mobil pribadi dan sepeda motor untuk bepergian. Moda transportasi berikutnya, berturut-turut, adalah bus, mobil sewa, mobil travel, pesawat, kereta api jarak jauh, kapal penyeberangan, kapal laut, dan kereta rel listrik (KRL).
“Kecenderungan pemilihan jam, baik keberangkatan maupun kepulangan, akan jadi dasar pengaturan operasional terminal, stasiun, bandara, dan pelabuhan, serta jam-jam puncak,” ujar Dudy.
Banyaknya masyarakat yang melintas pada jalur darat, tak ayal risiko kecelakaan pun tinggi. Dalam catatan Kompas sepanjang 2025, sedikitnya ada sembilan kecelakaan terjadi. Kecelakaan ini mayoritas terjadi pada jalan tol serta jalan menanjak yang kerap melibatkan truk, bus, dan kendaraan pribadi.
Beberapa kecelakaan yang itu terjadi di Tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang (Cipularang), Tol Ciawi, Tol Cikopo-Palimanan di Jawa Barat serta Tol Purwodadi di Jawa Timur. Korban akibat kecelakaan ini mulai dari luka ringan hingga menewaskan total puluhan jiwa.
Baik bus maupun truk yang bermasalah menjadi awal mula petaka. Pada 6 Januari 2025, misalnya, tabrakan beruntun terjadi di Tol Cipularang. Truk tidak kuat menanjak, sehingga memicu tabrakan beruntun yang melibatkan dua bus dan tiga mobil pribadi.
Pada pengemudi (angkutan darat), tidak ada batasan yang jelas berapa maksimum yang dibolehkan (mengemudi) dan berapa minimum jam istirahatnya.
Ada pula kecelakaan tunggal yang dialami bus milik kepolisian di pintu keluar Tol Purwodadi, Pasuruan, Jawa Timur pada 1 Februari 2025. Musibah ini diduga akibat kelalaian sopir.
Terbaru, kecelakaan tunggal bus terjadi lagi di ruas simpang susun keluar tol (exit toll) Krapyak, Semarang, Jawa Tengah. Kejadian yang menimpa bus Cahaya Trans pada Senin (22/12/2025) dini hari ini menewaskan 16 orang, sedangkan 19 orang lainnya luka-luka. Penyebab kecelakaan masih dalam proses pendalaman (Kompas.id, 22/12/2025).
Pola serupa dari aspek penyebab kecelakaan (permasalahan pada kendaraan atau manusia) dan aspek geografis terlihat juga pada insiden-insiden beberapa tahun ke belakang. Kendaraan besar, seperti bus dan truk kerap menjadi biang kerok kecelakaan. Namun, bukan berarti mobil dan sepeda motor tidak berisiko menjadi pemicu kecelakaan, khususnya pada musim puncak berlibur (peak season).
Pada masa Lebaran 2024 lalu, publik dikejutkan dengan kecelakaan maut mobil travel gelap yang merenggut nyawa 12 orang dalam arus mudik di Jalan Tol Jakarta-Cikampek Kilometer (Km) 58 pada April. Seluruh penumpang dalam mobil itu tewas terbakar. Penyebabnya, sopir kelelahan sehingga memicu kantuk sekejap (micro-sleep). Kendaraan pun oleh ke jalur contraflow.
Dalam data Korps Lalu Lintas atau Korlantas Polri, sedikitnya ada 780 titik rawan kecelakaan di Indonesia, didominasi di jalur arteri atau non-tol. Mayoritas terpusat di jalur arteri daerah Jawa Tengah dan Jawa timur.
Titik rawan kecelakaan ini didasari jumlah kecelakaan yang lebih tinggi dibanding tepat lain. Setidaknya telah terjadi 3-5 kasus kecelakaan pada tiap titik. Hal itu dipengaruhi ragam faktor, antara lain jalan sempit, tikungan tajam, tanjakan, turunan curam, serta kurangnya visibilitas (Kompas.id, 24/3/2025).
Secara lebih rinci, Polri setidaknya telah memetakan sembilan titik rawan di sepanjang Tol Trans Jawa. Lokasi itu terletak di ruas Tol Jakarta-Merak Km 64 dan Km 68, Tol Jakarta-Cikampek Km 48 dan Km 66, Tol Cikopo Palimanan Km 78 dan Km 131, Tol Solo-Ngawi Km 552 dan Km 569, serta Tol Ngawi-Kertosono Km 639. Sedikitnya telah terjadi 30 kecelakaan pada titik-titik tersebut selama 2022-2023 (Kompas.id, 16/4/2023).
Salah satu lokasi yang berisiko tinggi terjadi kecelakaan berada di jalur rawan antara Km 91 dan Km 104 di jalan Tol Cipularang. Dalam catatan Kompas, beberapa insiden naas terulang di sana sejak 2011.
Titik rawan pertama berada di Km 92-Km 93, dari Jakarta menuju Bandung. Ada dua tikungan tajam dengan sudut sekitar 80 derajat selepas jalan menurun dengan kecuraman sekitar 20 derajat. Pengemudi biasanya kesulitan mengemudikan kendaraan saat melewati tikungan itu.
Lokasi berisiko lainnya ada pada Km 95, lurus dengan panjang sekitar 2 km. Pada titik ini, pengemudi biasanya rawan tertidur karena jenuh melintasi jalan lurus.
Kemudian, Km 96-Km 97 merupakan rute paling rawan karena kondisi geografis. Jalan menurun dengan kecuraman sekitar 20 derajat, dilanjutkan dengan tikungan tajam 70-80 derajat. Walau tak begitu curam, rute ini berbahaya bagi kendaraan yang bergerak dengan kecepatan di atas 100 km per jam. Pengemudi rawan kehilangan kendali saat akan melewati tikungan.
Titik rawan lainnya pada Km 103-Km 101. Meski jalan lurus hanya 2 km, banyak kendaraan kehilangan keseimbangan karena sambungan jembatan pada jalan utama. Genangan air kerap muncul saat musim hujan, sehingga banyak mobil selip ban ketika melintas.
Lokasi terakhir yang perlu diwaspadai ekstra ada di Km 104. Jalan ini merupakan tikungan tajam sekitar 80 derajat yang pernah memicu kecelakaan pada 2011 silam.
Kondisi teknis maupun kesalahan manusia (human error) sering melatarbelakangi sederet kecelakaan yang terjadi. Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) berulang kali menyuarakan hal ini. Ragam investigasinya menguak rangkaian tragedi yang pernah terjadi.
”Dari catatan-catatan KNKT, selama arus mudik dan balik Lebaran itu yang banyak memicu kecelakaan karena orang mengalami kelelahan,” ujar Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono (Kompas.id, 6/3/2025).
Setidaknya terdapat empat aspek mendasar yang menjadi biang kerok kecelakaan. Hal itu meliputi kondisi teknis perseorangan hingga sistem yang butuh pembenahan, khususnya bagi transportasi darat.
Pertama, gangguan perawatan kendaraan yang sering diremehkan. Berbeda dengan transportasi KA dan pesawat, transportasi darat belum memiliki program wajib perawatan.
Soerjanto mengatakan, belum ada ketentuan khusus yang mengharuskan apa saja yang mesti dilakukan saat pemeliharaan. Hingga saat ini, hanya uji kir yang dilakukan, padahal tidak menuntaskan seluruh masalah. Ada aspek-aspek perawatan lain, seperti rem yang cenderung baru diperbaiki saat timbul masalah.
”Itu sudah telat. Seharusnya, sebelum ada masalah, sudah ada proses perawatan. Menjaga kondisi barang-barang dan sistem agar selalu bekerja seperti yang kita harapkan,” kata Soerjanto.
Kedua, lamanya kerja dan istirahat pengemudi belum terstandardisasi. Sopir angkutan tidak dibatasi durasi kerjanya. Berbeda dengan moda transportasi lain. Masinis KA, misalnya, mengemudi maksimum 4 jam sehari. Pilot paling lama menerbangkan pesawat selama 8 jam.
”Pada pengemudi (angkutan darat), tidak ada batasan yang jelas berapa maksimum yang dibolehkan (mengemudi) dan berapa minimum jam istirahatnya. Kalau pilot itu, mereka harus rest minimum 8 jam, sebelum penerbangan berikutnya,” ujar Soerjanto.
Ketiga, tidak ada aturan baku yang mengatur kesehatan pengemudi. Masinis, pilot, dan nakhoda harus lolos pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh, termasuk kondisi mental. Selama ini, pengemudi angkutan darat hanya perlu melampirkan surat keterangan sehat dari dokter umum. Hal itu dinilai tidak dapat melihat kondisi medis pengemudi secara keseluruhan.
”Banyak pengemudi yang mengalami darah tinggi, diabetes, kolesterol, itu sangat memengaruhi kemampuannya mengemudi. Jika diabetes itu, pasti gampang mengantuk. Jika kolesterol, badan mudah pegal. Terkena asam urat, badan terasa sakit digerakkan sehingga refleks kurang, reaksi pun melambat,” ujarnya.
Ketika standar kesehatan tidak dipenuhi pilot, masinis, dan nakhoda, mereka tidak diizinkan mengemudi moda transportasinya masing-masing. Mereka dapat melakukan aktivitasnya ketika pemeriksaan kesehatan lanjutan dinyatakan baik.
Keempat, pengawasan dan penegakan hukum pada sektor perhubungan darat yang minim. Upaya tersebut tidak masif dilakukan, seperti yang selama ini diterapkan di pesawat dan KA.
”Kalau empat hal itu enggak diperbaiki, ya, akan terus berulang, akan begitu terus. Angka kecelakaan di darat itu tinggi sekali,” kata Soerjanto.
Kini, banyak orang menikmati perjalanan untuk menghabiskan waktu berlibur. Namun, kewaspadaan perlu ditingkatkan. Kehati-hatian perlu jadi prinsip yang perlu dihidupi, dimulai dari diri sendiri dengan cek berkala kondisi kesehatan diri dan kendaraan. Jangan sampai tujuan bersukacita justru berakhir celaka. Selamat berlibur!




